Solusi?

24.4K 1.4K 4
                                    

Aku mengetuk-ngetukkan pulpen kemeja. Suntuk bercampur dengan pemikiran ruwet yang ada dikepalaku berdesak-desakkan membuat pening. Ini sudah pukul delapan malam dan satu jam lagi shiftku berakhir tapi ucapan Revan masih saja terngiang ditelingaku.

Kami butuh solusi atas gosip yang terdengar sampai ditelinga kedua orang tua Revan. Berpura-pura pacaran sudah kami lakukan selama satu minggu dihadapan orang tua Revan tapi tak membawa kami memecahkan masalah yang ada. Masalahnya adalah orang tua Revan mendesak kami untuk segera bertunangan.

"Audry jangan melamun" Marsha menyolek tanganku membuatku berhenti berpikir menganai masalahku dengan Revan.

"Udah kayak pejabat aja lo yang lagi mikirin masalah negara" ungkap Marsha dramatis. Aku hanya mendesah ia tak tau sih bagaiman rasanya terjerat dalam sebuah gosip.

"For your information digosipin itu bikin lo sering mikir kayak para pejabat yang lagi mikirin masalah negara" ucapku menjelaskan kenapa akhir-akhir ini aku sering melamun. Marsha seperti orang yang berusaha memahami apa yang terjadi dari sudut pandangku. Ia terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terlihat menerawang.

"Punya solusi?" tanyaku ketika aku butuh saran dari seseorang karena aku dan Revan sudah sering bicara mengenai solusi tapi tak kunjung menemukan. Kami sudah pernah memulai dengan pura-pura hubungan kami berakhir begitu saja dengan alasan kami tak cocok tapi apa yang terjadi? seminggu kemudian tante Shinta alias mamah Revan menemuiku membujukku agar aku balik lagi berhubungan dengan Revan. Aku tentu menolaknya karena ini memang tujuanku tapi yang aku dapatkan adalah teror menyeramkan dari tante Shinta yang terus mengekor dibelakangku hingg aku bilang aku akan mencoba memulai hubungan kembali dengan Revan.

"Wah Dry kalo orang tuanya udah suka susah sih mau pisahnya dan gue denger dari cerita lo mengenai nyokap Revan yang sedikit menakutkan itu gue jadi gak bisa mikir gimana caranya kalian bisa menghindar dari pertunangan" papar Marsha panjang lebar tapi tak memberi solusi.

"Eh Dry waktunya kasih obat ke pasien" Marsha melirik jam yang ada dirungan membuatku menarik napas dalam dan berdiri memulai tugasku yang sebentar lagi berakhir.

Tepat pukul sembilan malam ketika aku selesai memberi obat pada pasien. Shifku akhirnya berakhir juga. Rasa kantuk yang menggelayuti membuatku bergegas pulang tak ingin berlama-lama disini.

"Oh My God, calon tunangan pura-pura lo jemput tuh" Marsha menunjuk Revan yang ada di lobby rumah sakit. Laki-laki yang baru saja ditunjuk Marsha melambaikan tangannya kearah kami.

"Oh ya karena gue harus segera pulang gue duluan ya" goda Marsha sambil cekikikan berhasil meninggalkanku dengan Revan.

Aku berdiri tepatdidepan Revan tak tau harus berbuat apa. Ia tak memberitahuku sebelumnya maksud dari kedatangan kemari. Jadi aku pikir ada baiknya ia yang bicara lebih dulu.

"Udah makan?" ia bertanya dan aku menggeleng karena ketika istirahat tadi aku hanya minum es teh tanpa makan karena malas. Ia mengajakku makan ke kedai kecil di ujung jalan dekat rumah sakit yang ia bilang makannya sangat enak.

Kami duduk berhadapan saling diam menikmati makanan masing-masing. Bagiku saat makan adalah hal yang sakral dan tak boleh dicampur adukkan dengan pembicaraan berat. Nafsu makanku selalu menguap jika bicara hal berbau masalah ketika makan.

"Mamah sama papah nanyain lo" aku hanya bergumam tak banyak memberikan komentar. Revan memang biasanya membawaku kerumahnya setidaknya dua minggu sekali untuk mengatakan kepada orang tuanya jika hubungan kami baik-baik saja.

"Gue udah muak banget pura-pura jadi calon tunangan lo" ungkapku jujur setelah satu bulan tepat menjalani omong kosong ini. Aku mendengar ia mendesah, ya aku tau ini berat juga untuknya.

Love You, My PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang