Aku sudah mengurung diri di bilik kamar mandi selama setengah jam. Kepalaku rasanya mau pecah karena harus menghadapi pertunangan mendadak yang direncanakan oleh tante Shinta. Aku harus memutar kepala untuk mencari ide untuk keluar dari semua ini.
Yang terlintas pertama kali dikepalaku adalah pura-pura sakit. Tapi aku langsung menepis pemikiran itu, papah Revan kan dokter bisa-bisa ia langsung membawaku kerumah sakit dan ketahuan bohong. Ide yang kedua dalam pikiranku adalah kabur tapi wajah orang tuaku dan Revan yang sedih melintas dikepalaku membuatku menciut untuk melakukannya.
Ponselku berdering membuatku kaget karena terlalu dalam berpikir. Nama tante Shinta berkedip-kedip di layar ponselku. Aku tak tau harus bilang apa setelah mengangkat sambungan telefon dari tante Shinta.
"Sayang kamu dimana? acaranya sudah mau mulai" ucap tante Shinta tampak khawatir aku kabur dari jebakan yang baru saja dibuatnya.
"Di kamar mandi tante tadi kebelet" jawabku sekenanya dan yang membuatku tambah panik adalah tante Shinta memintaku segera menemuinya karena acara sudah akan dimulai.
Setelah sambungan telefon berakhir aku benar-benar frustasi. Aku bisa-bisa depresi dan masuk rumah sakit jiwa jika tak menemukan ide untuk keluar dari pertunangan konyol ini. Tuhan tolong aku, aku tak mau bertunangan dengan revan, ucapku dalam hati.
"Audry ini gue buka pintunya" suara Revan yang menggedor-gedor pintu membuatku buru-buru membuka pintu yang tadi aku kunci. Aku melihat wajahnya yang sama kusutnya denganku tapi ia lebih tenang. Ia tidak terlihat sangat panik seperti aku.
"Gimana nih" aku menggigit bibir cemas dan panik bercampur jadi satu.
"Tenang Audry" mana mungkin aku tenang jika beberapa menit lagi aku akan menjadi tunangan Revan Wijaya.
"Gak mungkin gue tenang Revan" ucapku menekankan setiap kata yang keluar dari mulutku.
"Lihat gue Audry, tarik napas tahan keluarin, sekali lagi tarik napas tahan keluarin" ucap Revan mengintruksikanku cara tarik napas dalam.
"Oke sekarang dengerin gue" ucapnya ketika aku tak begitu panik lagi.
"Kita sekarang tunangan aja dulu yang penting ini bukan nikah nanti kita pikirin caranya membantalkan pertunangan ini" ucapnya sambil memegang kedua bahuku. Aku mengangguk mengerti.
Meski masih tak ingin menjalankan keputusan yang sudah di buat aku tetap keluar kamar mandi dengan wajah yang berusaha sumringah. Meski sulit, aku belum pernah bertunangan sebelumnya jadi aku tak tau harus memasang wajah yang bahagia atau terharu. Meski penuh tekanan ini terlihat lebih baik karena ada Revan disampingku. Biasanya jika ada disampingku sesuatu menyebalkan selalu saja ada dalam hatiku tapi entah untuk kali ini ada perasaan tenang dalam hatiku ketika Revan ada disisiku terlebih ia kini menggenggam tanganku.
***
Aku menahan napas ketik Revan memasukan cincin berwarna silver yang didalamnya ada ukiran namanya. Ketika cincin itu disematkan ke jari manisku di tangan kiri rasanya aneh. Kini aku terikat meski harus kuakui semua ini tanpa ada cinta didalamnya tapi orang-orang akan melihat bahwa aku kini calon istri Revan Wijaya laki-laki bertubuh tegap yang ada disampingku.
Kini giliran aku memasangkan cincin ketangan Revan. Di cincin itu tentu ada namaku terukir seperti ingin menengaskan bahwa dalam hatinya juga terukir namaku. Tapi pada kenyataannya adalah namaku tak pernah ada terukir dalam hatinya. Ini hanya sebuah simbolis penuh kepura-puraan yang kami lakukan karena ulah tante Shinta.
Setelah mendengar suara tepuk tangan riuh aku melepaskan diri dari pelukan Revan. Tadi setelah aku menyematkan cincin ditangannya ia memelukku. Aku tak tau itu spontan atau ia sengaja agar wajahku merona malu karena tindakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, My Partner
RomancePertemuan yang tak pernah di duga berakhir menjadi sebuah takdir dari dua hati yang awalnya saling tak suka.