Bab 15

2.3K 79 0
                                    

“Kau duluan saja.” Natsuki menepuk-nepuk bahu Ken di pintu ruang makan. “Kau sudah tau caranya kan? Seperti tadi malam. Nanti aku menyusul”.

Ken hanya bisa mengerjapkan matanya memandang Natsuki yang berlari kearah Toilet. Pandanganya lalu beralih kedalam ruang makan. Banyak sekali siswa yang berada disana untuk makan siang.

Semuanya masih menggunakan seragam. Tentu saja karena setelah ini seharusnya mereka kembali memasuki kelas untuk belajar. Ken melangkahkan kakinya perlahan menuju loket pembagian makanan, ia lalu mengambil nampan dengan kurang bersemangat, ini hari keduanya

berada disini dan dia sama sekali belum bisa mendekati Sachi Fujisawa.

“Cheff! Bagaimana ini, Seharusnya ada minyak Zaitun di nampanku. Apa aku harus mengatakan hal ini setiap kali akan makan?”

Ken menatap Sachi Fujisawa yang ada di sebelahnya. Anak itu menggaruk-garuk kepalanya kesal. Minyak Zaitun mengingatkan Ken pada sesuatu. Mengapa bagi Sachi minyak Zaitun selalu menjadi masalah besar?

“Iya, Maaf. Aku lupa!” Koki asrama itu berujar dari balik loket kacanya. Ia kemudian membubuhkan beberapa tetes minyak Zaitun pada roti yang ada di nampan Sachi.

Sachi Fujisawa kemudian berterima kasih dengan sangat gembira dan berbalik tanpa memandang kepadanya. Ken termenung, sachi benar-benar sangat dekat denganya tadi. Mengapa jantung tibatiba berdetak dengan kencang? Mungkin karena Ken sama sekali belum siap untuk berdekatan dengan anak itu.

“Kau mau susu?” Suara koki benar-benar mengejutkan Ken.

Melihat tubuh Ken sedikit berguncang Koki itu tertawa pelan. Lalu kembali mengulangi pertanyaanya setelah tawanya lebih tenang. “Kau mau susu?”

Ken mengangguk sopan. “boleh, Cheff ”

Laki-laki itu kemudian meletakkan susu yang berada di dalam sebuah botol kaca kedalam nampan milik Ken. Ken baru sadar bahwa nampanya yang masih berada di dalam loket sudah penuh dengan menu makan siang hari ini.

“Kau tidak perlu ikut-ikutan Sachi memanggilku dengan katakata itu. Semua anak memanggilku dengan sebutan Paman.” Koki itu kemudian menyodorkan nampan milik Ken. “Selamat makan!”

Ken mengambil nampanya dan melangkah menuju bangku kosong di tengah ruangan. Entah mengapa duduk di tengah ruangan membuat Ken merasa bahwa dirinya sangat menarik perhatian.

Beberapa teman-temanya terdengar berbisik-bisik sambil memandang kearahnya.

“Maaf terlambat” Natsuki mengejutkanya. Pemuda itu sudah beridiri di depan Ken dengan membawa nampan. Ia kemudian duduk dan mulai memakan menu makan siangnya.

“Entah mengapa aku merasa mereka membicarakanku” Ken

berbisik sambil mendekatkan wajahnya kepada Natsuki. Natsuki memandang kesekelilingnya. Lalu juga berbisik.

“Biasa. Kau kan anak baru disini. Tidak perlu heran.”

Ken diam dan mengerti. Dia kembali menyantap makananya. Tiba-tiba dia teringat pada Sachi. Gadis itu duduk disebelah mana? Apa kah ikut memperhatikanya seperti siswa lain? Ken memutar pandanganya, dia berharap dapat melihat Sachi, dan dapat. Sachi ada disana, di bangku pojok bersama lima orang temanya. Mereka kelihatan membicarakan sesuatu yang seru yang pastinya bukan tentang Ken. Dia melihat Sachi tertawa.

“Kau lihat disana? Ku kira Sachi Fujisawa anak yang penyendiri” Ken kembali berbisik lagi.

Natsuki memakan suapan terakhirnya membuat Ken terkejut karena Natsuki makan dengan sangat cepat. “Tentu saja tidak. Dia bisa dimana saja dan bersama siapa saja, Semua orang menyukainya”

“Oh, ya!” Ken berusaha bersikap biasa “Kau belum menjawab pertanyaanku kemarin. Apakah Sachi Fujisawa punya pacar?”

Lagi-lagi Ken harus melihat pandangan penuh Tanya dari Natsuki. Memangnya kenapa? Apakah salah kalau ada orang yang tertarik pada Sachi? Mengapa Natsuki terlihat heran?

“Ku rasa belum.”. Jawab Natsuki. Ia mengakhiri santap siangnya dengan meminum susu yang ada di nampan milik Ken dan menyisakanya setengah. “Nanti sore kau mau ikut aku ke perpustakaan? Aku mau main catur, kemarin sore aku sudah tidak datang. Lawanku bisa marah-marah!”

“Perpustakaan? Catur?” Kedua alis Ken bertaut, kedengaranya akan sangat membosankan. Ken menggeleng pasti. “Kurasa lebih baik aku beristirahat di kamar saja!”

DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang