Bagian 1 - Sepuluh Matahari #1

642 7 0
                                    

Angin meniup butiran-butiran debu dari hamparan tanah yang kering kerontang dan retak. Inilah hari keenam puluh sejak sepuluh buah matahari muncul bersama di dataran Cina pada tahun 2346 SM. Saat itu segala bentuk kehidupan hampir musnah. Pohon-pohon besar terbakar dan menjadi arang. Rumput, semak, perdu, dan ilalang telah habis menjadi abu.

Sebagian manusia dan binatang mati. Kini hanya tinggal tulang-tulang mereka yang tersisa. Sebagian lagi mencoba bertahan hidup dengan mengungsi ke daerah tenggara yang kini bernama Guangzhou atau Canton. Tempat itu rupanya sangat aman dari sengatan panas sepuluh matahari.

Untunglah, di sana terdapat sungai yang masih mengalirkan air yang jernih dan segar. Angin yang bertiup dari laut pun mampu menyejukkan dan mengobati kegerahan mereka. Di pengungsian, tak henti-hentinya mereka berdoa, memohon belas kasih Kaisar Langit dan para dewa. Mereka ingin segera terbebas dari segala penderitaan dan bencana besar itu. Mereka takut jika sengatan sepuluh matahari itu juga akan sampai di tempat mereka mengungsi.

Dan, setelah kawasan yang mereka tinggalkan tak lagi berpenghuni, istana kaisar, rumah-rumah milik rakyat, serta bangunan-bangunan lainnya telah runtuh dan hancur menjadi puing-puing. Air di sungai, danau, dan sumur pun mengering. Hujan pun tak lagi turun karena kehadiran sepuluh matahari mampu menghalau awan-awan di langit yang tak lagi biru itu. Ya, kini langit tak lagi berwarna biru, melainkan merah.

Semua bencana itu sekali lagi terjadi akibat ulah sepuluh matahari yang merupakan perwujudan sepuluh burung api yang disebut hong atau fenghuang. Burung ini memiliki bulu yang sangat indah berwarna merah dan keemasan yang berbalutkan api di sekujur tubuhnya. Sepertinya, burung-burung fenghuang ini adalah burung terbesar yang pernah terbang di langit bumi. Panjang masing-masing burung sekitar 75 meter, terhitung dari ujung kepala sampai ujung ekor. Sedangkan rentang kedua sayapnya sekitar 80 meter.

Burung-burung dengan wujud seperti rajawali dan bulu ekornya seperti merak itu terbang menari-nari di langit. Mereka seperti anak-anak yang bergembira ria karena telah menemukan sebuah tanah yang lapang untuk bermain.

Namun, ternyata tidak semua burung api atau matahari itu merasa senang dengan situasi yang mereka ciptakan. Ada satu matahari, yang paling tua, merasa sedih melihat ulah adik-adiknya. Lalu ia mencoba menegur mereka, "Hai, Adik-adik­ku. Mengapa kalian sangat bandel? Bukankah kalian bersama denganku diutus Kaisar Langit untuk terbit secara bergiliran? Lihat perbuatan kalian! Kalian telah membuat bumi dilanda bencana!" ucap matahari tertua dengan gusar.

"Ha ha ha ha .... Kakak, untuk apa kami terbit bergiliran? Bukankah lebih mengasyikan jika kita bisa berkumpul bersama-sama seperti ini?" bantah salah satu dari adik-adiknya.

"Benar, Kakak. Kami bosan jika harus bersembunyi dulu sampai tiba waktu kami untuk keluar. Apalagi kami harus bersembunyi di tempat yang berbeda. Kami kesepian, Kakak! Biarkan kami bermain bersama-sama!" protes matahari yang lain.

"Benar! Benar! Benar!" seru adik-adiknya bersahut-sahutan. Mereka pun kembali terbang menari-nari di bawah langit merah. Setiap kali sayap-sayap mereka mengepak, saat itulah tubuh mereka mengeluarkan kobaran api dan hawa panas yang membakar bumi.

Matahari tertua kalah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali membiarkan adik-adiknya menikmati masa bermain mereka.

Matahari tertua maklum, adik-adiknya memang masih sangat belia dan belum punya banyak pengalaman untuk belajar. Berbeda dengan dirinya yang sudah terlahir sejak Pan Gu mengayunkan kapaknya pada saat alam semesta tercipta.

Ia melihat sendiri bagaimana bumi terbentuk dari bola panas yang membara hingga berangsur-angsur mendingin dan memunculkan tanda-tanda kehidupan. Ia tahu betul betapa alam dan seluruh makhluk hidup di bumi sangat tergantung kepada dirinya.

Chang E: Legenda Dewi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang