Hukuman

140 9 5
                                    

Mate menatap wajahnya dibalik jendela yang memantulkan refleksi dirinya.

Ada raut menyesal di wajahnya. "Harusnya aku tak melakukan ini! Harusnya tidak!" Ia mengacak rambutnya frustasi. "Aku tidak boleh magacaukan rencana ini, aku dan Emma sudah berada sejauh ini, tidak mungkin aku mengacaukannya. Ayolah Mate, bukan Emma tujuanmu."

Ia mengembuskan nafas berat. Malam ini penyesalan menyelimuti dirinya.

***

"Tuan, malam sudah larut sebaiknya tuan beristirahat."

"Tidak! Bagaimana mungkin aku pergi tidur malam ini. Dia.. Anakku telah mengacaukan semuanya! Dia sudah mengingkari janjinya. Dasar tidak tahu diri!" emosi Mr.Trainor membuncah begitu mengetahui Mate hilang kendali pada Emma.

"Tapi tuan, sebaiknya tuan menenangkan diri, kaca ini biar saya yang menjaga." asisten boneka Mr.Trainor menawarkan diri.

Nafas Mr.Trainor tak beraturan, ia pergi ke ruangannya dan merenung.

***

Dibalik desauan angin yang berhembus ada kecemasan yang menyelimuti Mate, penyesalanlah yang pekat menyergap dirinya. Ia tampak kacau, malam ini Mate harus siap menerima resiko atas perbuatannya, ia harus bertanggung jawab atas sikapnya. Esok akan tiba dan Mate sudah pasrah jika esok hari bisa saja dia sudah ditiadakan.

***

Kabut tebal menyelimuti atap istana, suasana agaknya tidak bersahabat. Pagi itu Mr.Trainor terbangun dari tidurnya yang tentu saja tidak damai, semalam ia bermimpi sesuatu hal yang amat sangat menakutkan. Malam tadi Mr.Trainor bermimpi bahwa apa yang selama ini ia pertahankan gugur begitu saja dengan digantikan oleh kejahatan yang merajai dunia. Semuanya telah sirna, ia telah kalah, dan mati dalam kehinaan.

"Semua asisten berkumpul!" Seru Bob pada seluruh asisten boneka. Semuanya berkumpul dengan rapi, saat pula Mr.Trainor berdiro dihadapan mereka.

"Aku berdiri bukan untuk meminta pendapat kalian. Melainkan untuk memerintahkan kalian semua agar menghukum Mate, puteraku. Dia telah melakukan sebuah hal yang fatal, jangan tanya lagi, pergilah! Ini perintah!" rahang Mr.Trainor bergemeletuk.

***

Pagi-pagi sekali Mate sudah meninggalkan tempatnya dan juga Emma. Ia sudah berjalan menjauhi pemukiman, langkahnya seperti tak tahu arah, perasaannya tentu saja tak bisa dijelaskan. Hamparan awan berarak mengikutinya, begitu pula rasa takut yang sejak tadi malam tak dapat dipisahkan dari dirinya.

Mate berhenti, ia menatap sekitar. Tidak ia sadari kalau saat ini ia sedang berada di tengah pasukan perang. Pandangannya tak patah oleh perisai dan pakaian dari besi yang mereka kenakan. Perasaan Mate sudah pupus, tak ada lagi kehangatan dalam jiwanya.

Ia menjatuhkan diri dan merunduk. "Lakukanlah." dengan nada putus asa Mate menyerahkan dirinya.

"Tuan besar memerintakhan kami untuk.."

"SUDAHLAH! Ayo cepat.. Lakukan!"

"Baiklah."

Koloni itu merentangkan busur panahnya, pandangannya siap menyerang. Mate tak bisa berkutik, ia hanya diam menatap tanah.

"SEMUANYA SIAP?" seorang pemimpin agaknya sedang memberi aba-aba. "1.. 2.. 3!" dalam detik yang sama semua anak panah lucut dari busurnya, ada hampir seribu anak panah bergerak cepat menuju Mate.

Jleb, Jleb, sret.

Apa ini? Dari sekian banyak anak panah yang di tembakkan, hanya satu yang mengenai tubuh Mate.

Mate masih memejamkan mata, dari sekian banyak desingan suara ia ternyata masih bisa bernafas. Mate perlahan membuka matanya, ada darah di pundaknya. Mate meraba pundaknya dengan hati-hati, sebuah anak panah ia rasakan menembus punggung dekat pundaknya. Ia masih meraba dan dengan cepat menariknya keluar. Mate berdiri meski tertatih. Ia menatap anak-anak panah yang menancap ke tanah disekelilinya.

Mate menelan ludah. "Kenapa? APA HANYA ITU SAJA? APA AYAHKU TIDAK MENYURUH KALIAN UNTUK MEMBUNUHKU?"

"Maaf tuan, ini adalah hukuman dari tuan besar untuk anda. Ia tidak ingin membunuh tuan tanpa sebuah penderitaan."

Mate terdiam. "A-apa maksudmu?"

"Jauhi gadis itu sampai takdir mengharuskan tuan untuk bertemu dengannya."

"Apa?"

"Pergilah dan jauhi gadis itu. Kurasa itu cukup sebagai hukuman anda."

Pasukan itu perlahan pergi dan menghilang dibalik pepohonan. Meninggalkan Mate, dan lukanya.

"Apa..ke-kenapa?" Mate menghela nafas panjang. Hatinya menciut seketika. "Ayah. Ini adalah hukuman terberat seumir hidupku. T-tapi terima.. Terimakasih." air matanya berlinang, ia lemas, kakinya bergetar, pandangannya mulai kabur dan... Gelap.

***

Suara desingan besi terdengar setelah aroma asing tercium. Mate mulai sadarkan diri tapi kepalanya masih sedikit pusing.

"Hallo. Oh kau sudah sadarkan diri." terdengar suara seorang gadis menyambut Mate.

"Siapa kau?"

Gadis itu tersenyum. "Setelah ini pasti kau akan bertanya dimana, iya kan?"

"Tidak, pertanyaanku yang barusan saja belum kau jawab. Siapa kau?"

Gadis itu beranjak dan menghadap pada Mate. "Kau masih ingat aku? Aku Silly."

"Tidak"

Gadis itu menampakan wajah kecewa, "Yasudah kalau kau tak ingat." Ia beranjak.

"Bagaimana mungkin aku lupa, ya Silly, aku ingat."

Gadis itu kembali lagi dengan membawa mangkuk. "Makanlah dulu, setelah kau makan aku akan membuatkanmu jamu, supaya kau segar."

Mate menatap mangkuknya. Perasaannya kembali tak karuan. "Emma " gumamnya.

***

Emma tak henti-hentinya menangis. "Mate dimana kau? Apa kau merasa jijik padaku hingga kau pergi dariku? Ah, tidak mungkin Mate seperti itu. Mingkin dia ada urusan." ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Cepatlah pulang Mate."

***

Malam kian larut dan Mate masih memikirkan sesuatu, ia memikirkan hal yang mengoyak hatinya. "Apa kau baik-baik saja Emma."

***

To be continue

The Dolls GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang