Bintang-bintang bertaburan di angkasa dan bulan bulat bersinar menerangi alam Desa Tarub. Sebagaimana tradisi di Jawa, pada malam bulan purnama, anak-anak pergi keluar halaman untuk bermain bersama teman-temannya. Mereka menyambut kebebasan itu dengan gembira. Sebab, pada malam-malam yang lain, mereka tidak diizinkan keluar rumah supaya tidak diculik makhluk halus.
Tetapi, bila bulan purnama tiba, malam akan benderang bagaikan siang sehingga makhluk-makhluk tak kasatmata itu mengira matahari masih menyinari jagat raya. Jadi, anak-anak itu sudah pasti terhindar dari ancaman penculikan.
Sembari menyaksikan anak-anak berlarian di jalan depan rumah, Telangkas dan Wulan duduk bersisihan di atas bangku panjang yang sengaja mereka keluarkan dari rumah. Telangkas ingin menikmati terang bulan bersama Wulan yang sebelum ini memang tinggal di sana.
"Seperti apa tanah di bulan itu, Wulan? Apakah sama seperti di bumi? Atau lebih indah, karena bulan tampak cantik bila dilihat dari sini?" tanya Telangkas penasaran.
"Ha ha ha ...," tawa Wulan terbahak-bahak.
"Mengapa kamu tertawa, Wulan? Apakah pertanyaanku salah? Atau pertanyaanku menggelikan bagimu?" tanya Telangkas lagi. Kali ini ia sedikit kesal karena bukannya mendapat jawaban malah ditertawakan.
"Bukan begitu, Telangkas," sanggah Wulan. "Bulan itu pada kenyataannya tidak secantik yang orang bumi pikir."
"Lho, bukankah para pujangga atau sastrawan selalu menyebut rembulan itu cantik? Mereka bahkan menyanjung perempuan ayu dengan kata-kata 'secantik rembulan'," bantah Telangkas.
"Ribuan tahun aku tinggal di sana, Telangkas. Mana mungkin aku berbohong? Memang kenyataannya seperti itu. Malah, bumi ini jauh lebih cantik ketimbang bulan. Bulan, terutama saat purnama, terlihat cantik karena memantulkan cahaya matahari ke bumi. Supaya kamu tahu, bulan tidak mengeluarkan cahayanya sendiri. Pantulan cahaya itu, bila dilihat dari bumi, seolah-olah memberi kesan bahwa bulan itu bersinar. Inilah yang membuat bulan terlihat cantik menurut manusia bumi," terang Wulan.
"Lalu, seperti apa wajah bulan yang sesungguhnya?"
"Bopeng. Hampir di seluruh permukaannya terdapat banyak kawah akibat jatuhnya batu-batu angkasa ke bulan. Tidak seperti bumi yang memiliki lapisan udara yang berguna untuk menghancurkan batu itu sebelum jatuh ke permukaan tanah atau laut, bulan sama sekali tidak memilikinya. Maka, batu-batu itu jatuh dengan bebas ke permukaan bulan. Rumahku di sana pun bisa hancur bila tidak dilindungi oleh sebuah kubah tak kasatmata. Tapi untunglah, jatuhnya batu itu sangat jarang terjadi," papar Wulan menjelaskan.
"Dan, bagaimana rupa bumi bila dilihat dari sana?" pertanyaan terus mengalir dari mulut Telangkas. Tampaknya ia sangat ingin mengetahui seperti apa wujud alam raya ini.
"Bulat, sama seperti bulan. Tetapi cantiknya nyata. Dari jauh, laut tampak biru dan warna daratan merupakan perpaduan warna hijau dan cokelat. Di bagian utara dan selatan tampak putih karena di situlah tempat paling dingin di bumi. Di sana terdapat salju dan gunung es."
"Salju? Gunung es? Apa itu?"
"Salju itu butiran uap air berwarna putih seperti kapas yang membeku di udara dan turun ke bumi seperti hujan. Sedangkan gunung es itu bongkahan air raksasa yang membeku seperti batu."
Dahi Telangkas berkerut karena sulit membayangkan seperti apa peristiwa alam yang Wulan ceritakan itu. Meski masih sangat penasaran, ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Khawatir jika penjelasan Wulan malah membuatnya semakin pusing.
Ketimbang membicarakan sesuatu yang sulit masuk ke otaknya, Telangkas mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan tentang keenam bidadari yang mengajak Wulan turun ke bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chang E: Legenda Dewi Bulan
FantasyHukuman seribu kali reinkarnasi dijatuhkan kepada Hou Yi karena nekat memanah sembilan matahari. Mula-mula, ia diusir dari kahyangan dan harus tinggal di bumi bersama Chang E, istrinya, hingga ajal menjemputnya dan Chang E beralih menjadi Dewi Bulan...