Reina menghela nafas. Pipinya masih terasa sakit meskipun hanya dibuat tersenyum. Namun di satu sisi ia mendesah lega. Laporannya sudah selesai dan tinggal di taruh ke meja Denzel. Biasanya tidak sesulit ini. Tetapi entah kenapa kakinya merasa enggan untuk mengunjungi ruangan itu. Ia hanya belum siap dengan semuanya.
Semuanya yang bukan seperti dulu lagi. Bahkan lihat sekarang. Ia baru menyadari kalau rekannya bukan lagi salsa. Ia satu ruang dengan wanita cukup cantik. Mungkin ia akan tanya namanya nanti.
Ia bangkit. Membenarkan rok lipitnya yang sedikit kusut. Ia menghela nafas beratnya lagi. Mau tak mau ia harus menyerahkan laporan yang ada di genggamannya. Ia melangkah ragu. Mencoba memasang senyum manisnya.
"Kalau kamu mau cari Salsa dia satu ruangan denganku."
Reina menoleh. Menatap pria berkacamata tebal yang tengah melambaikan tangan padanya. Ia mengangguk dan mengucapkan 'terima kasih' tanpa suara. Tanpa sadar kakinya sudah menghentikan langkahnya dihadapan pintu bertuliskan 'Direktur utama' ia menarik nafas. Lalu mengetuk pelan pintu yang terbuat dari kaca buram itu.
"Masuk."
Suara tegas Denzel memenuhi rongga telinganya membuat tubuhnya kaku. Ia memegang knop dengan erat. Dengan sekali sentakan ia membuka pintu itu.
"Laporan gue udah selesai. Lo tinggal tanda tangan deh."
Reina menaruh laporannya diatas meja. Mencoba bersikap seperti biasanya.
"Biasakan diri anda untuk bersikap sopan kepada atasan. Ini kantor. Jadi bersikap sewajarnya jika dikantor. Jangan lupa gunakan bahasa formalmu, nona." ujar Denzel dingin tanpa menatapnya.
Reina tersenyum kecut. Persekian detik kemudian ia sadar. Ia merindukan Denzelnya yang dulu.
Ia membungkukkan tubuhnya.
"Maaf pak. Saya kembali keruangan saya dulu. Terima kasih."Reina berjalan. Sedikit berlari lebih tepatnya. Ia hanya ingin cepat-cepat kembali keruangannya. Itu saja. Ia membiarkan semua orang menatapnya bingung. Ia tidak peduli. Yang penting adalah keselamatan hatinya yang mulai rapuh.
Ia duduk kasar diatas kursinya. Menangkup wajahnya. Sesak sekali sih. Setaunya ruangan ini cukup besar tetapi kenapa ruangan ini seaakan menghimpit tubuh mungilnya.
"Mbak Rei kenapa?" Suara melengking itu membuat Reina menoleh. Dia adalah wanita yang duduk satu ruangan dengannya.
"Ah aku gak papa eung-
"Nama saya Mais mbak."
Reina tersenyum.
"Oh salam kenal ya. Maaf aku gak tau soal kamu.""Iya mbak gak papa. Mbak beneran oke? Kusut banget muka mbak."
"Ya aku oke. Makasih buat perhatiannya loh."
Mais tertawa seraya mengacungkan ibu jarinya. Logat jawa yang kental membuat Mais mempunyai ciri khas.
••••
Denzel menopang tubuhnya di samping mobil miliknya. Ia menunggu Salsa. Ia akan mengajak Salsa menemui ibunya. Hanya ibunya dulu. Ayahnya tidak akan sempat kalau ia suruh untuk pulang kesini. Ia menatap jam tangannya. Sudah satu jam ia berdiri disini. Ia tersenyum Biasanya Reina tidak akan pernah membiarkan dirinya menunggu. Ah apasih.
"Zel." ia menoleh. Ia mendapati salsa yang sedang berlari kecil ke arahnya.
Ia merentangkan tangannya seraya tersenyum. Dengan cepat salsa menyembunyikan dirinya di tubuh bidang Denzel yang hangat. Persekian detik kemudian Denzel sadar. Pelukan Salsa tidak senyaman pelukan Reina.
Denzel mengamit lembut tangan Salsa. Ia dapat merasakan tangan Salsa berubah dingin. Ia tersenyum lalu mengecup kening Salsa. Mengisyaratkan 'semua bakal baik-baik aja'. Denzel membuka pintu rumahnya. Seperti biasa. Ibunya sedang duduk tenang seraya minum teh.
"Bu," panggil Denzel.
Wanita itu menoleh dan tersenyum senang. Dengan semangat wanita itu menghampiri Denzel. Senyum itu perlahan sedikit pudar. Gadis itu bukan Reina.
"Bu ini salsa. Pacar aku." ibu melia tersentak dan menatap Denzel tak percaya. Dengan canggung Salsa mengecup punggung tangan Ibu Melia.
Ibu melia tersenyum. Tersenyum paksa agar tak menyakiti anak tampannya.
"Cantik. Ayo masuk."Denzel menyuruh Salsa duduk sebentar di sofa. Ia rasa ia butuh bicara dengan ibunya. Ia berlari kecil menaiki tangga lalu masuk ke kamar ibunya. Terlihat ibunya sedang memakai bedak tabur di depan kaca rias.
"Bu, aku mau ngomong" Ibu Melia tersenyum.
"Yaudah ngomong. Kamu aneh deh."
Denzel menghela nafas.
"Ibu gak suka ya sama Salsa?"Wanita paruh baya itu menghampiri Denzel lalu mengusap puncak kepalanya.
"Apapun yang kamu suka ibu juga suka. Apapun yang kamu pilih ibu akan selalu dukung kamu. Tapi ibu cuma kurang nyaman sama Salsa."
Ibu melia menarik nafas." Awalnya ibu kira itu karena Salsa baru pertama kali kesini. Ternyata bukan. Soalnya dulu waktu awal Reina kesini ibu langsung nyaman. Tapi semua yang ngejalanin kan kamu. Ibu cuma dukung aja."
Denzel menangguk lalu mengecup sekilas pipi ibunya. Ia pun melangkah untuk menemani Salsa dibawah. Ibu melia tersenyum menatap kepergian Denzel. Anaknya sudah dewasa. Ia merebahkan dirinya yang tak lagi muda. Ia menatap langit-langit kamarnya. Bernostalgia tentang pertama kali pertemuannya dengan Reina.
Gadis itu mengecup punggung tangannya lalu memeluknya erat. Ibu melia tertawa mengingat itu. Dan ia ingat betul bahwa itu adalah kali pertama denzel membawa seorang gadis kerumah. Ia kembali tersenyum saat Reina dengan sabar meladeni dan mengurus putranya yang kekanak-kanakan saat putra tampannya tidak berada dekat dengannya. Ia memejamkan matanya. Hati kecilnya berdoa semoga Reina yang mendampingi anaknya dan mengandung cucu-cucunya.
••••
Reina duduk tenang di sofa. Ia di ajak ke rumah Mais yang ternyata tidak jauh dari rumah Denzel. Sambil menyelam minum air kan hehehe. Ternyata mais ini ibu rumah tangga dengan dua anak yang cantik dan ganteng. Jadi tidak sabar ingin menyusul. Eh
"Mbak Rei ini di minum dulu" mais membawa dua cangkir teh hangat untuknya dan untuk Reina. Diikuti dua anak imutnya.
"Makasih loh Mai. Akunya jadi ngerepotin kamu"
"Ah Mbak Rei kok ngomongnya gitu"
Reina tersentak saat kedua anak kecil mungil itu duduk di sebelahnya.
"Nama kamu siapa deh kok lucu
""Atu Delvian talo adek atu Lala" Reina tertawa saat melihat gadis mungil itu cemberut.
"Delvian sama Rara. Rara paling gak suka kalo kakaknya salah nyebut namanya." Reina mengangguk. Jadi ini yang bikin Rara ngambek.
"Ante antik sili namana siapa?" Tanya Delvian.
"Reina." ia mengusap pipi mungil dua anak kecil itu. Aduh naluri keibuannya tidak bisa diajak kompromi.
"Mbak Rei udah pas loh jadi ibu. Kapan nikah sama Pak Denzel?" Reina melongo menatap Mais yang menaik turunkan alisnya.
"Apasih. Aku cuma sahabatan sama Denzel. Gosip mulu." reina tertawa meskipun sekarang rona pipinya sudah menjalar sampai telinga.
Reina memilih pamit daripada di ceng-cengin Mais kaya tadi. Bisa-bisa mati malu. Ia memejamkan matanya. Obrolannya tadi seakan membuatnya lupa bahwa hubungannya dan Denzel tidak seperti dulu lagi. Namun kesendirian saat ini membuatnya mengingat hal pait. Harusnya ia lebih memilih menikmati bermain bersama Delvian dan Rara. Kata-kata Mais terngiang sekilas. Apa iya perempuan grasak-grusuk dan asal-asalan kaya dirinya sudah siap menjadi ibu?. Jujur ia sangat ingin namun ah sudahlah lebih baik ia mencari taksi dan segera pulang. Sepertinya akan hujan.
***
Part delapan selesai wkwk. Makin absurd sih emang tapi ya sudahlah.
Eh part kemaren banyak typo ya?-_- sorry ya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Childish
Fiksi RemajaAda yang pernah bilang. "seseorang yang tidak ada hubungan darah denganmu tapi dia dekat denganmu kemungkinan besar dia jodohmu" semoga saja