Fate? Destiny? Oh I can't Believe

33.4K 1.8K 11
                                    

Perpustakan sangat sepi, hanya dua orang yang ada didalamnya. Aku buru-buru mencari buku yang aku cari. Aku harus mencari buku pediatric untuk menyelesaikan tugas kuliahku. Aku mulai mencari-cari dan akhirnya menemukannya.

"Hei itu buku yang mau gue pinjem" suara laki-laki yang tengah protes kini terdengar ditelingaku memecahkan keheningan yang ada di perpustakan.

"Itu masih ada satu buku lagi" tuturku mengambil buku yang sama dan memberikan kepadanya. Aku terkejut ketika melihat laki-laki yang ada dihadapanku. Ia tersenyum menyebalkan padaku.

"Nih" aku melempar buku padanya dan ia langsung protes. Mungkin ia kira aku tak bisa bersikap kasar. Jika dirumah sakit aku akan menghargainya karena kami partner kerja tapi diluar rumah sakit aku dan dia tak ada hubungan untuk saling menghargai.

"Lo kenapa bisa ada disini? Ah jangan bilang lo kuliah disini?" ah tidak jangan bilang ia juga kuliah disini.

"Bukan urusan lo" ucapku menatap tajam padanya enggan menjawab pertanyaannya.

"Lo? Biasanya lo bilang saya-kamu" ia mengejekku.

"Itu kalo di rumah sakit" ucapku memutar bola mata kemudian mencari kembali referensi buku yang akan aku gunakan.

Aku berjalan ke rak buku yang lain agar bisa menghilang dari hadapan Revan yang menyebalkan. Aku mencari buku-buku yang mungkin bisa aku gunakan untuk tugas kuliahku. Aku menemukan satu dan saat itu juga sebuah tangan ikut mengambil buku yang aku pegang.

"Please leave me alone dan jangan ganggu gue" ucapku kesal karena dia terus-menerus mengangguku.

"Gue mau pinjem buku ini juga" ia mengangkat kedua bahunya.

"Itu ada buku yang sama" ucapku menunjuk buku lain yang sama.

"Tapi gue mau buku itu" sial apa sih yang ia mau. Hobi sekali ia mengangguku. Dengan sangat kesal aku mengambil buku lain dan aku bisa mendengar ia tertawa cekikikan membuat aku ingin mencekik lehernya.

***

Aku melirik kesana-kemari mencari tau apakah ada orang disini. Aku memang diam-diam menggunakan laboratorium kampus. Belajar di laboratorium yang sepi merupakan hal yang sering aku lakukan. Selain tenang tak ada orang yang akan mengganggumu.

Aku duduk di satu-satunya meja yang ada disini. Aku membuka buku yang ada dan mulai membacanya. Aku mulai merangkumnya agar mudah memaminya.

Baru setengah jam aku membaca buku, rasa kantuk sudah datang. Ini kebiasaan burukku ketika belajar rasa kantuk sering kali menjadi penganggu. Aku meregangkan otot-otot leherku, beritirahat sejenak mencoba mengusir rasa kantukku.

Di tengah istirahatku dari menbaca, aku mendenga sayup-sayup percakapan antara dua orang. Terdengar perempuan dan laki-laki tengah berdebat mengenai sesuatu. Aku melirik jam, ini sudah pukul lima dan aku rasa takan ada mahasiswa yang masih berkeliaran disini.

"Hei tunggu" suara perempuan seperti tengah menghentikan laki-laki yang aku sendiri tak tau tengah melakukan apa.

Pintu terbuka begitu saja membuatku terlonjak kaget dari kursi. Kejutanku bertambah ketika menemukan Revan yang masuk. Saat aku mau bicara seorang perempuan menyusul masuk kedalam hingga membuat situasi aneh menyelimuti kami.

"Hei ngapain lo disini?" wajahnya nampak tak suka ketika melihatku ada di ruangan yang sama dengannya. Aku juga sebenarnya tak ingin satu ruangan dengannya.

"Ini laboratorium umum dan semua mahasiswa dan mahasiswi disini bisa menggunakannya" aku memutar bola mataku ingin menunjukan padanya kalo aku juga kesal padanya.

"Lo kenal dia?" perempuan disamping Revan terlihat tak senang bahwa ia mengetahui bahwa Revan mengenalku.

"Ya, dia satu rumah sakit sama gue" ucap Revan datar.

"Gue mau pake laboratorium, lo kalo cuman mau belajar kenapa gak ke perpus" ucap sang perempuan sinis membuatku mendesah kemudian membereskan barang-barangku. Aku berjalan kearah mereka berdua dan sengaja menabrak Revan dan tak peduli mendengar teman perempuannya mengumpat padaku.

***

Aku belum sarapan dan ini sudah pukul dua siang. Perutku sudah protes minta diisi. Dengan energi yang tersisa aku berjalan kekantin. Memilih tempat duduk dimanapun aku suka karena kantin sudah sepi. Ya, jam makan siang sudah lewat tak heran kantin tampak begitu sepi.

Aku makan dalam hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Marsha tak bisa menemaniku makan karena ia bilang ia sudah makan siang dan ada perlu dengan dosen. Ini membuatku harus sarapan dan makan siang seorang diri.

Aku selesai makan dan tanpa diduga aku bersendawa. Aku langsung menutup mulutku, untung saja tak ada orang disini. Aku bisa mati malu karena bersendawa keras setelah makan.

"Lo gak sopan" komentar sinis terdengar di telingaku. Aku melirik kekikir dan kanan mencari suara yang memberikan komentar sinis.

"Lo lagi" aku menunjuk Revan yang kini sudah duduk dihadapanku.

"Bisa gak sih lo gak berkeliaran di sekitar gue" ucapku terang-terangan menunjukan rasa tak sukaku padanya.

Ia memicingkan matanya terlihat tak suka dengan perkataanku. Aku tak peduli lagi, ini bukan rumah sakit dimana ia bisa menjajahku. Ini kampus, kita berdua punya hak yang sama dan aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membalas perbuatan Revan.

"Hei tunggu lo kali yang sengaja deketin gue pake selalu ketemu gue lagi" aku membelalakan mata sambil geleng-geleng kepala karena ia menuduhku melakukan hal yang tak mungkin aku lakukan.

"Gue gak pernah ikutin lo" ucapku menekankan setiap kata yang keluar dari mulutku.

"Terus lo mau bilang ini kebetulan gitu?" ia bahkan meragukan jika ini memang kebetulan bukan hal yang aku sengaja lakukan.

"Terus lo mau bilang ini gue yang iseng ikutin lo? Gak mungkin gue ikutin lo kayak gak ada kerjaan aja" ucapku dan ia malah tertawa.

"Jangan-jangan ini takdir" ia mengedipkan sebelah matanya membuatku bergidik ngeri.

"Jangan sampai ini takdir karena gue gak mau punya takdir sama lo" ucapku terus terang.

"Coba lo pikir apa yang terjadi sama kita. Ketemu di bus dan lo tau itu pertama kali gue naik bus ke rumah sakit karena mobil gue di bengkel. Kita ketemu dan lo nolongin pria tua yang pingsan terus ketemu lagi di rumah sakit dan sekarang kita ketemu di kampus ini. See? Gue rasa kita punya takdir yang aneh" aku menatap Revan tak percaya ia baru saja menjelaskan bagaimana pertemuan-pertemuan aneh yang jika aku renungkan memang pertemuan kami ini aneh.

Aku memikirkan apa yang Revan katakan. Jika ditelaah memang pertemuan kami begitu aneh. Pertama kami bertemu di bus kemudian tak sengaja ada dirumah sakit yang sama dan kini kami satu tempat kuliah. Ini aku masih bingung harus bilang ini kebetulan atau takdir seperti yang ia katakan.

"Ini kebetulan deh kayanya bukan takdir kata yang lo bilang" ucapku mencoba menghapus analisa Revan yang mengatakan ini takdir.

"Kebetulan itu kali terjadi satu atau dua kali dan kita sudah lebih dari dua kali" aku mengangguk memahami apa yang baru saja Revan katakan. Apa yang ia katakan memang ada benarnya.

"Jadi percaya kita punya takdir? Seneng punya takdir sama gue?" aku mendengus tak setuju dengan ucapannya yang terakhir. Mana mungkin aku senang hanya karena aku punya takdir dengannya.

"Gue gak suka punya takdir sama lo" ucapku menyangkal apa yang ia tanyakan padaku.

"Tapi kayanya hati lo berkata lain deh" aku ingin muntah mendengar ia sok tau dengan isi hatiku.

"Emang lo bisa tau isi hati gue? Gak mungkin bisa dan gue gak pernah mau punya takdir atau apa yang lo bilang sama lo" ucapku yang emosi kemudian pergi meninggalkannya dirinya dan ucapannya mengenai kami yang bertakdir.

***

Love You, My PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang