TEN [ 1-1 ]

94 8 2
                                    


Saat matahari tidak menghiasi langit dan bertukar dengan guyuran hujan, hampir sebagian besar aktivitas dilakukan manusia dengan setengah semangat tidak terkecuali Paris. Hari itu dia menyempatkan diri untuk mengunjungi Mall setelah menyelesaikan jam mengajarnya. Harus ada yang dikenakannya saat menyambut kehadiran Ben nanti.

Acancia sudah menjelaskan kepadanya bahwa mereka akan melakukan makan malam bersama di restoran favorit Ben. Itu artinya Paris harus memilih stelan terbaik agar lebih pantas semeja dengan ayah kandungnya. Terkadang Paris merasa hidupnya begitu lucu. Memiliki ayah yang super keras dan terdidik tetapi memiliki anak seperti dirinya dan Emmanuel. Hah, adiknya tidak termasuk salah satu yang tergolong kategori lucu. Sebaliknya lebih parah dibanding mimpi buruk.

Paris sengaja ingin tampil sempurna dihadapan Ben nanti dengan tujuan supaya topik sensitif seperti jodoh dan pernikahan tidak cepat-cepat menghampiri mereka. Dia tidak ingin Ben mendadak berpendapat bahwa penampilannya semakin tidak sempurna dan oleh karena itu dia membutuhkan kehadiran seorang pendamping. Yang dimata Paris berarti mimpi buruk yang lebih kejam. Bukannya Paris tidak ingin menikah seperti orang lain. Hanya saja beberapa aspek dalam kehidupannya secara tidak langsung telah memberinya sugesti agar tidak terburu-buru seperti teman-teman seangkatannya yang tidak berstatus lajang lagi.

Memikirkan itu membuat Paris menggeleng sendiri. Tangannya tanpa sadar berhenti pada satu stelan jas keluaran terbaru berwarna biru tua yang dipajang paling depan diantara jajaran stelan lain dirak.

"Pilihan yang bagus, Pak. Kebetulan sekali stelan itu baru tiba pagi ini," Suara itu berasal dari punggung Paris. Karena merasa familier, Paris segera menoleh.

"Daniella?!"

Sosok yang disebutnya mendongak dan terkejut. "Eh Pak Paris?!"

"Kamu belum lupa perjanjian kita kan?"

Daniella menunduk perlahan. "Maafkan saya,... Paris. Ng,..."

"Kamu bekerja disini?" Lanjut Paris karena Daniella terlihat sedikit gugup hingga tak tahu mau mengatakan apa.

Daniella mengangguk dan melirik ke belakang. Supervisor yang mengawasi kinerjanya hanya mengangkat alis ketika tatapan mereka bertemu. Daniella cepat-cepat berpaling lantas menatap Paris lagi. "Begitulah Paris. Hm, sepertinya anda membutuhkan jas yah. Well, pilihan anda tidak keliru karena seperti yang saya bilang tadi stelan ini terbaru dan saya rasa cocok untuk dipakai."

Paris ingin tersenyum lebar mengetahui tingkah gadis itu secara otomatis berubah menjadi SPG sejati, memberi kesan seakan mereka tidak saling kenal sebelumnya. Sebuah ide melintas dikepalanya. "Benarkah? Tahu darimana kalau yang ini cocok denganku. Kau saja belum pernah melihatku memakainya kan?!"

"Ah, maksud anda?!"

Paris berpura-pura mencari ruang ganti sebelum tersenyum singkat. "Kau harus membuktikan ucapanmu, kalau stelan ini memang cocok ditubuhku."

"Eh... saya hanya menyarankan,"

Paris menggeleng tegas. Tatapannya mengarah ke kasir tempat dimana supervisor Daniella berada. Daniella ikut menatap ke arah yang sama dan tanpa sadar mendesah. Dia tahu Paris hanya ingin mengancamnya semata.

"Jadi?!"

"Baiklah Paris. Silahkan kenakan stelan itu sesuka anda. Bila kenyataannya tidak pas ditubuh anda, saya akan memilihkan yang lain."

"Begitu lebih baik." Bisik Paris lantas mengedipkan satu matanya. Daniella hanya memutar bola mata. Kadang beberapa sifat dasar seorang manusia tidak dapat diubah. Termasuk fakta bahwa Paris bisa sedikit menyebalkan persis adiknya. Meskipun begitu Daniella tetap mencomot beberapa jas lain dari gantungan sebelum menyusul langkah Paris menuju standing mirror. Dia hanya tak ingin menjadi permainan lelaki itu ditempat kerjanya saat ini.

Better EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang