TWO [Runaway]

250 23 0
                                    

RUNAWAY

Fortuner putih berhenti di halaman rumah mediteran dua lantai. Paris turun dari balik kursi kemudi. Wajahnya memancarkan sorot kelelahan. Dua kancing atas kemejanya sudah dibuka. Dasi horizon tergulung sempurna dalam saku kemeja. Jas abu-abunya tersampir disalah satu lengannya.

Belum sempat menyentuh gagang seorang perempuan muda sudah lebih dulu hadir dari balik pintu. "Sumpek banget sih."

Paris berdecih. Tanpa membalas sapaan itu, dia menyorongkan tas dan jasnya ke dalam genggaman perempuan yang menerimanya dengan sukarela. Perempuan muda itu berjalan mengikuti punggung lelaki itu dari belakang. Isteri Paris? Bukan.

Acancia Monica Juan, merupakan isteri muda Benjamin Juan, ayah Paris. Selama Benjamin sibuk mengurusi bisnis properti yang dijalaninya diluar Universitas bentukannya, Acancia-lah yang bertanggungjawab terhadap putera-puteranya. Termasuk yang dilakukannya saat ini. Menyambut Paris Juan pulang ke peraduan mereka dikawasan Selatan ibukota.

"Mau kusiapkan air hangat?"

"Dimana anak berengsek itu?" Tanya Paris mengabaikan pertanyaan Acancia. Meski lelah dia merasa perlu menemukan sendiri keberadaan sosok 'anak berengsek' yang baru disebutnya. Acancia meringis dan buru-buru menghalangi langkah Paris sebelum berhasil mencapai tangga.

"Ada masalah apa? Kau bisa membicarakannya baik-baik."

Alis Paris bertaut. Rahangnya berubah keras dan tatapannya tajam mendapati reaksi itu. "Minggir dari jalanku, Monic. Aku tak punya urusan denganmu, tapi dengan anak berengsek itu."

"Paris."

"Apa? Kau ingin bertingkah layaknya Ibu kami disini. Takkan pernah bisa, Monic. Sekarang minggir, dia cukup dewasa untuk berhadapan denganku."

Acancia mendecakan lidah, jengah. Tubuhnya tetap stay, tak mau berpindah dari tempatnya sekarang. Mengabaikan ucapan kejam Paris, dia tetap tak menginginkan ada lagi pertengkaran. Sudah cukup baginya sejak memasuki kemewahan yang ditawarkan Benjamin tetapi hampir pecah kepalanya saat berhadapan dengan putera-putera pria idamannya itu.

Tiada hari tanpa melempar ejekan, tudingan bahkan cacian.

Disetiap waktu bahkan suasana apapun, takkan ada hari tanpa ketegangan. Bila hanya serangan verbal itu bisa mereda bila diatasi dengan tepat. Namun bila serangan itu berubah menjadi nonverbal, maka sudah dipastikan tiap minggu ada saja perabotan rumah tangga dalam keluarga Juan yang harus berganti.
Dua hari yang lalu Acancia hampir saja kehilangan cermin hias di sudut ruang tamu yang dipesannya online tatkala Paris menghampiri rumah dalam keadaan penuh emosi. Dia tak mau hal yang sama berulang malam ini.

"Memangnya apa yang sudah dilakukannya, Ris. Tak bisakah kau meredam amarahmu barang sedetik sebelum..."

"Dia mempermalukan kita lagi! Kau tau, dia mengajak kencan salah satu dosen baru. Tanpa malu-malu dia memperkenalkan diri sebagai seorang Juan pada dosen itu dan terang-terangan mengajak dosen itu makan malam. Mau ditaruh dimana nama baik ayah di kampus kalau dia terus-terusan begini. Aku akan memberinya pelajaran. Dia harus sadar bahwa ayah bukan mainan yang bisa seenaknya dia permalukan dengan kelakuan berengseknya."

Acancia menghela napas. Satu lagi Juan yang tak mampu dikendalikan. Paris mungkin saja mudah marah, emosi dan bisa menelan kepala orang hidup-hidup tetapi dia cukup kooperatif saat diajak bicara dengan kepala dingin. Sebagai yang tertua, sudah jadi kewajibannya menjaga nama baik keluarga. Terlebih akan posisi penting sang ayah di kampus mereka. Perilaku dan kedewasaannya itu membuat Acancia selalu berhasil menahannya dari keinginan terbesarnya, melenyapkan Emmanuel Juan.

Berkebalikan dari Paris, Emmanuel Juan adalah semua hal buruk yang entah, diwariskan Benjamin atau almarhum isteri pertamanya. Bila Paris dapat dikontrol amarahnya, lain halnya dengan Emmanuel. Bungsuh keluarga Juan itu merupakan satu-satunya biang keladi terhadap tiap permasalahan yang mewarnai kehidupan keluarga kecil itu. Emmanuel suka memicu masalah. Suka melihat keresahan diwajah ayah maupun kakak tertuanya akibat ulahnya. Dia akan siap diajak berkonfrontasi dan akan membantah keras bila ada yang berani menyalahkannya. Kelakuan kekanak-kanakannya tidak pernah hilang, melainkan tumbuh sepanjang pertambahan usianya. Dia sempat akan dimasukan sekolah militer oleh ayahnya tetapi dengan akalnya dia berhasil lolos.

Better EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang