Bagi Tristan, mengikuti saran Callysta yang sedang labil seperti sekarang ini benar-benar seperti sedang melakukan suatu TINDAKAN BUNUH DIRI. Sudah hampir dua jam lamanya Tristan menahan luapan emosinya demi mengikuti kemauan gadis bandelnya itu.
Tadi saat keluar dari pelataran parkir kampus Callysta, Tristan langsung melajukan jeep kesayangannya itu ke cafe ice cream kesukaan Callysta, namun gadis itu menggelengkan kepalanya seraya menyuruh Tristan mencari tempat yang lain.
Dan sekarang? Sudah sekitar sepuluh cafe yang mereka lalui di ibukota ini, dan tetap dengan pendirian gadis itu yang menggelengkan kepala dan ingin mencari tempat lain.
"Sebenarnya kamu mau makan ice cream yang dimana? Ini udah cafe yang kesebelas yang kita datangi, dan kamu masih tetap menggeleng" Tanya Tristan dengan tingkat kesabaran yang makin menipis.
"Crème Glacée Cafe" Balas Callysta dengan polosnya, sementara Tristan hanya dapat mengumpat kasar dalam hati. Kenapa? Pasalnya itu adalah cafe yang pertama sekali mereka datangi tadi! Cafe kesukaannya Callysta.
"Kenapa ga bilang dari tadi sih?! Itukan Cafe pertama yang kita datangi tadi?" Nada suara Tristan sedikit meninggi.
Callysta hanya mengendikkan bahunya tak acuh.
"Masa? Kok aku ga tau kita udah kesana tadi?" Tanya gadis itu dengan tampangnya- yang sekali lagi- dibuat polos."Yaudah terserah kamu ajalah. Kita kesana sekarang" Balas Tristan dengan tampang geramnya, dan langsung melajukan jeep wrangler nya menuju Cafe tersebut. Dalam hati ia hanya bisa mengucapkan kata sabar berkali-kali.
°°°°°°°°°°°°
Diperpustakaan pribadi milik keluarga Harrison sore menjelang malam hari ini, terlihat sang putri tunggal sedang bermalas-malasan diatas sofa santai yang berada di ruangan itu.
Gadis itu tampak sedang memikirkan sesuatu, dengan pandangan menerawang sehingga tidak menyadari sang ayah yang sudah duduk disebelahnya.
"Lagi mikirin apa hmm?" Sapa Dylan Harrison sembari menarik hidung sang putri. Ya, begitulah interaksi Dylan dengan anaknya, lebih terlihat seperti teman.
"Ishh.. Papi resssee! Sakit tau!" Callysta membalas menarik hidung sang ayah dan mereka tertawa bersama. Sejenak Callysta melupakan apa yang ada dipikirannya tadi.
"Ciee lagi galau.. Sampe termenung-termenung gaje kaya tadi!" Sindir Dylan dengan bahasa gaulnya, sembari mengacak rambut anaknya.
"Papiiii isshh! Jangan diberantakin dong rambut aku! Oh ia, Cally juga mau balas... CIEEE papi kesepian ditinggalin mami arisan ke Singapore.... Huahahah" See? Sungguh aneh tapi nyata bukan kelakuan ayah dan anak ini.
Callysta memang lebih dekat dengan sang ayah. Mereka bisa saling curhat, shopping bareng dan apapun yang mereka sukai, mungkin karena faktor Callysta yang anak tunggal. Tapi bisa juga karena sifat Dylan yang sangat gaul dan easy going. Entahlah.
"Mau cerita sama papi?" Tanya Dylan yang kini menaik turunkan alisnya. Callysta mengangguk pasti, dan mengalirlah curahan hatinya.
Sampai kejadian tadi siang saat di tempat ice cream, saat lelaki itu- Tristan- meminta maaf dan meluruskan segala kesalah pahaman mereka.
Flashback on.
"Airine, gadis yang tempo hari kamu siram dan maki-maki di club itu. Dia adalah sepupu aku, anak dari tante Arin, adiknya mommy. Sabtu lusa, dia akan menikah dengan sekretarisku Gerald." Kata Tristan memulai penjelasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OH MY GIRL
RomansaTristan Francius, si bungsu dari keluarga Ricardo yang tidak percaya akan adanya cinta sejati. Baginya cinta sejati hanyalah kalimat dangdut yang mengandung unsur bulshit didalamanya. Sampai suatu saat dia mengenal gadis itu, Callysta Abigail. Cally...