Istana Mate

264 19 0
                                    


"Aku takut." Ucapnya memeluk bahu Mate.

"Tidak apa-apa aku ada disini." Jawab Mate.

Mereka masih terpaku di posisinya, awan hitam masih bergulir.

Setelah badai yang tiba-tiba datang itu Mate dan Emma menjadi kenal satu sama lain.

"Aku tidak akan membiarkanmu sendirian, akan ku antarkan kau pulang." Kata Mate.

***

Emma masih menangis, wajahnya sangat pucat, tangannya begitu dingin.

"Kau baik-baik saja?" Kata Mate sambil mengemudikan setir.

"Aku tidak bisa pulang tanpa sepeda, ibu pasti marah padaku, sepeda itu adalah pemberian darinya saat aku berulang tahun ke tiga belas." Ucapnya, tiba-tiba ia terkejut melihat wajah Mate yang tajam menatapnya dengan tatapan siap membunuh. "Kenapa?"

"Bagaimana bisa dalam situasi seperti ini kau masih memikirkan sepedamu?" Bentak Mate. "Kau benar-benar tidak waras! Sebenarnya terbuat dari apa sih kepalamu itu?"

Emma menunduk. "Dan sekarang kau memarahiku. Huaaaa." Ia kembali menangis lebih kencang. Merengek seperti bayi.

"Berisik!"

Mobil Mate merayap mendekati rumah Emma

"Jadi ini rumahmu?"

Emma menyeka ingus dihidungnya, "Ia." Katanya kemudian. Emma menatap kosong rumahnya, sebenarnya ia sangat shock soal kejadian tadi, untuk pertama kalinya ia menyaksikan hal seperti itu. Jantungnya tak berhenti berdegup kencang, kini malah semakin kencang saat mobil yang dikemudikan Mate berhenti.

"Sudah sampai."

Emma menelan ludah, "Aku akan pulang."

"Tunggu." Mate menahan tangan Emma saat hendak membuka pintu mobil. Emma menatap Mate seperti bertanya 'ada apa?' "Aku akan mengantarmu masuk."

"Tidak usah."

"Tidak! Kau harus menuruti apa kataku."

"Terserah."

Emma berjalan di depan Mate, halaman rumahnya masih rapi sama seperti saat ia berangkat sekolah pagi tadi. Pagar rumahnya ia buka. Pintu rumah tertutup, awan hitam masih memayungi mereka, akhir-akhir ini sering sekali mendung namun tak kunjung turun hujan.

Angin bertiup dari barat membuat rambut Emma dan Mate bergerak, rok yang dipakai Emmapun ikut bergerak. Emma masih terbayang-bayang kejadian tadi, ia bepikir kenapa hal itu bisa tiba-tiba terjadi, dan yang lebih membingungkannya kenapa kilat itu seperti sengaja hendak menyambarnya, kalau diakurkan dengan gejala alam rasanya terlalu ganjil.

Emma mengetuk pintu rumahnya, sekali, dua kali, tidak ada yang menyaut, ia mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu terbuka seseorang berdiri dibalik pintu.

"Ibuu..." Emma menyambar tubuh ibunya, ia memeluknya dan langsung menangis.

Mate dan Hanah saling bertatapan, dalam dan semakin dalam, Mate melihat ada sesuatu pada Hanah, ibunda Emma. Mate baru pertama kali melihat Hanah, tapi ia merasa kalau ia sering bertemu dengannya bahkan Mate bisa merasakan sebuah kebencian saat melihat mata Hanah.

"Ibu kau mendengarku?" Ucapan Emma membuyarkan tatapan mereka.

"Ah iya."

Mate berdehem, "Aku akan pergi. Selamat sore." Mate meninggalkan Emma bersama ibunya, sebenarnya ia tak yakin akan meninggalkan Emma, ada hal yang mengganjal di hatinya.

Mate menyalakan mobilnya dan bergerak pergi. Hatinya masih ragu.

***

Awan hitam dilangit agaknya sudah menjauh. Hari sudah menjelang malam. Istana di atas bukit tertutup lembaran awan.

The Dolls GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang