Twenty Five [ Choice Me ]

37 2 0
                                    

"Tidak."

Ben meletakkan garpu dan pisau disamping piringnya. Mengambil sarbet, dibersihkannya sisa makanan disudut mulutnya.

"Aku sudah tahu kau pasti akan menolak. Tapi aku yakin kau akan senang, karena calon kali ini adalah gadis yang dulu kau sukai itu."

"Apa maksud Papa?"

Ben menyesap anggur dalam gelasnya hingga tersisa setengah. "Aku sudah menjodohkanmu dengan Daniella Everza. Bukannya itu bagus?"

Paris tetap menggeleng. Saat ini keduanya terlibat makan siang bersama. Ben hari itu mengunjungi kampus dan berhasil mengajak Paris yang baru selesai kelas. "Aku tahu apa yang Papa rencanakan, tapi jawabanku tetap sama. Tidak."

Kali ini alis Ben berkerut. "Bukannya kau masih berhubungan dengan dia?"

Paris menimbang sejenak. Apakah dia harus menjelaskan semuanya atau tidak. Masalahnya jalan pemikirannya tidak akan semudah itu disetujui ayahnya sendiri. Bertahun-tahun hidup dengan Ben membuatnya tahu kalau satu hal yang paling mustahil dalam hidup seorang Benjamin Juan adalah ditentang. Paris masih ingat saat dua minggu pasca kepergiaan ibu kandungnya, Ben mengatakan ingin menikahi seorang mahasiswa dikampusnya. Kala itu Paris masih menempuh pendidikan diluar Negara sehingga tidak begitu mengetahui detailnya.

Paris sempat memberi beberapa opsi bagi Ben agar tidak menikah dulu dan lebih melanjutkan kehidupan mereka. Selain itu dia juga mempertimbangkan pkisis adiknya. Paris sama sekali tidak buta saat tahu ibunya masih menginginkan kehadirannya ketika perempuan yang paling disayanginya itu tengah menghadapi masa-masa sekarat. Dia tahu adiknya selalu bersama Ibu mereka hingga akhir hayatnya. Tetapi Paris tidak diberi pilihan. Ben menginginkan agar Paris bisa lulus tepat waktu. Paris ingin sekali pulang tetapi dengan kemampuannya Ben berhasil mencegah kepulangan itu. Paris tidak bisa memesan tiket pesawat, entah bagaimana namanya seakan menjadi salah satu DPO karena tidak ada satu pun penerbangan yang dapat digunakannya.

Paris mencoba membangun komunikasi dengan adiknya tetapi Emmanuel sementara sibuk menemani Ibu mereka dirumah sakit. Sejak itu kebencian Emmanuel hadir padanya. Paris ingin menjelaskan semua tetapi dia tidak punya kesempatan.

Hingga puncaknya saat dia tahu calon isteri ketiga ayahnya adalah mantan pacarnya sendiri. Paris tidak diberi pilihan. Dia hanya tahu bahwa dia perlu hidup menurut keinginan Ben supaya semua baik-baik saja. Masalahnya adalah dia sudah terbiasa harus kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Figure ayah yang amat diteladaninya. Mamanya yang sudah menjadi kenangan dalam tanah. Adik kandungnya yang membencinya. Mantan pacarnya yang kini menjadi ibu tirinya.

Paris menghela napas. Dia harus menjelaskan semua. Apapun yang terjadi. "Ini rumit, Pa. Lagian, dia sekarang pacarnya Manuel. Dan aku tidak mau mengganggu mereka."

Ben mengangguk. "Oke, masalahnya Emmanuel. Anak itu lagi. Kau menyerah pada adikmu sendiri?"

Paris memainkan gelasnya sebelum menyesapnya. "Setidaknya Emmanuel adalah adikku, Pa. Dia mungkin membenciku, tetapi aku tidak ingin mengganggu kebahagiaannya. Itu saja. Aku rasa tidak ada yang perlu kita diskusikan lagi. Aku masih ada kelas."

Paris bangkit dan meraih tas kerjanya. "Baiklah, kalau itu katamu. Kita lihat saja, nanti."


*


Emmanuel menurunkan pandangannya menikmati wajah Daniella yang masih memerah. Rasanya dia ingin terus tertawa melihat reaksi gadis polos itu. Emmanuel memang masih marah. Namun amarahnya sudah sirna sejak menemukan gadis itu baik-baik saja. Sore ini mereka sepakat bertemu setelah Daniella selesai kerja. Kebetulan kelas Emmanuel juga sudah berakhir dari siang. Untuk mengisi kekosongan Emmanuel berlatih futsal dan mengabaikan beberapa cewek yang masih terang-terangan mengincarnya. Semua akibat Daniella. Entah apa yang sudah dilakukan cewek itu. Yang pasti Emmanuel sudah bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan agar mereka bisa kembali bersama.

Better EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang