Bagian 3 - Kekecewaan Nawangsih

39 1 0
                                    

Enam tahun lamanya Bondhan tinggal di rumah Ki Ageng Tarub. Ia pun telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Gadis-gadis di Desa Tarub banyak yang terpikat padanya. Bila Bondhan sedang bekerja di sawah, gadis-gadis itu berlomba memberinya lauk atau sekadar jajanan ketika mengirim makan siang untuk ayah mereka.

Bondhan senang-senang saja diperhatikan seperti itu. Tetapi ia tidak ingin membalas rasa suka mereka dengan memilih salah satu sebagai kekasih. Bondhan hanya menganggap mereka sebatas teman saja. Tidak lebih.

Meski begitu, Asih kadang-kadang cemburu. Sebagai "adiknya", Asih merasa "kakaknya" itu lebih senang menyantap makanan yang dibawakan gadis-gadis itu ketimbang bekal yang sudah disiapkannya dari rumah.

"Makanan mereka lebih enak dari buatanku ya?" sindir Asih sore itu sewaktu Bondhan baru pulang dari sawah.

"Ah, tidak. Makananmu lebih enak, Dinda," elak Bondhan sembari meletakkan cangkul dan sabit.

"Kanda, bohong. Kalau makananku lebih enak, mengapa saat istirahat Kanda selalu menghabiskan makanan mereka? Sedangkan makananku baru Kanda makan setelah dibawa pulang kembali," protes Asih.

"Jangan begitu, Dinda. Kanda sulit menolak tawaran mereka. Apalagi mereka selalu menemani kanda kalau sedang istirahat. Mereka selalu ingin melihat kanda memakan jajanan yang mereka bawa. Itu membuat mereka senang, Dinda."

"Oh, jadi Kanda lebih memilih menyenangkan hati mereka ketimbang perasaan adiknya sendiri ya?"

"Lho, Dinda kok malah berpikiran seperti itu?"

"Habisnya Kanda lebih mementingkan mereka!"

"Dinda, kanda itu tidak bermaksud mengistimewakan orang lain. Kanda hanya ingin berteman dengan siapa saja, tanpa pandang bulu. Entah dia laki-laki atau perempuan. Kanda tidak mau dicap sombong. Mentang-mentang anak Ki Ageng Tarub, lalu kanda membatasi pergaulan. Itu kan tidak baik, Dinda," terang Bondhan memberi alasan.

Asih mencoba mencerna kata-kata Bondhan barusan. Di satu sisi Asih setuju, tetapi di sisi lain ia ingin diutamakan. Setiap pagi ia selalu membuat makanan untuk bekal Bondhan ke sawah. Saat matahari tepat di atas ubun-ubun, ia mengantar nasi, sayur, dan lauk untuk makan siang Bondhan dan beberapa orang yang bekerja di sawah milik ayahnya. Makanya, Asih sangat ingin Bondhan mau menghargai perhatiannya itu dengan menyantap makanan yang dibuatnya. Ketika melihat Bondhan lahap menyantap makanan dari gadis-gadis itu, Asih jelas kecewa.

"Oya," lanjut Bondhan. "Gara-gara sikapku ini, persahabatan Dinda dengan gadis-gadis itu menjadi renggang. Dinda pelan-pelan menjauhi mereka. Padahal kanda tahu, Dinda sudah berteman baik dengan mereka sejak kecil. Kanda harap, setelah Dinda mendengar alasan kanda tadi, Dinda mau bersahabat lagi dengan mereka. Toh, mereka tidak salah. Mereka hanya ingin berteman dengan kanda."

Asih terdiam. Dalam hati ia merasa sangat bersalah. Hanya gara-gara cemburu soal makanan, ia mengorbankan persahabatannya dengan para gadis itu. Pasti mereka sedih karena Asih sudah tidak peduli lagi dengan mereka.

"Kalau begitu, nanti aku akan menemui mereka untuk meminta maaf," janji Asih.

"Bagus!" puji Bondhan singkat semari menepuk-nepuk bahu kanan Asih.

Gadis enam belas tahun itu akhirnya tersenyum.

"Jadi, kalau besok aku membuat makanan untuk Kanda, begitu juga dengan teman-temanku, mana yang Kanda pilih? Makananku atau makanan mereka?" uji Asih.

Bondhan pura-pura berpikir. Kedua alisnya turun naik bergantian. "Aku pilih yang paling enak saja ah!" jawab Bondhan dengan nada bercanda.

"Uh, dasar!!!"

Chang E: Legenda Dewi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang