Aku duduk agak menjauh masih merasa takut pada pasienku sendiri. Harusnya ini tak boleh terjadi pada seorang perawat tapi ini hari pertamaku bertugas di rumah sakit jiwa. Jadi maklumi saja jika aku masih merasa sedikit takut pada pasienku yang hanya berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.
Aku berusaha membangun komunikasi pada pasien gangguan jiwa yang ada dihadapanku. Dengan sangat hati-hati aku menepuk pundak perempuan muda yang seumuranku. Ia tampak tak berespon.
"Hallo saya Audry mahasiswa yang hari ini akan merawat mba" tuturku memulai pembicaraan dan tetap saja pasien ini masih tak mau bicara. Aku harus bisa bicara dengan pasien ini tapi masalahnya adalah ia tak mau bicara. Menurut status yang tadi aku baca pasien ini mengalami isolasi sosial yaitu tak ingin berbicara dengan orang lain. Ia merasa bahwa berkomunikasi dengan orang lain itu tak penting jadi ia menutup diri dari lingkungan luar dengan terus berdiam diri seperti ini.
"Hallo mba namanya siapa?" tanyaku menatap mata pasienku yang sebenarnya aku sudah tau namanya tapi ini adalah salah satu cara agar ia mau berkomunikasi denganku. Dengan suara yang amat kecil sekali ia menyebutkan namanya masih dengan menunduk. Merasa ini akan sulit aku mengakhiri komunikasi kemudian pergi ke nurse stasion untuk mengecek jadwal minum obat.
Sulit sekali berkomunikasi dengan pasien gangguan jiwa tidak seperti di teori yang sering dijelaskan oleh dosenku. Rasanya sangat mudah ketika aku melakukan praktek dilaboratorium bersama dosen dan teman-temanku tapi disini kesabaran benar-benar di uji. Aku tak bisa begitu saja berkomunikasi dengan pasien gangguan jiwa.
Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba berteriak-teriak membuatku terkejut. Aku melirik perempuan paruh baya yang kini tengah bernyanyi entah lagu apa. Tak berapa lama perempuan paruh baya tersebut menatapku dengan intens membuatku sedikit takut.
"Kenapa kamu mau minta tandatangan saya ya?" ia melotot padaku sambil berkata sinis. Sepertinya perempuan paruh baya ini punya waham (suatu gangguan kejiwaan dimana seseorang mempercayai sesuatu yang ia anggap benar biasanya pasien merasa apa yang ia yakini adalah benar. Contohnya pasien merasa dirinya adalah artis, Tuhan, Nabi dan sebagainya).
"Gak ibu saya gak mau minta tanda tangan saya cuman mau lihat ibu aja" tuturku sambil tersenyum berusaha mengabaikan sikap sinis perempuan paruh baya ini.
"Pasti mau denger saya nyanyi ya kan saya penyanyi terkenal" see? Ibu ini sepertinya percaya bahwa dirinya adalah seorang penyanyi terkenal padahal kenyataannya adalah bukan. Aku tersenyum kemudian mengangguk membiarkan ibu itu bernyanyi sesuai keinginannya.
Aku melirik jam dan ini sudah pukul dua belas siang. Ini waktunya aku istirahat untuk makan setalah seharian merawat pasien gangguan jiwa. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk merwat pasien gangguan jiwa. Untuk itu aku perlu mengisi perut untuk dua jam lagi merawat pasien-pasien.
Ponselku bergetar dalam saku membuatku langsung mengangkat sambungan telefon tanpa melihat siapa yang menghubungi. Aku tak menyangka Revan yang menghubungiku saat ini. Bukankah ia bilang sedang sibuk dan ia kini menyempatkan diri menelfon. Aku jadi curiga ada sesuatu yang tidak beres.
"Hallo ada Van?" tanyaku sambil berjalan menuju kantin untuk mengisi perut.
"Lo lagi dines di RSJ?" tanya Revan, padahal malam sebelumnya aku sudah bilang aku sudah kembali melakukan praktek dirumah sakit jiwa.
"Iya gue kan kemarin udah bilang" jawabku yang sebal ia menanyakan hal yang sebenarnya ia sudah tahu.
"Lo jangan sewot nanti lo jadi perilaku kekerasan (gangguan kejiwaan dimana seseorang tak bisa menahan amarahnya dan cendrung melakukan kekerasan untuk melampiaskan amarahnya)" sial ia malah mengejekku seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, My Partner
RomancePertemuan yang tak pernah di duga berakhir menjadi sebuah takdir dari dua hati yang awalnya saling tak suka.