Bagian 1 - Sepuluh Matahari #2

20 0 0
                                    


Waktu berlalu. Perjalanan Hou Yi sudah semakin dekat dengan tata surya matahari. Dari jauh Hou Yi melihat delapan planet, lima planet kerdil, dan jutaan benda langit lain mengorbit pada sang matahari.

Namun, di mana sembilan matahari lainnya? Mengapa mereka tak terlihat?

Oh, rupanya Hou Yi mengira jika sembilan matahari yang sedang membakar dataran Cina itu serupa dengan matahari yang menjadi pusat tata surya. Wah, jika itu yang terjadi, bukan dataran Cina saja yang akan terbakar, tetapi seluruh sistem tata surya matahari akan hangus.

Hou Yi menambah kecepatan terbangnya. Ia tidak mau terlambat sampai di bumi. Jika terlambat, siapa tahu hal-hal buruk akan terjadi. Kiamat pasti akan dengan cepat melanda seantero bumi, pikirnya.

Sekali lagi, Hou Yi tidak mau terlambat. Kini, ia bergegas memasuki atmosfer bumi. Saat menembusnya, ia melihat kobaran api menyelimuti seluruh tubuh, dari ujung simpai di kepala hingga ujung sepatu di kedua kakinya. Meski begitu, ia sama sekali tidak merasakan panas atau terbakar.

Di atas mega-mega, Hou Yi sudah melihat daratan yang akan menjadi tempat baginya untuk menginjakkan kaki. Area itu masih banyak ditumbuhi pepohonan. Sama sekali tidak ada yang terbakar. "Di situkah orang-orang itu mengungsi?" gumam Hou Yi.

Untuk memastikannya, Hou Yi memberikan energi lebih kepada kedua bola matanya agar mempunyai daya penglihatan tajam seperti elang.

Dari pandangan jarak jauhnya, Hou Yi melihat ribuan orang berkumpul di sana tanpa mempunyai rumah untuk berlindung. Di bawah pohon, mereka tinggal dalam tenda-tenda ala kadarnya. Hanya terbuat dari bentangan kain dengan kerangka dari dahan-dahan pohon.

Penampilan mereka pun lusuh dan kotor. Wajah mereka tampak menyiratkan kelelahan yang amat sangat. Anak-anak menangis kelaparan. Tidak ada keceriaan terpancar dari jiwa-jiwa belia itu. Tak satu pun di antara mereka yang mengisi waktunya dengan bermain.

Semua orang menderita. Tanpa kecuali.

Ya, tanpa kecuali. Sebab, ketika telapak kaki Hou Yi sudah menyentuh tanah dan berdiri di hadapan mereka, seorang lelaki setengah baya datang menemuinya. Di belakangnya, ribuan orang lari berbondong-bondong mengikuti lelaki itu.

Hou Yi menatap keseluruhan penampilan lelaki itu. Dari pakaian kebesarannya yang sudah lusuh dan gerak-geriknya yang elegan, Hou Yi menebak orang itu pasti seorang bangsawan yang sangat dihormati.

Ketika lelaki itu sampai di hadapan Hou Yi, ia ber-kowtow kepada dewa pemanah itu. Ribuan orang di belakangnya turut melakukannya. Selama beberapa detik mereka berada dalam posisi itu. Kemudian Hou Yi berlutut dan menyentuh kedua bahu lelaki itu. "Bangunlah," pintanya.

Lelaki itu menuruti permintaan Hou Yi dan perlahan-lahan berdiri sehingga keduanya saling berhadapan lagi. Lagi-lagi ribuan orang di belakangnya ikut berdiri.

Sejenak, tidak ada kata yang terucap. Hou Yi dan lelaki itu hanya saling berpandang. Seolah tidak tahu apa yang harus mereka ucapkan.

Salah seorang pria muda, yang juga berpenampilan bangsawan, berjalan menghampiri mereka. Setelah memberi hormat, pria muda itu berkata kepada Hou Yi, "Dewa, perkenalkan, beliau adalah Baginda Yang Mulia Kaisar Yao, raja kami."

Hou Yi tersenyum kepada pria itu, yang rupanya adalah perdana menteri Kaisar Yao.

"Yang Mulia, perkenalkan, nama hamba Hou Yi," ucap Hou Yi sembari memberi hormat. "Hamba turun ke bumi karena memperoleh titah dari Kaisar Langit, Yu Huang Shang Di, untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi di bumi."

Kaisar Yao tertegun. Lalu ia bertanya, "Apakah masalah itu berkaitan dengan sepuluh matahari yang tengah membakar negeri kami?"

"Benar sekali, Yang Mulia. Kaisar Langit menghendaki hamba untuk memberikan nasihat kepada matahari-matahari itu supaya mereka menyinari bumi secara bergantian."

Chang E: Legenda Dewi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang