Bagian 1 - Pil Keabadian dan Ramuan Permata

143 2 0
                                    

Banjir selama sebulan itu memang hanya melanda Hunan. Namun, dampaknya sangat besar bagi kehidupan manusia di sekitarnya. Danau Dongting dan sejumlah sungai menjadikan Hunan sebagai daerah yang sangat subur. Beragam hasil bumi dihasilkan di Hunan. Ketika banjir melanda, kelompok suku yang dipimpin Hou Yi juga merasakan imbasnya. Tidak ada lagi pasokan bahan makanan, terutama beras dan sayuran, dari pedagang-pedagang yang langsung mengambil dari para petani Hunan. Sementara itu, persediaan bahan makanan di lumbung sudah semakin menipis, padahal banyak mulut dan perut yang butuh makan.

Karena tak ingin seluruh anggota sukunya kekurangan pangan, Hou Yi mengajak para lelaki untuk berburu di hutan. Incaran mereka burung, rusa, dan babi liar. Hou Yi meminta murid-muridnya yang sudah terampil memanah untuk memburu ketiga jenis binatang itu. Sedangkan yang tidak bisa memanah, Hou Yi memberi mereka tugas menangkap ikan atau mengumpulkan umbi-umbian. Pokoknya mengusahakan segala sesuatu yang dapat dimakan. Itu sudah sah!

Hasil buruan mereka tidak langsung dibagi-bagi kepada masing-masing kepala keluarga, melainkan memasak dan menikmatinya bersama-sama. Jadi, setiap kali mereka makan bersama, tampak seperti pesta besar wujudnya. Tetapi mereka tidak menganggapnya sebagai pesta. Mereka malah menyebutnya masa keprihatinan yang dirayakan dengan makan besar.

Setiap hari memakan daging binatang buruan, membuat tubuh mereka mulai terganggu. Jantung berdebar-debar lebih kencang, otot-otot telapak tangan dan kaki terasa nyeri, pandangan mata berkunang-kunang, serta mual-mual. Bahkan, ada yang sampai tiga hari sembelit sehingga tidak dapat membuang hajat karena kekurangan serat.

Hou Yi dapat merasakan penderitaan para anggota sukunya meski ia tidak mengalaminya. Fisiknya yang terlahir sebagai dewa cukup mampu mengatasi "siksaan-siksaan" seperti itu.

Bagaimana dengan Chang E? Apakah dia baik-baik saja?

Tentu saja, pandang Hou Yi. Sebagai mantan dewi kahyangan, tubuh Chang E pasti juga tidak akan menderita.

Ketika Hou Yi menghampiri istrinya, dengan agak kikuk ia mencoba menyapa Chang E yang asyik memberi makan Yu Tu. "Eh ... kau tidak makan, Chang E?" sapanya setengah ragu.

Mata Chang E menyorot tajam seperti sedang menghardik. Kedatangan Hou Yi dianggap mengganggu kesenangannya bercengkerama dengan kelinci kesayangannya. "Apa yang bisa kumakan?" tanyanya ketus.

"Tadi kami berhasil memanah rusa-rusa gemuk. Itulah menu kita hari ini," jawab Hou Yi getir.

"Aku bosan memakan daging binatang-binatang liar. Aku ingin makan nasi, buah-buahan, dan sayuran. Kau bisa menyediakannya untukku?"

"Seluruh daerah yang menghasilkan padi, sayur, dan buah-buahan telah habis disapu banjir. Lalu, ke mana aku harus pergi untuk mendapatkannya?" tanya Hou Yi putus asa.

"Di kahyangan pasti sedang panen buah persik."

"Tapi aku tidak bisa lagi terbang sendiri ke sana, Istriku. Sekarang aku hanya manusia biasa. Kau juga."

Chang E mendesah. Membuang napas kuat-kuat. "Terserah! Ini semua terjadi gara-gara ulahmu! Mengapa waktu itu kau sampai harus membunuh sembilan matahari itu? Semestinya kau sadar kalau mereka itu anak-anak Kaisar Langit. Dan, bagaimana pula kamu sampai ingin bercinta dengan Mi Fei, istri Feng Yi? Sekarang lihat akibatnya. Feng Yi sampai mengamuk dan membuat banjir! Kamu benar-benar tidak tahu malu!" bentak Chang E dengan tangis meledak.

Kalau Chang E sudah begitu, Hou Yi hanya bisa diam. Menekuri kesalahannya.

"Baiklah, itu semua salahku." Hou Yi mengaku. "Tenanglah, Istriku. Kemarahan hanya akan membuatmu menjadi cepat tua."

Mendengar kata "tua", Chang E tertegun sejenak. Pikirannya melayang-layang membentuk bayangan imajinasi ketika kelak dirinya menjadi seorang nenek berkulit keriput. Saat itu, ia tak secantik kini. Sebagai manusia fana, kecantikannya memang tak lagi akan abadi. Jika waktu terus berjalan, kejadian itu tidak akan dapat dihindarinya.

Chang E: Legenda Dewi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang