Keenambelas

10.3K 476 0
                                    

Denzel menatap Mais yang sibuk dengan super big hamburgernya yang sumpah demi apapun tidak akan pernah muat jika wanita itu menggigitnya. Sebenarnya ia hanya menagih kisah tentang Reina. Masih ingatkan soal Mais yang jadi mata-mata?

Ia rasa kekepoannya tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Ia butuh penjelasan Mais. Yang mungkin akan membuatnya senang atau mungkin sebaliknya. Yang jelas ia hanya ingin mendengar seluruh cerita gadis kesayangannya lewat mata-mata andalannya.

Mais menghela nafasnya. Senang sih jadi mata-matanya Senzel. Semuanya terjamin ia bahagia. Sekarang saja ia bingung bagaimana menghabiskan burger besar ini. Menggigitnya saja butuh perjuangan. Haish. Tidak pernah menyangka pada awalnya seorang most wanted boy kaya Denzel gitu lebih menyukai Reina yang sederhana. Meskipun Mais sangat iri dengan semua yang ada di diri Reina.

"Apa aja yang Reina ceritain ke kamu?" Denzel mulai membuka percakapan. Jangan salahkan ia. Salahkan penyakit kepo akutnya.

"Mbak Rei bilang dia sayang banget sama Pak Denzel. Sama semua apapun yang ada di diri pak Denzel. Meskipun kadang Pak Denzel kaya anak kecil,"

Sialan. Denzel merasakan pipinya memanas hingga ke telinga. Oh memalukan! Ia blushing.

"Terus dia bilang apa lagi?" Denzel mengulum senyumnya.

"Gak ada. Saya jarang interaksi sama dia sekarang. You know? Dia sering hang out sekarang sama Alvin," Denzel mengangguk setuju membenarkan.

"Dia dimana sekarang? Menuju kesini?" Mais mengunyah hamburgernya. Ya tuhan bahkan setengah saja tidak ada.

"Nggak. Dia lagi di bandara sekarang."

Denzel mengernyit. "Bandara mana?"

Mais mengusap wajahnya. "Soekarno hatta tentunya. Anda ini bodoh atau apa,"

Denzel mencebik. "Ada urusan apa dia kesana? Sama siapa? Seneng banget sih bikin khawatir."

"Nganterin Alvin. Dia mau balik ke Hapan. Mereka mau nikah,"

Denzel nyaris menyemburkan black coffee nya jika saja tidak ia telan terlebih dahulu.

"APA?! NIKAH?! LAH DIAKAN PACAR GUE!" Denzel berteriak. Untung sepi. "Dari kapan?"

"30 minutes ago."

"Saya gak punya waktu banyak. Ini uang buat kamu. Terserah mau kamu beliin apa." Denzel memakai jasnya cepat "makanan sama minumnya udah saya bayar. Makasih informasinya,"

Mais tertawa ngakak. Mohon maafkan kelakuannya yang mengerjai bos-nya sendiri. Kali-kali gak papa kan? Terselip rasa bersalah memang apalagi Denzel sudah memberinya beberapa lembar uang yang tidak sedikit. Ia akan minta maaf. Nanti. Lagipula Mais tak tega kalau Reina dicuekkin Denzel dan berubah murung.

Reina mendesah pasrah di pelukan Alvin. Boleh berharap Alvin menikahnya disini gak sih? Kalo kangen kan gampang. Kalo di Japan? Oh ayolah itu butuh waktu. Tidak ada lagi Alvin yang akan menemaninya saat ia galau. Tidak ada. Huft.

Alvin terkekeh geli. Manja sekali Reina ini. Kenapa tidak semanja ini pada Denzel dan malah Denzel yang berlaku seperti itu.

"Jangan ketawa Alvin. Bahagia banget sih mau ninggalin aku. Nikah di Jakarta aja apa. Akira juga pasti setuju," Alvin mengetatkan pelukannya.

"Gak bisa sayang. Semuanya udah aku urus di Japan. Tinggal kamu mau dateng atau engga," kali ini Alvin yang cemberut.

"Oke aku dateng. Masih seminggu lagi. Gak masalah. Puas?" Reina mendengus.

"Puas. Lebih puas lagi kalo kamu cepet-cepet nyusul aku," Alvin menggendong Reina di punggungnya. Untuk berjalan-jalan. Bosan.

"Ck. Aku kan cuma nunggu dilamar abangku sayang gak pulang-pulang," Reina menjitak gemas kepala Alvin.

ChildishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang