Gosip

31.1K 1.6K 23
                                    

Bau darah menusuk hidung meski aku sudah mengenakan masker. Di sampingku Revan tengah sibuk menjahit luka yang berada tepat di kepala pasien yang baru saja terjatuh. Menurut keluarga pasien luka itu didapatkan karena pasien jatuh dari tangga. Aku bergidik ngeri mendengar bagaimana luka selebar empat centi itu bisa ada di kepala pasien.

"Kamu bisa lanjutin" ucap Revan bergeser memberi ruang besar untukku. Aku mengenakan sarung tangan kemudian mengambil perban dan plester. Aku mulai memasangan perban untuk menutupi luka agar tidak terkontaminasi bakteri dari luar.

Setelah selesai membalut pasien aku menemukan Revan masih berdiri disampingku. Ia memperhatikanku dengan seksama. Aku kira ia sudah pergi dan mencari kesibukan lain. Tak diduga ia masih ada disini, satu ruangan denganku bahkan memandangiku.

"Lo bisa jahit luka?" ia bertanya padaku ketika pasien sudah dipindahkan keruangan lain. Aku melirik Revan tadi saja didepan pasien ia bilang kamu dan sekarang kembali lo-gue. Ternyata ia bisa juga memiliki sopan santun.

"Ya saya bisa" aku masih menggunakan kata saya karena ini masih dilingkungan rumah sakit. Ia tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku tak tau apa yang ada dipikirannya karena ia tak menyuarakan pemikirannya.

"Ah ya lo denger mengenai bencana gempa yang baru saja terjadi?" ia kembali bertanya padaku. Ya, tentu saja aku tau mengenai gempa berkekuatan besar yang baru saja menimpa wilayah barat Indonesia. Berita itu menyebar cepat karena seluruh televisi dan surat kabar heboh memberitakan semua mengenai gempa.

"Gue mau jadi relawan" aku menatapnya tak mengerti kenapa ia yang akan menjadi relawan harus memberitahuku. Ia bebas menjadi relawan tanpa harus memberitahuku. Tak mungkin kan ia meminta izin padaku ketika ia mau menjadi relawan. Sepertinya kami tak dalam hubungan seperti itu sejauh ini kami hanya rekan kerja dan musuh diam-diam di luar rumah sakit.

"Terus?" tanyaku ketika ia masih saja diam tak melanjutkan pembicaraannya.

"Gue mau lo ikut?" aku membelalakan mata, bahkan alat-alat jahit luka yang tengah berserakan hampir jatuh. Bukankah ia sangat tak menyukaiku lalu kenapa memintaku menjadi relawan bersamanya. Aku memang senang bisa membantu sesama tapi ini aneh ketika Revan yang memintaku melakukannya bersamanya. Ia saja tak pernah mau aku bantu saat disini kenapa tiba-tiba ingin aku membantunya saat ia menjadi relawan.

"Kenapa saya?" ucapku membawa alat-alat jahit luka yang baru saja aku bereskan ketempat pencucian. Sambil menunggu jawaban Revan aku mencuci gunting, pinset dan beberapa alat yang terbuat dari logam.

"Karena lo sepertinya cukup cekatan" aku ingin sekali memastikan itu bukan sindiran. Ia kan selalu meledekku dan ia kini tiba-tiba memujiku tentu aku curiga.

"Kemana dokter Revan yang mandiri dan gak mau dibantu saya dan teman-teman saya yang lain?" tanyaku karena semenjak bekerja di rumah sakit ini bersama Revan, ia tak pernah mau di bantu terutama olehku.

"Gue serius Audry" ah tentu aku juga serius apa dia pikir aku bercanda. Ini aneh sekali karena ia bersikap sangat bersahabat saat ini.

"Saya rasa banyak perawat yang lebih berpengalaman seperti Bruther Dika" (Bruther-sebutan lain untuk perawat laki-laki.) Aku menyebutkan perawat laki-laki yang sangat cekatan dalam mengerjakan sesuatu.

"Sebenernya gue disuruh dokter Yusuf dan dia dengan khusus meminta gue sama lo yang pergi. Dokter Yusuf bilang untuk melatih keterampilan kita dan tentu untuk menolong sesama" aku sudah mengira ia mengajakku bukan karena keinginannya. Tak mungkin ia mau bekerjasama denganku mengingat kisah kami yang banyak sekali berselisih paham.

"Jika itu kemauan dokter Yusuf saya akan ikut" ucapku sambil tersenyum.

"Jadi karena dokter Yusuf yang minta lo mau sedangkan gue yang minta lo gak mau?" aku tersenyum menjawab pertanyaannya kemudian mengambil alat-alat jahit yang sudah aku bersihkan ke tempat sterilisasi, sengaja meninggalkan Revan.

Love You, My PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang