Pertama

29.4K 919 9
                                    

Titik-titik air hujan di kaca kafe mengalir menelusuri permukaan licin kaca tersebut. Pria itu mengeratkan tuxedonya. Dingin. Dingin yang begitu menusuk hingga tulang rusuknya. Matanya menatap hiruk-pikuk di sudut ibu kota meskipun pandangannya terhalang kaca buram.

Jalanannya cukup padat. Pengendara itu berebut tak perduli bahwa tubuhnya sudah basah. Suara deritan kursi dihadapannya menginterupsi. Membuatnya langsung menoleh. Ia tersenyum. Tangannya mengambil satu gelas black coffee. Meniup-niup genangan(?) air hitam di cangkirnya. Membiarkan gumpalan asap dari gelasnya menerpa wajahnya.

"Dingin zel?" Denzel menggeleng. Namun gadis itu bangkit dan memakaikan sweater hangat miliknya ke tubuh Denzel.

"Gue gak kedinginan Rei." Denzel mengerucutkan bibirnya.

"Eh oncom. Berapa lama gue sahabatan sama lo." Reina bersidekap dada. Menunjukkan bahwa ia paling tau tentang pria dihadapannya.

Denzel terkekeh. Benar. Reina dan dirinya sudah bersahabat sejak lama. Bahkan ibunya dengan enteng bicara pada Reina untuk menjaganya hingga ia menemukan pendamping hidupnya. Ya kemungkinan besar ibunya menginginkan reina yang jadi pendamping hidupnya.

Ia tau ini sangat terbalik. Namun mau bagaimana lagi sifatnya yang agak kanak-kanak dan manja itu terpaksa membuatnya seperti ini. Hanya pada orang tertentu ia menunjukan sikap aslinya. Lagipula tak ada tempat ternyaman selain ibunya dan reina.

"Eh taro." pekik Reina saat Denzel mengangakan mulutnya dan ingin memasukkan nasi goreng miliknya.

"Ini ada udangnya. Lo alergi udang!" Denzel mencebik. Benar-benar duplikat ibunya.

"Bawel." ujar Denzel. Ia lebih memilih mengambil garpu dan mulai menggulung-gulung spagettinya. Ia sudah tak tahan sungguh. Perutnya sudah meronta-ronta minta diisi.

Reina menahan tawa melihat Denzel makan. Lahap sekali. Seperti orang tidak makan berapa hari. Ia tau Denzel lelah. Kau fikir menjadi direktur itu mudah? Duduk dengan setumpuk laporan. Mengoreksinya. Menanda tanganinya. Dan belum lagi meeting. Ia saja yang sebagai karyawannya kadang merasa tak sanggup.

"Dasar bocah." Reina mengusap sudut bibir pria itu dengan tisu.

Apapun yang dilakukan Reina. Ia tak pernah marah atau risih. Bukankah ia tadi bilang bahwa sifat gadis itu benar-benar duplikat ibunya.

"Ayo pulang." Denzel mengaitkan tangannya ke tangan Reina. Terkadang dengan usil mengayun-ayunkannya.

Bagi beberapa orang akan menatap mereka sebagai pasangan kekasih yang serasi. Padahal itu hanya sifat ngalem Denzel pada sahabatnya. Mereka masuk ke dalam mobil. Berada diluar terlalu buruk untuk kesehatan mereka. Apalagi saat ini musim penghujan.

Reina mengotak-atik tempat kaset Denzel. Siapa tau ia menemukan kaset lagu korea. Sebenarnya ia tidak mengerti sama sekali dengan apapun yang berbau korea. Ia hanya suka boybandnya saja. Karna menurutnya mereka itu imut dengan bibir pink merona.

"Nyari apaan?" Denzel yang sedari tadi mengemudi ternyata terusik juga.

"Kaset. Mau dengerin lagu." Reina berbicara tanpa mengalihkan pandangannya pada benda bundar yang tersusun rapi itu.

"Sini." Denzel merebut paksa tempat kasetnya dengan tangan kirinya.

"Eh! Tunjukkin aja yang mana jangan kaya gini ntar kita nabrak." Denzel tak menggubrisnya. Pria itu malah mengecup ringan pipi Reina.

"Diem." Reina terdiam. Sial. Jantungnya berdegup kencang. Menggedor-gedor benda yang menutupinya. Bahkan berdegup biadab.

Ini bukan pertama kalinya pria itu melakukannya. Tapi setiap Denzel melakukannya membuat dirinya seperti ini. Pipinya bersemu. Semakin lama semakin memerah. Bahkan ia tidak menyadari bahwa Denzel telah memutar lagu. Lagu you and i - secondhand serenade.

"Rei lo sakit?" Denzel menatap gadis itu sekilas. Namun ia harus tetap fokus ke jalan.

"Enggak. Kenapa?" Reina kembali menahan nafas saat punggung tangan kiri Denzel berada di kening, pipi dan terakhir di tengkuknya.

"Kaga panas sih. Tapi muka lo merah. Ambil sweater lo. Pake terusan." Reina mengangguk. Lihatkan pria ini punya sisi dewasa yang membuat jantungnya meluruh ke perut. Dia selalu over. Kalau bertingkah anak-anak ya anak-anak banget. Kalau dewasa ya dewasa banget. Dia seperti cuaca. Berubah-ubah.

"L-lo mau mampir dulu atau langsung pulang?" tanya Reina. Setidaknya ia bisa menutupi-sedikit- kegugupannya.

"Mampir. Pasti ada puding coklat!" mata elang biru laut itu berbinar. Memancarkan kilauan kilauan kecil menghanyutkan. Bagaikan lautan yang disinari mentari.

Denzel sudah memakir mobilnya tepat di basement. Tangan kekar Denzel merangkul bahu mungil Reina. Angin berhembus ringan. Menerbangkan anak rambut pria tampan dengan potongan rambut pompadour tersebut.

Tangan Reina terjulur ke depan. Bermaksud ingin menekan beberapa digit nomor untuk membuka pintu apartement nya.

"Biar gue aja." Denzel mengambil alih dengan cekatan ia menekan digit nomor itu. Mungkin sudah sangat menginginkan sang puding coklat.

"Ambil pudingnya sesuka lo." pria itu menaikturunkan tangannya yang terkepal seraya berkata 'yes' berulang-ulang.

Reina tersentak saat stok puding coklat nya dibawa semua oleh Denzel. Ia tersenyum. Dasar anak kecil, gumamnya dalam hati. Ia tau bahwa ia yang anak kecil. Karena ia hanya setinggi pundak Denzel.

"Eh buset. Kuat lo makan segitu banyak? Ntar sakit perut loh." Denzel hanya menggeleng seraya mengibas-ngibaskan tangannya. Mulutnya penuh. Matanya terbelalak. Mengisyaratkan 'enggak bakal kok. Tenang'

Reina mendecih. Tangannya mengganti channel televisinya. Oh lihat film kesukaannya dan Denzel telah mulai. Film seorang anak yang memiliki rubah ekor sembilan yang di segel dalam tubuhnya. Film naruto. Film kocak yang mengajarkan banyak makna. Mengajarkan kita tentang pentingnya sebuah pertemanan. Mengajarkan jika hidup sendiri bukanlah akhir. Dan ah masih banyak lagi.

"Rei gue mau balik." Reina mengangguk.

"Perlu dianterin gak ke basement?" Denzel menggeleng seraya tersenyum.

"Besok gue jemput. Jangan pergi sendiri. Denger nona?"

"Anak kecil gak usah sok ngatur deh." Denzel memutar bola matanya malas. Di beri perhatian kok gitu.

Reina terkekeh. "Oke oke,"

Ia menepuk-nepuk pinggiran tuxedo Denzel yang agak kusut."jadi anak yang baik sama ibu lo." lanjut Reina.

Denzel mengangguk. Ia pun meninggalkan Reina setelah ia mencium sekilas pipi gadis itu. Reina meneguk liurnya susah payah. Degupan kencang itu kembali mendobrak dadanya. Pipinya kembali bersemu. Ia rasa dekat-dekat dengan Denzel membuat kesehatan jantungnya buruk.

***

Btw gua masih pemula dah. Maap kalo absurd gitu. Sarannya ditunggu.

ChildishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang