Ketiga

12K 669 2
                                    

Reina menatap Denzel kagum. Bukan. Bukan kagum. Mungkin lebih tepat mesum. Oh ayolah wanita mana yang tahan saat ada pria menyetir dengan gaya seseksi itu? Otakmu harus dibenahi rupanya Rei.

Ia mengatupkan mulutnya yang tanpa sadar menganga. Tadinya ia bersyukur karna Denzel menjemputnya dan menyelamatkannya dari bus biadab itu. Namun satu mobil dengan Denzel? Ia rasa dosa nya makin banyak.

"Sudah selesai memperhatikanku nona?" Tanya Denzel.

Reina mengangguk samar. Memalukan. Lalu tangannya ia kaitkan pada lengan Denzel. Berjalan beriringan menyusuri lobi. Bisik-bisik para karyawan tak terhindarkan.

"Bego banget. Bisik-bisik kok suaranya gede." Denzel tertawa.

"Iyalah. Mereka kan sirik liat lo gue gandeng."

Reina memutar bola matanya. Meskipun itu memang benar sih.

"Gue ke ruangan gue ya? Nanti makan siang bareng eh pulang bareng juga. You understand miss?." Denzel menepuk-nepuk kepala Reina pelan. Lalu pergi seraya melambaikan tangan.

Reina menggeleng. Dijawab saja belum. Dasar pemaksa. Dan ia sangat suka pemaksa setampan Denzel. Ia masuk ke dalam ruangannya. Salsa sudah berkacak pinggang. Mata salsa menatapnya tajam. Ia mengernyit. Ada apa? Seingatnya ia tak mengingkari janji. Bahkan membuat janji pun tidak sama sekali.

"Lo udah pacaran sama Pak Denzel kok gak bilang sama gue. Jahat!" Salsa mengerucutkan bibirnya. Tangannya beralih menjadi bersidekap dada.

Reina tertawa. "Lo ngeledek gitu nyet? Mana ada gue jadian. Kalo gue udah jadian lo orang pertama yang gue kasih tau."

Salsa melongo. "Oh belom jadian toh. Lagian lo berdua kaya orang pacaran sih."

"Bodo sal bodo."

Salsa melempar kesal wajah Reina dengan gumpalan kertas.

Reina menahan tawa saat Salsa menatapnya sengit. Lucu sekali. Rasanya ia akan menampar wajah itu sekarang juga. Ia menatap layar monitornya. Lebih baik ia menyelesaikan laporannya daripada menatap sahabatnya yang cantik dan berotak seperempat itu.

Denzel terdiam di mejanya. Ia hanya menatap gadis di hadapannya. Reina yang mengajak gadis itu. Dan ia rasa gadis itu senang sekali menunduk. Sebab sedari tadi ia hanya melihat salsa menunduk dan menautkan jari-jari tangannya. Sepertinya Salsa berfikir ia menyeramkan. Padahal ia rasa wajahnya tidak semenyeramkan itu.

"Kamu sejak kapan sahabatan sama Reina?" Tanyanya. Daripada sunyi lebih baik ia membuka obrolan. Lagipula tak ada salahnya mengajak bicara karyawannya.

"Em.. Tujuh tahun pak." Denzel hanya mengangguk.

Ia mengedarkan pandangannya. Mencari sosok Reina yang luar biasa lama hanya untuk memesan makan siang. Namun mata elangnya berhasil menangkap tubuh mungil dengan nampan berisi berbagai macam makanan itu tengah menyelip-nyelip diantara orang yang lebih besar darinya. Rambutnya bahkan sudah tidak serapi tadi.

"Makanan datang." Reina duduk lalu mengambil makanannya.
Tidak lupa ia pun mengambilkan makanan milik Salsa dan juga milik Denzel.

Reina yang sangat supel saat bergaul membuatnya sangat tau cara untuk mencairkan suasana. Karna Denzel sahabatnya dan salsa juga sahabatnya.

Setidaknya mereka harus sama sama mengenal. Obrolan ringan mulai mengalir. Terkadang gelak tawa juga menjadi selingan obrolan mereka.

Sejenak Reina menatap Denzel kesal. Bagaimana tidak. Seenak apapun makanan milik Denzel. Pria itu akan selalu memakan makanan miliknya. Sendok demi sendok dan akan menyisakan piringnya kosong melompong. Ia tidak marah.

Namun harusnya Denzel bertanya. Takut ia lupa memesan makanan yang berisi udang dan Denzel alergi terhadap hewan laut itu. Meskipun ia tak pernah lupa. Namun saat itu juga Denzel dan Salsa sudah bisa berkomunikasi dengan baik membuatnya senang setengah mati.

Reina menatap jam kantor. Sekarang pukul 21.00. Sudah harusnya ia pulang. Tetapi laporannya belum selesai. Terlebih laporan itu sudah dikejar deadline dan harus di setor besok pagi. Ia dan salsa memutuskan untuk lembur di kantor hingga selesai. Pintu ruangannya berderik. Menampilkan sosok Denzel disana. Pria itu menghampirinya dan duduk di kursi yang berada di hadapannya.

"Pulang bareng." Denzel menaruh dua cup black coffee diatas meja Reina.

"Gue lembur Zel. Pulang duluan aja." Reina menyesap minumannya lalu menaruhnya lagi.

"Salsa juga?" Salsa mengangguk.

"Nih ambil buat kamu aja. Saya bisa berdua sama dia."

"Tapi kan ini punya bapak."

Denzel mengangguk. "Gak papa itu buat kamu."

"Lo gak-"

"Gue nunggu lo pulang. Puas?" Denzel memotong pertanyaan Reina yang ia tau.

Denzel memberhentikan mobilnya di pekarangan rumahnya. Lalu menarik pelan tangan Reina. Membiarkan reina menatapnya bingung Sebenarnya sepanjang perjalanan tadi gadis itu sudah menanyakan ratusan pertanyaan. Yang hanya ia ingat beberapa.

"Eh ini bukan arah ke apartement gue kan?"

"Kita mau kemana Zel?"

"Arahnya kaya mau kerumah lo?"

"Aaaaa ada ibu lo gak? Gua kangen"

"Tapi apa harus malem Zel?"

"Zel jawab. Ini udah jam 11 malem loh"

"Jangan-jangan lo mau perkosa gue?"

Pertanyaan yang terakhir itu berhasil membuatnya menjatukan jitakan ke kening Reina. Denzel sempat berfikir. Kemana otak gadis itu. Apa jatuh dijalan? Apa emang tidak punya otak?. Harusnya Reina tau bahwa ia tidak akan melakukan hal itu pada siapapun kecuali istrinya.

Ia membuka pintu rumahnya menampakkan wanita separuh baya sedang duduk di sofa seraya menyesap teh hangat di tangannya. Rumah Denzel luar biasa besar. Meskipun terlihat kecil dari luar tetapi di dalamnya benar-benar seperti istana.

Reina sudah ribuan kali menapakkan kakinya disini. Ada kolam berenang di halaman belakang. Ada tanaman-tanaman hias yang di tanam oleh ibu Denzel sendiri. Rumah ber-cat minimalis ini benar-benar membuatnya berdecak kagum meskipun sering melihatnya.

"Bu." panggil Denzel. Wanita itu menoleh. Mata biru yang persis dengan Denzel itu melebar. Refleks wanita itu berlari dan memeluk Reina.

"Kenapa baru datang sekarang? Kamu gak tau ibu kangen kamu." Reina hanya bisa menahan air matanya. Jujur ia rindu. Apalagi ia jauh dari ibunya. Dan dengan ibu Denzel lah ia menemukan sosok ibu yang bisa sedekat ini. Ibu Melia sudah ia anggap ibu keduanya. Begitu pun ibu Melia yang menganggap ia sebagai anaknya sendiri. Bahkan yang membuatnya terharu adalah ibu melia menyuruhnya memanggilnya ibu bukan 'tante' yang seperti seharusnya.

"Maafin aku bu, aku gak sempet kesini karna kerja. Aku juga kangen sama ibu. I really miss you,mom" Reina sudah tidak bisa membendung air matanya lagi.

Ibu Melia pun sama. Denzel yang melihat itu hanya tersenyum senang. Ibunya sudah berkali-kali memintanya membawa Reina kerumah. Namun ia belum sempat. Ibu Denzel campuran belanda yang membuat iris matanya biru. Logatnya pun terkadang masih sering menggunakan logat belanda. Jangan ditanya soal kemahiran ibu Melia soal bahasa inggris.

Reina duduk disofa dengan tenang meskipun sedikit sesenggukan. Denzel dengan setia merangkul pundak ringkih itu seraya mengusap-usapnya. Ibu Melia menatap mereka wajar. Bukan satu kali mereka semesra itu di hadapannya. Dalam hatinya. Ia ingin Reina benar-benar menjadi anaknya. Dengan cara menjadikan Reina menantunya. Namun semua tergantung anak tunggalnya yang tampan itu.

*****
Yeeey part 3 selesai. Doain semoga uts gua bagus ya.
Gua udah nulis loh. Gaada yang ngevote sama komen gitu?wkwk. Bukan kode kok bukan

ChildishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang