Propose

23.8K 1.3K 17
                                    

Revan mengajakku kesebuah ruangan yang gelap. Satu-satunya cahaya yang terlihat dari sebuah infokus yang kini memancarkan cahaya putih. Meski begitu kegelapan disini masih sangat terasa. Aku bahkan harus terus memegang tangan Revan karena takut akan gelap.

Aku sudah protes pada Revan karena diajak ketempat seperti ini tapi ia malah tak menghiraukanku. Ia bilang akan menunjukan sesuatu dan aku harus menahan rasa takutku akan gelap demi melihat apa yang akan ditujunkannya.

"Van kita mau ngapain sih?" tanyaku masih dengan memegang tangan Revan seolah tangannya adalah pegangan hidupku.

"Liat aja entar" ucapnya misterius. Dengan tiba-tiba ia melepaskan genggaman tanganku. Aku tentu menarik kembali tangannya karena takut.

"Gak apa-apa sayang, aku cuman kesana. Nih kamu pegang senter ini biar bisa lihat kalo aku gak kemana-mana" ia meberikanku sebuah senter kecil yang sudah ia nyalakan. Aku menurut karena didorong rasa ingin tau apa yang akan dilakukan oleh Revan.

Ia berdehem beberapa kali seolah ia adalah pembawa acara yang hendak membukan sebuah acara. Seperti seorang pembawa acara ia memperkenalkan dirinya membuatku mengerutkan kening. Apa sih yang coba ia lakukan?

"Hallo nama saya Revan Wijaya" ucapnya mengenalkan namanya yang jelas-jelas aku sudah tau namanya.

"Kamu apa-apaan sih? Aku kan udah tau nama kamu, umur kamu, hobi kamu bahkan keluarga kamu" hardikku membuatnya menggeleng kepala mendengarku yang protes.

"Yang kamu bisa diam dan dengerin apa yang akan aku lakuin" ucapnya, sejak ia mengetahui aku cemburu pada Laura Revan sering memanggilku dengan sebutan 'sayang' atau 'yang'.

Ia yang berdiri disamping layar yang menyala putih samar-samar. Layar berganti menjadi sebuah gambar bus berwarna biru. Aku mengerutkan dahi melihat sebuah gambar bus yang tengah berhenti di bus stop. Aku mengarahkan senter kewajah Revan, matanya sedikit menyipit karena terkena sinar matahari tapi aku bisa melihat senyumnya.

"Ingat pertama kita bertemu? Disebuah bus, aku gak tau itu memang takdir Tuhan atau cuman kebetulan. Saat itu aku sebenarnya mengagumi keberanian dan ketulusanmu membantu orang lain." aku mengerutkan dahi sepertinya ia berbohong aku ingat betul bahwa ia sangat kesal melihatku. Ia bahkan meremehkan aku yang baru menolong orang yang tak sadar.

"Aku masih ingat kamu meremehkan aku dengan tatapan mata kamu dan kamu bilang kamu menganggumiku? Jangan berbohong Revan Wijaya" aku menyipitkan mata agar ia tau aku tak suka ia berbohong hanya demi membuatku terkesan. Aku melihat ia tersipu malu kemudian tanganya bergerak kerambutnya, mengacak rambutnya sendiri. Ia kemudian mengaku tak tau bagaimana cara mendekati perempuan jadi ia dengan sinis meremehkan diriku. Aku terkesiap melihat kejujuran dimatanya. Aku tak menyangka ia menganggumiku dipertemuan pertama kami.

"Ingat ini?" kini layar dihadapanku berganti menjadi sebuah rumah sakit dimana kami bertemu. Aku mengangguk mengisyaratkan padanya bahwa aku ingat rumah sakit yang ada dilayar.

"Aku senang sekali ketika bertemu kamu lagi dirumah sakit dan ingat ketika aku meminjam tipe-ex dan membuat baju kamu kotor? Aku sebenarnya tak sengaja melakukan itu tapi sungguh aku sengaja menarik perhatianmu dengan meminjam tipe-ex" aku terkesiap ternyata ia saat itu mencoba menarik perhatianku.

"Aku juga saat itu menyangkal bahwa aku tertarik sama kamu" ucapnya menambahkan. Aku mengerutkan kening curiga.

"Dan sekarang aku akui aku mencintaimu, sangat mencintaimu" ucapnya membuatku meleleh karena pengakuannya.

Kini layar sudah berganti gambar, kali ini sebuah ballroom yang sama saat kami mengikuti seminar. Disamping gambar ballroom tempat seminar ada sebuah lift. Aku tersenyum mengenang apa yang terjadi saat kami berada di ballroom itu.

Love You, My PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang