Keempatbelas

9.5K 510 0
                                    

Mais menghela nafasnya entah keberapa kali. Tubuhnya melemas. Keringat dingin bahkan mengalir di wajahnya. Ia menarik nafasnya lalu membuka knop pintu atasannya. Tadi Denzel memanggilnya. Yang jelas suaranya terdengar mengerikan. Ia takut akan terjadi hal buruk. Di pecat gitu misalnya.

Ruangan ber-ac tersebut tidak membawa hasil apapun. Tempat ini malah terlihat seperti neraka. Ia duduk saat Denzel menggedikkan dagunya pada kursi dihadapannya. Denzel menatap Mais dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuat roh Mais seakan terlepas dari tubuhnya. Denzel mengambil black coffee nya kemudian menyesapnya pelan. Ia menyumpal mulutnya dengan minuman agar mulutnya tidak tertawa karena ekspresi ketakutan mais.

"Kamu tau apa penyebab kamu dipanggil kesini?" Denzel berdiri. Mengambil berkas lalu terkekeh sejenak tanpa suara.

Mais menggeleng dan menatap ngeri berkas di tangan Denzel. Berkas apa? Surat pemecatan?

"Saya minta kamu jadi mata-mata saya," Mais membelalakan matanya.

"Emangnya boleh ya pak? Bukannya dosa kalo mata-matain musuh biar kita menang tender," Denzel mengetukkan pulpennya ke kening lebar Mais.

"Mata-matain Reina maksud saya," Mais mengangguk-angguk sambil berkata 'oh'.

"Jadi saya harus buntutin dia kemana aja. Berarti toilet juga?" Denzel menggeram kesal. Kenapa ia baru sadar punya bawahan bodoh seperti ini.

"Bukan. Maksud saya mata-matain disini itu kaya hmm," Denzel mendongakkan wajahnya. "Misalnya dia cerita sesuatu. Apapun itu kamu harus kasih tau ke saya. Soal ngebuntutin itu urusan anak buah saya yang lain. Ngerti?"

Mais mengangguk. "Oke. Serahin sama saya pak,"

Denzel langsung menjabat tangan mais. "Jangan lupa semuanya ya. Atau saya depak kamu dari sini,"

Mais bergidik ngeri lalu pamit untuk kembali ke asal. Atasannya bikin gila. Benar ya cinta itu butuh pengorbanan. Saking cintanya Denzel sama Reina. Pria itu sampai mengorbankan dirinya. Suruh jadi mata-mata pula.

Mais berjalan sedikit kesal. Mulutnya juga tidak berhenti mendumal. Ia tersentak saat bahunya menyenggol seseorang. Ia menoleh. Berniat minta maaf karena matanya kelayapan dan menabrak.

"Ah Mai aku minta maaf. Buru-buru soalnya," Mais mengangguk. Lalu membiarkan Reina melangkah pergi.

Eh tunggu. Ia harusnya menanyai Reina mau kemana. Duh mata-mata macem apa sih.

"Mbak Rei mau kemana?" teriak Mais dan bagusnya terdengar oleh Reina.

"Mau ketemu Alvin dulu. Bye," Reina melambaikan tangannya kemudian berlalu. Mais langsung mengambil langkah seribu menuju ruangan atasannya.

Denzel nyaris terjungkal saat Mais tiba-tiba datang. Ia memicingkan matanya pada Mais yang kurang ajar. Ia menetralkan detak jantungnya yang lari marathon karena kaget.

"Tadi saya ketemu Mbak Rei. Katanya dia mau ketemu Alvin," Mais memegang pinggangnya. Tiap hari kaya gini bisa kurus nih.

Denzel terdiam. Dengan cekatan ia mengambil ponselnya. Ada sebelas panggilan tak terjawab dari Reina semua. Ia tersenyum tipis. Mungkin tadi gadisnya ingin meminta izin. Denzel langsung menelfon balik Reina untuk menanyakan keadaannya, dimana, sama siapa, ngapain dan pokoknya banyaklah tak lupa juga untuk memberi kabar anak buahnya untuk memata-matai kekasih kesayangannya.

••••

Alvin mengamit lembut tangan Reina. Mengitari seluk-beluk ibu kota yang padat merayap. Bahkan sesekali Alvin menggendong Reina agar gadis itu tidak kelelahan. Hanya Reina yang bisa melepas penatnya dengan tingkah ceria gadis itu. Dering telfon Reina berbunyi. Dengan perlahan Alvin menurunkan Reina.

ChildishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang