Bagian 2 - Penggembala Seratus Domba

119 1 0
                                    

Domba-domba mengembik di padang penggembalaan tepi Teluk Latmia, Caria, Anatolia. Mereka gembira melahap rumput-rumput yang tumbuh menghampar di sana. Beberapa domba yang sudah kekenyangan, lebih memilih bermalas-malasan di atas rerumputan. Sebagian lagi sedang bermain adu tanduk untuk menentukan siapa yang terkuat di antara mereka.

Angin semilir sejuk berembus dari Laut Aegea, membelai daun-daun bunga bakung yang tumbuh liar di sela rerumputan. Burung-burung pipit terbang searah tiupannya. Udara selepas pagi tak lagi panas, meski sinar matahari sempat menyengat keras.

Endymion duduk di bawah keteduhan sebuah pohon. Dari kejauhan, matanya awas memperhatikan domba-dombanya. Setiap saat, pemuda penggembala ini harus waspada dari ancaman serigala yang tanpa diduga sering mengintai domba-domba yang sedang merumput di tengah padang.

Untuk mengusir sunyi, Endymion memetik dawai-dawai lira mungilnya. Menyanyikan sebuah syair yang pernah diajarkan seorang pemuda terpelajar dari Arcadia, setahun yang lalu. Nyctimus nama pemuda itu. Endymion mengenalnya saat Nyctimus hendak melanjutkan perjalanan belajarnya ke Efesus.

Endymion sempat mencatat syair itu saat Nyctimus menyanyikannya.

"Bagaimana? Bagus bukan?" tanya Nyctimus pada waktu itu untuk minta pendapatnya.

"Suaramu merdu," puji Endymion, lugu.

"Bukan. Bukan itu maksudku," tolak Nyctimus. "Yang kumaksud syair lagunya. Bagus tidak?"

"Ehm... bagus," jawab Endymion agak ragu karena ia sama sekali tidak mengerti tentang syair-syair puitis.

"Tentu saja bagus," kata Nyctimus sepakat. "Syair ini ditulis seorang raja Israel. Daud namanya. Aku berjumpa dengannya saat kemarin berkunjung ke Yerusalem, kota yang ia jadikan pusat pemerintahannya. Ia bahkan mengundangku makan malam dan menyanyikan lagu ini."

"Mengapa lagu ini menyebut-nyebut kata 'gembala'?" ta­nya Endymion penasaran. Kata "gembala" yang muncul dalam syair itu jelas menarik perhatiannya yang juga seorang penggembala domba.

"Sewaktu muda, Raja Daud pernah menjadi penggembala kambing domba milik ayahnya. Sama sepertimu, Endymion."

"Ayahnya seorang raja atau penggembala juga?"

"Isai, ayah Raja Daud, sewaktu muda juga sempat menjadi penggembala. Namun ketika sudah tua, kambing domba miliknya diserahkan kepada Daud, anaknya yang bungsu, untuk digembalakan. Isai ini mempunyai delapan anak laki-laki. Anak sulung, kedua, dan ketiga mengikuti Raja Saul, raja Israel saat itu, untuk berperang melawan bangsa Filistin."

Endymion tertegun mendengar kisah dari Nyctimus.

"Suatu kali," lanjut Nyctimus, "Isai menyuruh Daud pergi ke Lembah Tarbantin yang menjadi arena perang tentara Israel melawan pasukan Filistin. Ayahnya meminta Daud memastikan keselamatan ketiga kakaknya sekaligus mengantarkan makanan untuk mereka. Sesampai di sana, saat bertemu dengan kakaknya, muncullah sesosok raksasa dari antara pasukan Filistin. Goliath nama raksasa itu. Tentara Israel ketakutan saat melihatnya."

"Lalu?" Endymion semakin antusias.

"Daud yang bertubuh kecil, yang katanya seperti diriku ini, menemui Raja Saul untuk mengajukan diri melawan Goliath."

"Raja Saul lantas mengabulkannya?"

"Tentu saja tidak, Endymion. Raja Saul meragukan kemampuan Daud yang masih muda dan tidak punya pengalaman berperang. Padahal, Goliath sudah menjadi prajurit sejak masih remaja."

"Kurasa pemikiran Raja Saul benar adanya. Dia pasti tidak ingin Daud mati konyol di tengah medan perang," terka Endymion menganalisa.

"Memang. Tapi Daud tetap bersikeras untuk maju melawan Goliath. Sebagai penggembala domba, ia mengaku pernah menghajar serta membunuh singa dan beruang yang menerkam dombanya. Bahkan, ia juga mengaku berani melepaskan dombanya dari gigitan binatang-binatang buas itu. Katanya, ia telah dilindungi oleh Tuhan," cerita Nyctimus yang semakin menarik hati Endymion.

Chang E: Legenda Dewi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang