Bagian 1 - Teror Naga di Kota Kaifeng

135 2 0
                                    

Hari mendekati siang ketika Hou Yi usai membersihkan diri. Perutnya mulai lapar. Lalu, ia memutuskan pergi mencari makanan.

Kuda putih milik Feng Meng mengantarkan Hou Yi memasuki gerbang sebuah kota bernama Kaifeng. Kota di sepanjang tepi selatan Hwang Ho atau Sungai Kuning ini sangat ramai dan padat. Ribuan orang lalu-lalang atau berkumpul dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan terlihat dalam aktivitas jual-beli. Namun, ada pula sejumlah orang yang menawarkan jasa. Salah satunya jasa meramal.

Di kota ini banyak sekali bangunan bertingkat. Paling dominan bangunan berlantai dua atau tiga. Pada bagian atas pintu utama setiap bangunan terdapat papan besar dengan tulisan yang menunjukkan identitas bangunan berdasarkan peruntukannya. Misalnya yang Hou Yi lihat adalah bangunan yang digunakan sebagai rumah makan, kedai arak, penginapan, gedung pertunjukkan, toko obat, dan sebagainya. Hou Yi takjub melihatnya. Ternyata peradaban manusia di tepi Sungai Kuning ini sudah begitu maju.

"Mantau hangat! Mantau hangat!" teriak seseorang di dekat Hou Yi. Spontan Hou Yi mencari sumber suara yang ternyata tidak jauh darinya. Hou Yi pun turun dari kuda. Setelah menambatkan kudanya, ia mendekati si pedagang mantau.

"Mau mantau, Tuan, mumpung masih hangat?" tawar pedagang mantau dengan ramah.

"Berapa harganya?" tanya Hou Yi.

Si pedagang menyebutkan harganya.

"Baik, aku beli satu."

"Yang mana, Tuan?"

"Ini saja," tunjuk Hou Yi.

"Isi ayam, Tuan?" tegas si pedagang mantau.

"Ya. Itu saja."

Si pedagang mantau dengan tetap menjaga senyumnya melayani Hou Yi. Diambilnya sepotong mantau berisi ayam lalu roti itu dibungkusnya dengan kertas.

Setelah membayar, Hou Yi memakan mantau itu di sepanjang jalan sambil berjalan menuntun kudanya. Ia ingin menikmati suasana kota dan ingin mampir minum arak di sebuah kedai. Kata si pedagang mantau, kedai yang terletak di ujung jalan menyajikan arak yang terkenal sangat istimewa. Harganya lebih mahal dari arak lainnya. Kedai itu dikenal dengan sebutan "Kedai Air Kata-kata".

Langkah Hou Yi terhenti ketika ia sudah sampai di depan kedai itu. Dari luar pintu tampak meja-meja besar dikelilingi para peminum arak. Kebanyakan laki-laki. Wanita yang bergabung di sana bisa dihitung dengan jari. Penampilan mereka menunjukkan kelas dan derajat yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Jelas, mereka bukan orang miskin. Orang miskin tidak akan berani minum arak di situ. Meski punya cukup uang untuk membayar satu guci arak, mereka pasti diusir karena dianggap mengganggu kenyamanan para pengunjung.

Hou Yi penasaran, seperti apa rasa arak di kedai itu. Apakah semanis arak yang biasa ia minum di kahyangan?

Rongga hidung Hou Yi terasa teraliri aroma arak yang keluar bersama embusan napasnya. Hem ..., belum meminumnya saja Hou Yi sudah membayangkan seperti apa kenikmatannya. Air liurnya menggenang di bawah lidah.

Belum sempat Hou Yi melangkah masuk ke dalam kedai itu, samar-samar terdengar jeritan orang-orang minta tolong. Hou Yi lantas menajamkan telinga supaya pendengarannya menjadi lebih jelas menangkap asal suara.

Dari jarak yang cukup jauh, mata elang Hou Yi melihat sekumpulan besar orang berlarian menuju ke arahnya. Wajah-wajah semua orang itu menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Apa gerangan yang terjadi? batin Hou Yi.

Tak berapa lama, ribuan orang yang berlari sambil berteriak minta tolong itu sampai ke arahnya. Tetapi Hou Yi tidak turut berlari. Ia tetap bergeming. Beda dengan orang di sekitarnya. Walau tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, mereka ikut-ikutan lari karena terhipnotis kepanikan massal.

Chang E: Legenda Dewi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang