Denzel menghentikan mobilnya di depan rumahnya tanpa ada keinginan memasukkan mobilnya ke garasi. Sengaja. Ia hanya ingin menikmati tetesan hujan yang sangat ia rindukan. Sudah puluhan tahun ia bersembunyi dari hujan. Namun kali ini ia akan bermain dengan tetesan air yang jatuh dari langit tersebut. Setelah mengantar Salsa pulang tentunya.
Ia melepas sabuk pengamannya lalu turun. Tersenyum manis saat tau dirinya disambut derasnya hujan. Ini terlampau menyenangkan. Ia berlari-lari kecil seraya tertawa di bawah sinar rembulan. Memalukan sih tapi ini benar-benar membuat moodnya meningkat. Ia merasa bebannya luntur dan terbawa oleh aliran air yang menggenang.
"Zel?" Denzel menoleh. Senyumnya langsung memudar.
Ia merasa moodnya kembali buruk. Ia sadar sih seharusnya tidak mementingkan egonya. Namun ia tak bisa memaafkan reina begitu saja. Gadis itu merecoki kehidupannya. Meskipun sebenarnya letupa kerinduan sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Reina mencekal tangan Denzel lalu dengan cepat Denzel menghentakkannya dan berjalan pergi masuk kerumah.
"Zel! Denzel!"
Denzel mengabaikan Reina yang memanggilnya dengan berteriak. Ia juga mengabaikan Reina yang berdiri dibawah hujan. Lebih tepatnya mencoba mengabaikan sih. Hati dan otaknya tidak sinkron. Reina terus memanggil nama Denzel. Sayup-sayup terdengar karna suara Reina teredam suara derasnya air hujan.
Dapat Denzel pastikan bahwa Reina memanggilnya dengan volume yang keras. Karena dari jarak mereka yang cukup jauh ia masih bisa mendengar suara gadis itu meskipun tidak terlalu terdengar. Ia masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu. Ia memejamkan matanya sejenak. Jadi seperti ini rasanya menahan rindu. Sakit sekali ya.
Reina duduk di halte bus. Tak memperdulikan keadaannya yang basah kuyup. Dingin. Ia mengusap-usapkan telapak tangannya. Ia memejamkan matanya seraya memeluk tubuhnya sendiri. Suranya sudah habis karena meneriaki nama Denzel tadi. Ah jadi kangen. Ia tersentak kaget saat ada lengan kekar yang memeluknya dan merengkuhnya ke dada bidangnya. Wangi ini. Milik Alvin.
"Kamu kenapa ujan-ujanan?" Tanya Alvin. Tangannya mengusap lembut rambut reina yang basah. "Harusnya kamu minta jemput aku. Biar gak kedinginan disini. Pulang sama aku ya?"
Reina mengangguk samar di pelukan Alvin. Karna suaranya benar-benar habis.
••••
Denzel mengernyit bingung. Sepertinya tadi ia sedang tertidur. Namun kenapa sekarang ia malah duduk manis di kursi tahtanya dengan setumpuk laporan. Ia bangkit. Keluar ruangannya sejenak. Ramai. Pegawainya terlihat sangat sibuk. Ada yang kesana dan ada yang kesini. Ia tersenyum. Ia kemudian berjalan ke ruangan kekasihnya. Ia menyengir lebar saat salsa menyadarinya dan langsung memeluknya.
"Gimana hari kamu? Menyenangkan?" Tanya Denzel
"Ya selalu kayak gitu kalo aku sama kamu." Salsa mengeratkan pelukannya.
"Oke. Aku rasa kita lanjut nanti. Aku mau cek yang lain." Salsa mengangguk. Ia melepaskan pelukannya dan mengecup pipi Denzel sekilas.
Denzel kembali berjalan. Sebenarnya ia masih bingung dengan semua ini. Ia berjalan menuju.... Ruangan Reina. Ia ingin berhenti tapi tidak bisa. Ia membuka pintu itu. Semua kelakuannya seperti tidak di dalam kendalinya. Ia memendarkan pandangannya. Diruangan itu hanya ada Mais. Kursi Reina kosong dengan meja yang masih tersusun rapi. Seakan memberitahunya bahwa pemiliknya tidak menyentuhnya sama sekali hari ini. Terlihat Mais menoleh dan tersentak melihat atasannya di pintu ruangannya.
"Siang pak. Mau nyari Mbak Rei ya?" Dengan ragu Denzel mengangguk. Sudah dibilang kan tadi? ini bukan atas kendalinya.
"Maaf pak. Bapak lupa ya kalo Mbak Rei kecelakaan tiga hari yang lalu dan sekarang lagi koma?"
Mata Denzel terbelalak. Apa katanya tadi?. Hatinya mencelos.
"Dia sekarang dimana? Kasih tau saya." panik. Tentu saja.
"Rumah sakit citra kasih. Kamar mawar nomer 9."
Ia berlari mengambil mobil dan mengendarainya seperti orang kesetanan. Rumah sakit itu tidak terlalu jauh. Jadi ia lebih cepat sampai. Ia janji tidak akan mementingkan egonya lagi. Ia janji kalau ia masih bisa melihat Reina lagi ia tidak akan menyakitinya lagi. Ia rindu reina. Sungguh. Ia telah berdiri di depan pintu ruangan itu. Jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Ibunya langsung menghambur ke pelukannya. Dan Alvin terlihat seperti patung bernyawa.
"Bu kenapa? Jelasin ke aku bu" Ibu Melia tambah menangis.
"Reina meninggal Zel Reina meninggal."
Selesai sudah. Lututnya lemas. Hatinya hancur berkeping-keping. Kata maaf saja belum meluncur dari mulutnya Reina sudah pergi meninggalkannya. Ia masuk ke kamar Reina dengan sisa-sisa tenaganya. Ia menatap wajah itu. Damai dan masih terlihat cantik seperti biasanya. Ia mengusap pipi Reina yang masih membiru akibat tangannya. Sesak. Ia berusaha menahan air mata sialan yang sudah membasahi rahang tegas miliknya.
"Maaf Rei," tenggorokannya tercekat. "Gue bahkan belum jalanim janji yang baru gue buat. Lo udah ninggalin gue"
Ia perlahan mendekatkan wajahnya. Matanya mengarah ke bibir pucat Reina. Dan..
Bruk.. Refleks Denzel membuka matanya. Ia menatap sekeliling. Keringat masih membasahi tubuhnya. Design interior ini. Ini kamarnya. Ia menghela nafas. Baguslah hanya mimpi. Namun jantungnya masih setia berlari marathon. Ia menatap jam. Pukul 09.00. Tak apa ia masih bisa datang ke kantor. Ia harus menetralkan dirinya. Mimpi itu benar benar buruk.
••••
Alvin menatap Reina khawatir. Sangat terlihat tidak memungkin untuk gadis itu masuk kerja. Ia sudah berkali-kali melarangnya namun Reina tetap keras kepala. Jadi ia memilih untuk mengantar Reina ke kantor daripada gadis itu kenapa-kenapa. Bahkan reina belum makan dari semalam. Ia sudah menyuruhnya untuk makan tapi Reina hanya menggeleng.
"Rei kamu yakin mau masuk? Cuti sehari aku rasa Denzel gak akan nendang kamu dari perusahaannya."
Reina menggeleng.
"Laporan aku banyak Vin, aku janji aku gak bakal lama-lama"Alvin meringis. Suara Reina benar-benar lirih. Untung suasana mobilnya sunyi jadi ia bisa mendengar dengan baik.
"Yaudah lah aku anter kamu. Janji kamu aku pegang ya."
Setelah Reina mengangguk dan nyengir lebar. Alvin melajukan mobilnya seraya tersenyum. Tak butuh waktu lama mereka sampai. Alvin masih bersikukuh untuk mengantar reina sampai gadis itu duduk di ruangannya. Hal itu membuat Reina menggelengkan kepalanya seraya tertawa. Overprotective banget. Ia melihat Mais. Dengan cepat ia menepuk pundak mais.
"Pagi bu Mais." sapa Reina dengan suara yang masih sama. Alvin dengan cepat mengamit tangan Reina agar gadis itu tidak kabur tanpa dirinya.
"Eh Mbak Rei. Mbak Rei oke? Pucet loh Mbak mukanya. Suara Mbak juga abis. Cuti aja gih nanti aku bilang pak bos deh"
"Aku oke kok. Gak perlu cuti."
"Itu siapa mbak? Doi baru?" Mais terkekeh seraya menunjuk Alvin.
"Sahabat aku namanya Alvin" Alvin tersenyum tipis. Membuat beberapa karyawati yang melintas menjerit histeris bahkan ada yang guling-guling.
Reina terkekeh. Pesona Alvin luar biasa juga. Entah kenapa tiba-tiba kepalanya pening. Perutnya sedikit perih. Semuanya terlihat berputar dan kabur. Sebelum semuanya gelap ia mendengar suara khawatir Alvin dan teriakan melengking dari Mais.
Alvin dengan cepat menggendong Reina ala bridal. Diikuti Mais tentunya. Para pegawai yang tadi menonton pun akhirnya bubar seraya berbisik-bisik ria. Dasar tukang gosip. Alvin benar-benar panik. Seumur-umur ini baru pertama kali Reina pingsan. Berarti sudah parah kan?. Mais juga sama paniknya. Ia sampai lupa bahwa tadi laporannya jatuh di lobi. Ah bodo amat untuk saat ini. Yang terpenting adalah keselamatan Reina dulu.
***
Part 9 selesaiii yey. Gatau lagi mau bilang apa sama cerita aneh ini. :*
![](https://img.wattpad.com/cover/50941663-288-k153716.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Childish
JugendliteraturAda yang pernah bilang. "seseorang yang tidak ada hubungan darah denganmu tapi dia dekat denganmu kemungkinan besar dia jodohmu" semoga saja