Denzel mengedarkan pandangannya. Apartement Reina sepi. Lampunya bahkan tidak ada yang menyala sama sekali. Ia mengernyit bingung. Tangannya merogoh saku mencari poselnya. Ia membuka pola kunci layar ponselnya. Ada satu pesan masuk. Sejak kapan?
'Maap gue berangkat duluan. Lo lama sih-_-. Langsung ke kantor aja ya gausah ke apartement
From: Reina pukul 08.18'Denzel berdecak sebal. Ia kan sudah memperingatkan waktu tadi malam pada gadis itu agar tidak pergi sendiri. Tadinya ia ingin meminta tolong untuk memasangkan dasinya dan merapikan rambutnya. Eh malah di tinggal.
Reina melangkah gontai menyusuri lobby kantor. Sialan. Ia butuh oksigen sekarang. Naik bus pagi-pagi tetap saja tak ada bedanya. Bedesakan. Bersenggolan. Ah bodohnya pergi duluan tanpa menunggu pria itu. Tetapi ia takut terlambat. Hanya itu. Ia yakin saat jam pulang nanti Denzel akan memakinya habis-habisan.
"Muka lo astaga Rei." Salsa yang bernotebene sahabat gadis itu pun memekik bingung saat menatap wajah Reina yang kusut. "Abis ngapain lo?"
"Gue naik bus. Enek sumpah," Reina mengibas-ngibaskan tangannya. Ya tuhan panas sekali. AC nya tidak berfungsi apa.
"Bego sih. Bukannya bareng Pak Denzel aja." Salsa menaik turunkan alis tebalnya. "Apa lu takut jantungan?"
Reina menyipitkan matanya. Salsa senang sekali sih menggodanya. Ya salsa tau tentang dirinya yang menyukai sosok Denzel. Tau segalanya.
"Diem lo. Sono kerja." Reina mendesis saat salsa tertawa keras.
Jam menunjukkan pukul 21.00. Jam pulang kerja. Akhirnya! Denzel merenggangkan ototnya. Pegal. Ia bangkit. Jas nya ia sampirkan pada lengannya. Ia melangkah dengan gontai. Sapaan-sapaan pegawainya membuat mau tidak mau harus senyum meskipun bibirnya enggan.
Matanya menangkap sosok Reina yang cengengesan dengan Salsa. Ia berdecak. Sudah membuatnya menunggu tadi pagi tapi masih bisa tertawa. Dasar. Ia mempercepat langkahnya. Lalu menarik pergelangan tangan Reina. Mata coklat bening gadis itu menatapnya. Matanya melebar. Mengisyaratkan keterkejutan.
"Gue pulang duluan ya Rei. Pak saya duluan." Salsa yang tidak ingin ikut campur pun memilih pulang. Ia membungkuk sopan lalu pergi.
Reina menatap wajah kesal Denzel dari samping. Ia diam-diam tersenyum. Oh pria itu imut sekali. Sekali lagi ia jatuh kedalam jurang cinta Denzel. Ia tau pria itu kesal dengannya soal tadi pagi. Ia juga tidak ingin menyalahkannya.
Suasana di dalam mobil terasa sepi. Tak ada musik. Tak ada percakapan. Hanya ada suara klakson yang memekakan telinga dan deru mesin kendaraan.
"Zel lo mau... Mampir?" Reina bertanya saat mobil Denzel terparkir sempurna di basement.
Denzel mengangguk.
"Ada yang mau gue omongin"Reina terdiam. Ia tau Denzel akan memarahinya. Lihat saja nanti lihat.
"Apa lo gak denger waktu gue ngomong lo berangkat bareng gue?" Denzel bertanya saat Reina ingin menekan beberpa digit angka untuk masuk ke apartementnya.
"Gue denger. Gue juga udah nunggu lo. Tapi karena gue takut terlambat. Ya gue mutusin berangkat duluan."
"Seenggaknya lo nunggu sebentar lagi. Gue yang punya perusahaan. Kalo lo telat bareng gue lo gak bakal di pecat. Dan gak akan pernah di pecat kecuali gue yang mau." omel Denzel.
Reina mengulum senyum. Oh ayolah. ia tau apa yang selalu Denzel lakukan padanya setelah marah.
1.... 2.... 3...
Bruk... Denzel menabrakkan tubuhnya pada tubuh Reina. Memeluk erat tubuh mungil itu. Wajah tampannya ia sembunyikan dibalik pundak gadis itu. Reina mengulurkan tangannya membalas pelukan Denzel seraya tersenyum.
"Maafin gue." ujar Denzel menyesal.
"Hmm." gumam Reina seraya mengangguk.
Denzel melepaskan pelukannya. Lalu ia menekan beberapa digit angka. Dengan santai ia merangkul Reina masuk. Cepat sekali ya melupakan masalahnya.
Pri itu merebahkan diri disofa. Paha Reina ia gunakan sebagai bantal. Manja. Ia memejamkan matanya. Lelah. Apalagi tangan Reina setia mengusap-usap kepalanya membuatnya benar-benar memgantuk. Jika tidak memungkinkan pulang... Ia rasa ia akan bermalam disini.
"Zel." panggil Reina
"Hm?" Denzel bergumam.
"Gue suka sama lo."
Denzel menyengir lebar menampilkan deretan gigi putihnya."gue tau."
"Gue sayang sama lo."
"Gue tau."
"Gue cinta sama lo."
"Rei gue tau. Berapa ratus kali lo bilang gitu ke gue." Denzel menyentil pelan kening gadis itu.
"Oh?" Reina kaget. Masa sih? Perasaan ia baru bicara kali ini. Jadi selama ini Denzel tau? Jadi seperti itu? Tapi kenapa Denzel tidak menjauh dan tetap manja padanya? Apa Denzel juga menyukainya.
Reina menggeleng. Pertanyaan itu tiba-tiba berputar-putar di kepalanya. Semburat merah sempat menghiasi pipinya. Bagaimana bisa ia mengungkapkan perasaannya dengan cara begitu. Gila.
Denzel menatap jam. Pukul 23.00. Sudah larut. Ia mengecek ponselnya. 28 panggilan tidak terjawab. Panggilan dari ibunya. Ia terlalu nyaman tertidur hingga lupa memberitahu ibunya. Ia menatap keseliling. Tidak ada Reina. Tidurkah?. Ia mengusap-usap matanya lalu menguap.
"Lo gak pulang?" tanya Reina dengan makanan di nampan yang gadis itu bawa.
Denzel menguap sekali lagi.
"Pulang kok. Ibu nyariin. Gue lupa bilang.""Makan dulu." titah Reina.
Denzel menggangguk. Perutnya juga sudah keroncongan. Ia mulai memasukkan sendok per sendok nasi goreng itu kedalam mulutnya. Entah kenapa nasi goreng Reina membuatnya candu.
Gadis itu tersenyum puas. Menatap Denzel memakan nasi goreng itu dengan lahap membuat rasa senang di hatinya membuncah. Ia menatap intens Denzel. Setiap gerakan Denzel seperti slowmotion. Rambut pompadour acak-acakannya. Dasi yang telah dilonggarkan. Lengan kemeja yang digulung sampe siku. Dua kancing kemeja atasnya terbuka. Mata biru yang sayu karena mengantuk.
"Ya tuhan seksi banget"
Batin Reina menjerit. Detik kemudian ia menepuk pelan pipinya. Kenapa gue jadi mesum gini? Reina menggeleng lalu menatap Denzel lagi. Mencoba menghilangkan imajinasinya yang mulai melantur.
"Gue seneng lo natap gue kaya gitu." Reina tercengang. Padahal pria itu sibuk dengan makanannya. Jadi bagaimana bisa tau. Seketika pipinya memanas. Ia yakin pipinya sudah semerah tomat.
"Eh pipi lo merah banget. Cie." Denzel terkekeh. Melihat reina yang menangkup pipinya. Sialan. Bisa bisanya denzel menggodanya seperti itu.
Setelah puas tertawa pria itu bangkit dari duduknya diikuti Reina. Denzel mengambil jas nya dan bersiap untuk pulang. Reina pun mengantarkan Fenzel hingga lift. Padahal pria itu menolak untuk diantarkan sampai lift. Namun karna niat kekeuh Reina ia meng'iya'kan.
"Salam dari gue buat ibu lo." ujar reina yang sudah sampai lift.
Denzel mengangguk lalu mengecup kening Reina. Lagi-lagi jantung Reina berdetak biadab. Dan kembali menggedor-gedor tulangnya saat Denzel mendekapnya erat.
"Tidurlah. Gue minta lo jangan berangkat sendiri besok. Have a nice dream." bisik Denzel lembut di telinganya.
Reina tidak bisa merasakan kakinya. Kakinya lemas seperti jelly. Hatinya meleleh bagaikan lilin. Jantungnya belum juga berhenti. Padahal pria itu telah pergi beberapa menit lalu. Denzel mampu memporak-porandakan dirinya seperti ini.
***
Yang ini agak panjangan dah:v. Te amo buat yang baca sama ngevote
KAMU SEDANG MEMBACA
Childish
Ficção AdolescenteAda yang pernah bilang. "seseorang yang tidak ada hubungan darah denganmu tapi dia dekat denganmu kemungkinan besar dia jodohmu" semoga saja