Kesepuluh

10.6K 578 11
                                    

Denzel menatap kalender dengan cemas. Sudah hari ketiga Reina tidak terlihat dimatanya. Keadaan ini sungguh membuatnya frustasi. Mimpi itu terus berkelebat di kepalanya. Tepat hari ini kan? Hari ketiga dimana ia akan kehilangan Reina? Tidak. Itu hanya sekedar mimpi. Ia mendesah frustasi. Ia menjambak kasar rambutnya. Ia tak tau dirinya kenapa. Yang jelas sejak ia bertengkar dengan Reina ia menjadi sedikit uring-uringan. Rasanya seperti sebagian dirinya hilang. Dan bahkan ia baru sadar kalau akhir-akhir ini ia mengabaikan Salsa.

Ia memilih bangkit. Berjalan keluar. Ramai. Pegawainya sibuk sekali. Ada yang kesana dan ada yang kesini. Hatinya mencelos. Ini persis seperti mimpinya. Ia kembali berjalan ke ruangan Reina tanpa ke ruangan Salsa terlebih dahulu. Dengan ragu ia membuka pintu itu. Hanya terlihat Mais. Meja Reina masih rapih seperti hari sebelumnya. Kali ini jantungnya berdegup tak karuan. Keringat dinginnya keluar. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin.

"Maaf pak. Bapak mencari Mbak Rei?" tanya Mais saat melihat Denzel diantara pintu.

Denzel mengangguk cepat. "Dia dimana?"

"Tiga hari yang lalu Mbak Rei jatuh pingsan di lobi. Terus sama Alvin Alvin gitu langsung dibawa ke rumah sakit deket kantor sini pak."

Denzel panik. Tanpa diberitahu ia sudah tau bahwa hanya rumah sakit citra kasih yang dekat dari kantor. Clue yang benar-benar mirip dengan mimpinya. Ia berlari dan mengendarai mobilnya dengan cepat.

Reina mendengus. Ia bosan. Kehidupannya terasa monoton tiga hari ini. Tidur, makan, minum obat dan seperti itu seterusnya. Meskipun ada Alvin yang selalu menemaninya tapi tetap saja bosan. Lagipula ia kangen Denzel juga. Pria itu sama sekali tidak mengunjunginya. Bahkan Reina membuang harapan itu jauh-jauh karena ya tidak mungkin. Ia menatap Alvin yang tertidur di sofa. Ia nyaris tertawa kencang jika ia tidak cepat-cepat menutup mulutnya. Alvin lucu sekali dengan mulut menganga seperti itu.

Detik berikutnya Alvin mengerjapkan matanya. Dan Alvin telah menutup mulutnya. Ia tersenyum menatap Reina. Ia berjalan menghampiri Reina lalu mengusap-usap kepalanya. Kata dokter, Reina terkena penyakit tipes. Ya dasarnya Reina yang badung aja, jadinya sakit gini.

"Mau makan apa?" tanya Alvin seraya menggenggam tangan Reina.

"Ma-

Brak

Denzel membuka pintunya kasar. Ia menghela nafas saat melihat Reina sudah terlihat lebih sehat tidak seperti mimpi sialannya. Namun ia menatap tajam tangan Alvin yang mengamit tangan Reina. Rasanya ia ingin menjauhkan pria itu dari Reina. Ish.

Ia mencoba menormalkan dirinya. Sebenarnya ia sudah sedikit tenang saat mendengar dokter mengatakan semuanya. Dan ia sangat lebih tenang saat melihat gadisnya sudah sehat. Ia terkikik. Lucu sekali mendengar dirinya yang seakan sudah menjadikan Reina hak miliknya. Tunggu. Inget Salsa Zel. Ia menatap Reina dengan tatapan 'lo-kenapa?'.

"Gue gak papa cuma demam." Denzel meringis. Suara lirih Reina benar-benar membuatnya terpukul. Secara tak langsung ini ada sangkut pautnya juga kan sama kelakuannya.

"Kalo cuma demam gak bakal sampe dirawat, bodoh." Reina nyengir lebar. Dari situ Denzel menyimpulkan jika ia dan Reina akan menjadi seorang pasangan. Mungkin mereka akan menjadi pasangan teridiot. Oke ia suka dengan pikiran itu. Eh apasih.

"Lo bukan demam. Lo itu meriang. Merindukan kasih sayang. Dari gue tentunya." Reina tertawa tanpa suara. Terselip rasa senang melihat Denzelnya telah kembali. Denzelnya? Oh ia juga menyukai itu.

"Vin tinggalin gue berdua dong. Lepasin tangan lo." Alvin berdecak. Ia mengecup sekilas kening Reina. Lalu menjulurkan lidahnya kearah Denzel yang menatapnya sengit sebelum ia benar-benar lenyap dibalik pintu.

ChildishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang