Bagian 3 - Telaga di Kaki Pelangi

82 2 0
                                    

Gerimis pagi itu baru saja usai dan lengkungan busur sapta warna terlihat jelas di langit barat. Ayam-ayam keluar dari kandang. Mencari makanan yang dapat mereka korek dari balik butiran-butiran tanah yang masih basah. Seekor cacing yang baru keluar dari liangnya, menemui nasib sial karena berhasil dimangsa seekor ayam betina.

Di dahan-dahan pepohonan, kicau burung-burung pipit terdengar bersahut-sahutan. Beberapa ekor burung pipit terbang dari pohon yang satu ke pohon yang lain.

Tingkah polah burung-burung itu menarik perhatian seorang pemuda yang sejak gerimis masih turun tak beranjak dari pintu depan rumah tempat ia berdiri. Hatinya sudah tidak sabar untuk segera pergi keluar rumah demi menyalurkan hobinya: berburu burung dan rusa di hutan.

Sebuah busur tergenggam di tangan kanannya. Anak-anak panahnya telah siap di dalam kantung yang terikat di punggungnya. Sedangkan tangan kirinya memegang sebuah sumpit yang terbuat dari bambu Cina.

Wujud kedua jenis alat berburu itu tidak seperti yang biasa dimiliki orang-orang yang juga hobi berburu seperti sang pemuda. Busur panah miliknya tampak seperti milik seorang ksatria bangsawan. Seorang pemburu yang berasal dari desa tidak mungkin memiliki busur yang dihiasi dengan sejumlah ukiran di beberapa bagian. Busur yang mereka miliki biasanya dibuat sendiri dengan wujud seadanya.

Begitu pula dengan sumpit. Para pemburu yang pernah bertemu dengan si pemuda, sangat kagum melihat wujud sumpit yang dibuat dari potongan bambu Cina sangat sulit didapat. Tanaman itu, setahu mereka, hanya terdapat di istana Majapahit karena sang raja telah lama menjalin hubungan dengan kaisar negeri itu.

Kepada setiap orang yang bertanya, sang pemuda menjelaskan bahwa busur panah itu ia peroleh dari Bhre Kertabhumi yang pernah bermalam di rumahnya. Sebagai tanda terima kasih dan persaudaraan, Bhre Kertabhumi meninggalkan kenang-kenangan berupa busur yang saat itu dibawanya. Sedangkan sumpit ia peroleh dari Ki Ageng Gribig atau Syekh Maulana Magribi, seorang ulama agama Islam asal Maroko, yang mengaku sebagai ayah kandungnya.

Setelah memastikan peranti berburunya sudah lengkap, sang pemuda memanggil anjingnya dengan sebuah siulan panjang. Beberapa detik kemudian si anjing keluar dari semak-semak di halaman dan berlari kencang ke arahnya. Sang pemuda menyambut anjing itu dengan berjongkok dan mengelus-elus kepalanya. "Kamu jadi ikut berburu denganku lagi, Gadhung?" tanya sang pemuda seolah anjing itu bisa menjawabnya.

Si anjing yang bernama Gadhung itu menggonggong sekali. Sang pemuda menganggapnya sebagai jawaban.

"Baik, Gadhung. Ayo kita lekas pergi mumpung masih pagi."

Gadhung menggonggong dua kali. Sang pemuda pun berdiri dan melangkah keluar. Gadhung mengekor di belakangnya. Namun, sebelum ia jauh dari rumah, terdengar suara seorang wanita memanggilnya, "Telangkas, kamu mau ke mana?"

Telangkas, nama pemuda itu, menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Seorang wanita tua sudah berdiri di tempatnya tadi. "Ke hutan, Bu. Berburu burung seperti biasanya," sahutnya. "Tapi kamu belum sarapan, Ngger," seru wanita yang dipanggilnya "Ibu" itu.

"Aku masih kenyang, Bu. Semalam, sebelum tidur, aku makan terlalu banyak. He he he ...."

"Ah, dasar bocah bandel. Nanti kalau kamu kelaparan di hutan bagaimana?"

"Hasil buruanku langsung kumakan saja, Bu. Gampang kan?"

"Lha Gadhung sudah kamu beri makan belum?"

"Belum, Bu. Tapi aku sudah bawa tulang-tulang ayam sisa makan kita semalam," tunjuknya dengan menepuk kantung kain yang terikat di pinggangnya.

"Ya sudah kalau begitu. Tapi kalau nanti kalau kamu tiba-tiba kelaparan, jangan malu minta makanannya Gadhung ya. Bilang saja padanya, dengan teman harus saling berbagi. Ha ha ha ...," pesan ibunya dengan bercanda.

Chang E: Legenda Dewi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang