"Andai saja aku mengerti semua ini." Emma masih berdiam diri membiarkan ribuan tetes hujan membasahi dirinya.
Baru beberapa menit menikmati itu, suara jeritan terdengar dari dalam. Emma menoleh dan bergumam "ibu?" Cepat ia berlari masuk.
***
Emma beringsutan masuk kedalam rumah, ia mendengar suara ibunya mengeras, paman Vernon mencengkeram leher Hanah, ibunya. Emma terkejut melihat adegan itu, ia tak tahu apa yang sedang pamannya lakukan.
"Emma, tolong ambilkan kitab!" Teriak paman Vernon. Emma tak begeming ia langsung melakukan perintah pamannya. Emma mengambil sebuah kitab tebal dan cepat memberikannya padan paman Vernon. Paman Vernon membuka kitab dengan sebelah tangannya sementara tangan yang satunya lagi masih erat mencengkeram leher Hanah. Hanah masih terus menjerit meraung-raung, berteriak dan menggumamkan kata yang tak Emma mengerti.
"Paman ibu kenapa?" Gumam Emma, suaranya kalah oleh teriakan ibunya. Emma mulai menangis melihat mata ibunya memerah, paman Vernon mencekiknya terlalu erat. Emma menangis lebih kencang, jeritan ibunya mengeras dan mengeras hingga memekakan telinga.
Dan Brukk..***
Tubuh ramping Emma terjatuh dari kasur, menghantam lantai.
"Emmaa.. suara apa itu?" Suara Hanah terdengar mendekat ke kamar Emma. Dibukanya pintu kamar Emma. "Ada apa ini?"
Emma memicingkan matanya dan kini penglihatannya mulai normal. "Ibu?" Ia menggaruk kepala tidak mengerti. "Jadi cuman mimpi."
"Mimpi apa kamu nak?" Hanah mendekat. "Ibu mendengar suara yang keras, ibu pikir lemari jatuh."
"Lemari?" Emma celingukan menatap lemari yang berdiri di utara kamarnya. Ia melihat sebuah benda besar di bawah dekat lemarinya. "Apa itu?" Emma mendekati benda itu. Ibunya mengikuti langkah Emma dari belakang. "Aku tidak pernah melihat benda ini, seperti kitab. Kenapa ada di kamarku? Ibu tahu benda ini?"
Hanah tak bergeming matanya tajam menatap benda yang sepertinya kitab itu. "Lebih baik kamu cepat mandi, hari ini kamu harus sekolah."
"Sekolah baru, aku tidak yakin akan nyaman disana."
"Nanti kamu akan punya teman baru."
Emma mendesah, "Faktanya, sudah empat kali pindah sekolah aku tidak pernah punya teman. Aku bingung sebenarnya apa yang salah denganku?"
Hanah tersenyum lalu mengusap lembut rambut anaknya. "Mungkin mereka iri padamu karena kamu cantik."
"Ibu selalu mengulangi ucapan itu, aku tahu ibu hanya menghiburku karena kasihan kan? Kalau benar aku seperti yang ibu katakan munglin aku sudah gonta ganti pacar dari dulu."
"Dan kamu masih belum dapat pacar seumur hidupmu?" Timpal Hanah. "Ibu sudah tahu jawabanmu. Sudah sekarang kamu pergi ke sekolah, ibu sudah kompromi dan kamu bisa ambil seragammu di sekolah sekarang." Hanah menatap wajah anaknya yang terlihat lesu. "Tolong jangan kecewakan ibu untuk kesekian kalinya sayang, maafkan ibu kalau selama ini ibu tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu."
Emma menunduk. "Aku ingin melihat ayah." Matanya mulai berair. "Semalam aku mimpi ayah meninggal dan ibu dicekik paman Vernon. Sayang walaupun dalam mimpi aku tetap tidak bisa melihat wajah ayah."
Hanah menghela nafas. "Ibu mengerti perasaanmu nak, ayahmu meninggal saat kamu masih berusia lima bulan, ia sakit." Suasana semakin melow. "Yasudah kalau begitu cepat kamu berangkat, jangan membuang-buang waktu."
"Ibu, aku malas."
"Sudah jangan malas-malasan. Sekalian kamu bawakan donat dagangan ibu."
"Ibu? Akukan baru mau sekolah."
Hanah tertawa melihat tingkah anaknya. Ia mendorong tubuh Emma keluar dari kamar. Hanah kembali menatap kitab yang ia coba abaikan dari tadi. Wajahnya mulai pucat.
***
School collage baru Emma terlihat megah, bangunannya tua dan bersejarah. Ia berjalan melewati lorong menuju ruang kepala sekolah, sneakers dan kaus oblong dengan kemeja ia kenakan. Emma belum mendapat seragam baru. Ini hari pertamanya sekolah di kelas tiga senior high school. Sekolah ini adalah sekolah keempat selama ia duduk di bangku senior high school dan sekolah ke enam belas sepanjang riwayat sekolahnya. Emma tidak pernah merasa nyaman bersosialisasi.
Emma sudah berada di ruang kepala sekolah, ia menerima beberapa seragam baru sekolah ini. Ini adalah sekolah terbagus yang pernah ia jumpai dan ia merasa beruntung dapat bersekolah di tempat ini walaupun ia tak yakin akan seberapa lama ia bertahan disekolah ini.
"Terimakasih." Kayanya pada tuan James, kepala sekolah school collage.
Besok adalah hari pertamanya sekolah, hari ini hanya mengambil seragam dan melihat-lihat sekolahnya saja.
***
Emma berdiri diparkiran, sambil membawa bungkusan besar ia kerepotan melihat kedepan.
Tiiiinnnnnnn
Suara klakson mobil membuatnya terkejut, bungkusan besar ditangan Emma terlempar membuat pakaian-pakaian di dalamnya berserakan. Mobil yang mengejutkan Emma tiba-tiba melintas dan menggeleng seragam putih Emma.
"DASAR BODOH! TERNYATA SEKOLAH INI JELEK! MURIDNYA TIDAK SOPAN DAN TIDAK TAHU DI-ri" mulut Emma terkunci melihat seseorang turun dari mobil itu. Matanya menatap tajam laki-laki yang baru saja membuka kacamata hitamnya. Ia menelan ludah, gemetar melihat laki-laki itu mendekat.
Laki-laki itu menatap seragam Emma yang berserakan. "Kamu yang salah, kamu yang harus bereskan semuanya."
Emma mulai jengkel. "DASAR BODOH! Lihat seragamku masih dibawah ban mobil kamu! Kamu tidak lihat? Tidak sopan." Emma meninggalkan laki-laki itu dan berjalan mendekati mobil, Emma berjongkok menarik seragamnya. Rupanya ban mobil laki-laki itu berada ditangah seragam Emma, membuatnya kesulitan menariknya.
Laki-laki itu masuk kedalam mobilnya dan menjalankan mobilnya hingga membuat seragam Emma terselamatkan.
"Kotor!" Gumam Emma dingin pada laki-laki itu.
"Aku akan ganti semua kerugian itu. Kamu punya nama?"
Emma tidak mendengarkannya dan cepat membereskan pakaiannya yang berantakan lalu pergi.
Langkah Emma semakin menjauhi laki-laki itu. "Namaku Emma dan aku bersumpah tidak ingin mengenalmu!" Gerutunya sambil pergi menjauh.
***
To be continue
Imagine the boy for her and i will show you soon ;)
Thanks for read :)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dolls God
FantasyBagaimana jika seseorang memiliki hobi mengoleksi roh manusia? bagaimana hal itu bisa terjadi? Mr. Felix memiliki hobi gila itu, ia mulai menemukan hobinya pada tahun 1937, berawal dari tewasnya seorang gelandangan di depan rumahnya ia mulai merasa...