Bab 16

2.4K 89 9
                                    

Natsuki memakai Headphone-nya berjalan seorang diri keperpustakaan. Koridor sepanjang perpustakaan sangat ramai. Semua siswa pasti sedang mencari referensi untuk ujian semester yang semakin dekat. Sesekali Natsuki melihat Jam tanganya lekat-lekat sambil terus melangkah. Tinggal satu belokan dan dia akan segera sampai di perpustakaan. Pintu perpustakaan terbuka lebar untuk para siswa yang membutuhkan dan baru akan tutup setelah jam terlarang keluar asrama di mulai. Natsuki memandang berkeliling dan dia mendapatkanya.
Sachi Fujisawa sudah memandangi papan catur itu dengan kesal.
Natsuki segera mendekat dan duduk dihadapanya.
“Hei rival. Kenapa kau datang terlambat hari ini? Kemarin juga kau tidak datang!” Suara Sachi terdengar lantang. Kelihatanya dia marah.
“Maaf, ada anak baru dan dia sekamar denganku. Aku mana mungkin meninggalkanya sendiri.”
“Nonsense” Sachi membuang wajahnya menatap ke jendela.
“Bagaimana mungkin kau bisa marah-marah. Sewaktu kau kabur dari sekolah aku juga begitu. Aku menunggumu seharian disini dan kau tidak datang. Bukan cuma sehari!” Natsuki mengeluh dengan suara yang sama kerasnya.
Sachi mengalihkan pandanganya kepada Natsuki. “Tapi waktu itu kan aku sudah minta maaf. Sekarang kau harus minta maaf!”
“Tapi kan saat itu aku tidak marah-marah” Sahut Natsuki kesal, bukankah dia sudah mengucapkan kata maaf tadi? Harus berapa kali?
“Cuma minta maaf saja apa sulitnya?”
“Kau…”
Pembicaraan Natsuki terputus, suara berdebum keras dari buku tebal yang dibanting menghentikan suaranya untuk keluar dari tenggorokanya seketika. Sensei Jun, yang sedang bertugas menjaga perpustakaan hari ini sudah berdiri dihadapan mereka dengan wajah galak, Natsuki menelan ludah.
“Kalian, keluar saja!” Katanya.
Sachi dan Natsuki saling pandang. Beberapa waktu kemudian mereka sudah diseret keluar dari perpustakaan dengan tidak hormat.
Guru senior itu memang dikenal paling Galak sesekolah. Sachi dan Natsuki selalu mendapatkan perlakuan seperti ini setiap kali mereka bermain catur di perpustakaan pada hari Sensei Jun bertugas.
“Ini semua gara-gara kau!” Sachi menodongkan ranting yang didapatnya dari pohon Elder dan selalu di bawa-bawanya selama dua minggu ini, sejak ia kembali kesekolah.
Natsuki menghela nafas. Masalah seperti ini bisa jadi panjang bila lawanya adalah Sachi Fujisawa. “Sudahlah. Kita mau terus bertengkar atau melanjutkan permainan?”
Sachi menurunkan rantingnya dan mengembalikanya kedalam saku piamanya. Wajahnya melunak. Dia sudah tidak marah lagi. “Kita main dimana?”
“Di tangga kelas saja”
“bagaimana bila ada yang lewat? Mereka bisa mengganggu. Meskipun bukan jam sekolah sangat banyak anak-anak yang bermain di kelas kecuali hari minggu. Bagaimana kalau di bangku taman sekolah saja”
“Mana bisa?” Natsuki mendekap papan catur yang saat ini ada di tangannya. Bunyi bidak catur bergesekan terdengar samar. “Itu kan tempat keberuntunganmu. Jelas saja kau bisa menang!”
“Hei, Rival. Sejak kapan kau takut dengan tahayul seperti itu? Bukankah selama ini aku sama sekali belum pernah menang?”
Natsuki kembali berfikir. Sachi Fujisawa memang tidak pernah menang melawanya sejak pertama kali mereka bertanding catur di tahun kedua mereka bersekolah. Mereka berdua dalam sekejap kemudian sudah berlarian menuju taman sekolah setelah Natsuki mengatakan ‘baiklah’ dengan sangat bersemangat. Untuk beberapa waktu mereka habiskan dengan permainan catur di selingi gelak tawa.
Natsuki sangat menyukai Sachi. Gadis ini sama sekali tidak bisa membuatnya memendam perasaan marah terlalu lama.
“Ngomong-ngomong, bagaimana anak baru itu?” Sachi kembali berbicara setelah tertawa. Ia memindahkan bentengnya hanya selangkah kedepan. Kemudian memandangi puncak pohon Elder yang ditiup angin.
“Dia? Dia menggunakan Kacamata berbingkai tebal. Sepertinya kacamata gaya. Waktu dikamar, kacamata itu dibukanya. Dia tampan. Aku seperti pernah melihatnya, tapi dimana?”
“lalu apa dia bersahabat?”
Natsuki angkat bahu. “Sejauh ini, masih bisa di bilang begitu. Dia sangat suka bertanya tentangmu. Kurasa dia tertarik padamu.”
“Benarkah?” Sachi tampak sumringah. Natsuki memandangnya sambil melotot. “Kenapa kau kelihatanya sangat bahagia?”
“Tentu saja. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang suka padaku. Kau bayangkan saja, tiga tahun aku di asrama ini, ada seratus enam puluh siswa putra di sekolah yang sama, tidak ada satupun yang menyatakan cinta kepadaku.”
Natsuki tiba-tiba tertawa. Dirinya sama sekali tidak menyangka ternyata Sachi sama seperti perempuan lainya yang khawatir karena tidak ada seorang laki-lakipun yang menyukainya. “itu
karena semua laki-laki di sekolah ini lebih suka menganggapmu sebagai adik, Sachi-chan!”
“Benarkah?” Sachi mengatakan kata yang sama untuk kedua kalinya, Ia lalu memandang Natsuki dengan penuh harap. “Kalau Rival, menganggapku seperti apa? Teman? Adik?”
“tentu saja saudara!” Jawab Natsuki sambil menjitak kepala Sachi. “Kau pikir seperti apa?”
Sachi yang menggosok-gosok kepalanya yang kesakitan tibatiba terdiam sesaat. “Sekarang jam berapa?”
Natsuki melihat jamnya. “Empat lima belas? Kau kenapa bertanya padaku, bukankah kau juga memakai jam?”
“Aku lupa!hari ini jadwal ibuku berkunjung. Aku pergi dulu!”
Sachi dengan segera mengemasi caturnya dan berlari meninggalkan Natsuki seorang diri.

DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang