1937

297 16 0
                                    

Vernon dan Hanah terkesima melihatnya, lutut mereka berdua melemas. Mereka berubah menjadi pucat seperti boneka manekin.

"Apa yang harus kita lakukan?" Gumam Hanah, suaranya melemah. Begitu pula Vernon, ia tak bisa menjawab pertanyaan Hanah. Dalam hitungan detik kedua orang itu tergeletak ke lantai.

***

1937
Saturday 11 : 30 PM

Gemericik hujan menuang kengerian di malam itu, seorang pemuda berjalan melintasi jalanan yang basah, aspal jalan terlihat mengkilap di bawah lampu jalanan yang berkedip, konslet, kabelnya rusak terkena hujan.

Malam itu ia tak sadarkan diri setelah meminum sebotol vodka, matanya merah, jalannya sempoyongan. Felix yang saat itu masih berusia lima belas tahun berdiam diri di depan gang becek pada malam itu, ia terus memperhatikan pemuda di seberang jalan. Badannya yang jangkung membuat Felix harus sedikit merunduk untuk bersembunyi, pemuda itu terus melangkah menjauh sambil bergumam tak karuan. Felix menelan ludah, ia rasa jalanan sudah cukup aman untuknya. Perlahan ia melangkah melintasi jalan dan berlari ke utara.

Gerimis masih terus bergulir, jaket yang dikenakan Felix tak bisa menghangatkan tubuhnya. Anak seorang petani ini memacu langkahnya untuk sampai di rumah sebelum ibunya, Prim, mengamuk padanya. Dua belas langkah hendak menuju rumahnya tiba-tiba ia melihat seorang gelandangan tidur di teras rumahnya. Felix, bocah tanggung itu tetap berjalan menuju rumahnya, kini kepalanya sudah satu setengan meter diatas gelandangan itu. Felix menengok kebelakang, ke kiri dan ke kanan, tidak ada siapa-siapa, lantas ia menatap lekat-lekat wajah gelandangan itu.

Malam itu angin berhembus kencang, sisa-sisa gerimis menggenang di jalanan yang bolong. Gelap gulita tak terkalahkan oleh remang lampu sepuluh watt yang dipasang untuk menerangi perempatan jalan.

Felix mulai ragu apakan gelandangan itu benar-benar tidur atau pingsan. Ia meletakkan dua jarinya ke leher gelandangan itu, detik kemudian uluran tangan Felix ia tarik kembali. Jantungnya berdegup kencang, bibirnya mulai pucat. Kulit gelandangan yang Felix sentuh benar-benar dingin sedingin es, dadanya tidak kembang kempis, tidak ada deru nafas dihidungnya. Awalnya Felix ketakutan mengetahui orang di depannya ini sudah mati, gelandangan itu tewas di depan rumannya.

Ia menelentangkan tubuh gelandangan itu, ia melihat ada kalung merah darah di lehernya, kalung itu sangat menarik hati Felix. Ia berpikir untuk mengambilnya tapi apakah hal itu dibenarkan? Beberapa kali ia menimbang-nimbang pikirannya itu namun akhirnya ia memutuskan untuk mengambilnya.

Felix mempunyai mimpi untuk memiliki video game terbaru pada waktu itu, sadar ayahnya hanya seorang petani ia tak punya pilihan lain, akhirnya ia mengambil kalung itu untuk ia jual.

Tangan Felix sudah meraih kalung merah darah itu, ia menggenggamnya dan melepaskan dari leher jasad gelandangan itu. Felix tersenyum senang dan dalam hitungan detik kalung itu bercahaya dan masuk kedalam dadanya. Ia meraung kesakitan. DNA Felix terbelah dan digantikan DNA lain. Tiba-tiba tubuh Felix memancarkan cahaya merah darah hingga ke langit, membuat tengah malam itu terang benderang dalam beberapa detik.

***

Mata Felix berubah merah, semerah kalung yang masuk kedalam tubuhnya. Malam itu, seluruh kegelapan berubah menjadi hal menyenangkan untuk dirinya. Felix berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Iblis dari kalung itu telah merasuki jiwa Felix. Kematian gelandangan dan kalung itu seperti sudah di takdirkan untuknya. Detik itu juga Felix masuk ke dalam rumahnya. Di dalam ada ibu, ayah dan adiknya, tubuhnya masih dikendalikan iblis, Felix berlari ke dapur untuk mengambil sebuah kapak lalu kebali berlari menuju kamar ayah ibunya.

Saat itu juga Felix mengayunkan kapak itu ke tubuh ayahnya, dan
Dashh..
Darah segar menciprat ke segala arah hingga mengenai pelipisnya.

The Dolls GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang