Twenty Six [ Drama Queen ]

54 7 0
                                    

Daniella memandang ke arah restoran berdinding kayu. Matanya membaca alamat yang dikirim tantenya sejam lalu. Benar itu adalah alamatnya. Samar-samar dia bisa melihat punggung tantenya disana. Baru ingin memasang senyum, Daniella malah setengah bengong. Tantenya berbincang cukup baik dengan dua orang pasangan yang terlihat serasi.

Daniella merasa kenal dengan wajah pasangan itu bahkan dia belum lupa kalau itu adalah wajah ayah dan ibu tiri Emmanuel. Ada apa ini, jangan bilang kalau yang tante maksud itu...

"Kesini Danie..."

Daniella mengangguk bodoh. Perlahan tapi pasti dia mengikuti arah tantenya, ada kursi kosong untuk ditempatinya. Matanya menatap kedua orang dihadapannya bergantian sampai tantenya mengingatkannya untuk memberi sapaan.

Ibu tiri Emmanuel sangat cantik malam itu, meski begitu tidak ada raut dingin diwajahnya. Beberapa kali dia melirik ke arah Daniella dan memasang senyum. Mau tidak mau, Daniella membalasnya. Saat pesanan makanan mulai disajikan, Daniella cukup terkejut bayangan Paris ikut bergabung dimeja mereka.

Dalam hati Daniella merutuk, mengapa bukan Emmanuel yang datang.

"....Cuman gue harap, apapun keputusan lo. Setidaknya lo milih gue." kata-kata itu terngiang lagi dalam benaknya.

*

Paris tahu Daniella lebih banyak diam. Membalas sapaannya dengan senyum pun tidak. Daniella seperti robot yang diperintahkan gerak, makan, minum dan berhenti bila yang lain sudah selesai makan.

"Jadi kapan rencananya akan kita laksanakan?"

Paris menatap tajam ke arah Ben yang baru menyesap minumnya. Berbalik dia menatap tante Daniella, "Saya pikir kita harus menanyakan semua pada Daniella. Apakah dia setuju dengan rencana ini?"

"Tentu saja dia setuju, nak. Selama ini dia selalu menolak ketika diajak oleh saya, kali ini dia setuju. Bukan begitu Danie?"

Semua mata mengarah pada Daniella. Dia mengerjap sekali dan bingung harus mengatakan apa. Dia ingin berbohong tapi tahu itu takkan berakhir bagus. Hanya saja dia tidak diberi pilihan mencari alasan baru.

"Aduh..."

"Sayang kamu kenapa?" tanya Ben seketika melihat isterinya tidak sengaja menjatuhkan gelas dan wajahnya mendadak pucat.

"Kamu baik-baik saja?"

Kepala Acancia menggeleng sambil menunjuk ke arah tasnya. Ben segera melakukan apa yang diminta isteri mudanya itu. Melihat ada bungkusan obat didalam sana, Ben meminta pelayan memberikan air mineral.

Setelah meminum satu butir obat berwarna putih napas Acancia kembali normal. "Aku butuh udara segar... uhm, Daniella bisakah kamu menemaniku?"

Daniella mengangguk otomatis dan membantu Acancia melangkah keluar gedung restoran. Keduanya berjalan hingga tiba dipintu keluar. Restoran bergaya klasik itu menawarkan sebuah taman kecil didepannya. Kerlip lampu disana sedikit menenangkan Daniella karena Acancia sudah melepas pegangannya.

"Tante, tidak apa-apa?" Daniella membuka percakapan setelah membantu Acancia duduk.

Acancia menatapnya dengan senyum namun berganti masam, "Panggil saja Mbak."

Daniella gelapan. Cara Acancia mengatakannya seakan mereka adalah teman lama yang cukup akrab. "Eh,... Mbak tidak apa-apa?"

"Hm, aku hanya memberi kesempatan untuk mereka membicarakan hal yang tidak penting."

"Aku pikir Mbak sakit dan..."

Acancia ingin tergelak tapi tertahan, "Aku ibu tiri Emmanuel, kalau-kalau kamu lupa. Ah bagaimana hubunganmu dengan anak itu? Sepertinya berjalan cukup lancar sekarang ya."

Better EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang