Prolog

9.3K 213 3
                                    


Sudah satu jam gadis itu memandangi buku sketsa di hadapannya. Jemari mungilnya memainkan pensil dengan tatapan kosong tanpa sedikitpun berniat untuk mulai menggoreskannya. Terkadang ia menggigit ujung pensilnya, kebiasaannya kalau sedang berpikir atau sedang gelisah. Sesekali terdengar ia mengembuskan napas panjang dan mengeluarkannya dengan berat, berharap dengan melakukan itu semua beban di benaknya akan segera menguap. Kilasan percakapan dan permintaan Ayahnya bermain dalam ingatannya.

"Rin, apa kamu sayang sama Papa?" tanya Ayahnya lembut.

Gadis yang dipanggil Rin itu menatap Ayahnya lekat-lekat, "Tentu saja aku sangat menyayangi Papa, kenapa Papa menanyakan itu?"

Gadis itu memeluk ayahnya dengan manja, ia bisa merasakan belaian lembut tangan keriput itu menyentuh kepalanya, satu hal yang sangat disukainya dan selalu membuatnya nyaman. Ayahnya menghela napas pelan, dan gadis itu paham kebiasaan ayahnya saat beliau sedang memikirkan sesuatu yang merisaukan hatinya.

"Ada apa, Pa? Apa ada yang mengganggu pikiran Papa?"

Ayahnya mengangguk perlahan, "Papa memikirkanmu, sayang."

"Memikirkanku? Ada apa denganku?" tanya Rin heran.

"Papa memikirkan orang yang akan mendampingi dan menjagamu kalau Papa sudah tiada nanti," jawabnya sendu.

Barulah Rin paham arah pembicaraan Ayahnya itu. Sesuatu yang selalu diungkitnya belakangan ini setiap ia pulang ke rumah. "Sudah kubilang kalau Papa akan panjang umur, lagipula ada Kak Davian yang akan menjagaku. Aku sudah dewasa, Pa, aku bisa menjaga diriku sendiri. Papa tidak usah khawatir."

"Justru karena kau sudah dewasa, Papa ingin melihatmu menikah. Papa ingin punya cucu darimu karena Davian terlalu sibuk mengurus bisnisnya di Berlin. Menikahlah, Rin, Papa sudah menyiapkan pria yang cocok untukmu."

Rin terbelalak, tidak menyangka kalau Ayahnya sudah bertindak sejauh itu. "Maafkan aku, Pa. aku benar-benar tidak bisa. Besok aku akan kembali ke Paris, jaga diri Papa baik-baik. Aku menyayangimu, Pa."

Rin mengecup kedua belah pipi Ayahnya dengan pelan lalu beranjak keluar dari kediaman Alexander Origa, Ayahnya. Meninggalkan pria renta itu dengan kekecewaannya.

"Maafkan aku, Pa, aku masih belum bisa melupakannya," desis Rin dengan mata berkaca-kaca.

Ketukan di pintu kantornya mengembalikan gadis itu dalam kesadaran. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu makan siang dan melirik kertasnya yang masih kosong. Sudah cukup lama ternyata ia melamun.

"Masuk," titahnya singkat.

Seorang gadis yang sudah beberapa tahun ini jadi sahabat sekaligus asistennya itu masuk dengan wajah gusar. Rambut pirang keemasannya dibiarkan tergerai begitu saja mengimbangi wajah putih pucatnya.

"Ada apa, Grace?" tanya Rin heran melihat gadis yang biasanya ceria itu begitu gelisah.

"Ada telepon dari Dr. Hendri, beliau bilang Ayahmu sakit, Rin."

Rin tahu siapa Dr. Hendri, beliau adalah dokter pribadi Ayahnya dan ia sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. "Terima kasih, Grace."

"Hmm, kusarankan kau mengikuti permintaan Ayahmu, Marina. Aku berkata seperti ini bukan sebagai asistenmu, tapi sebagai sahabatmu. Karena aku tahu rasanya kehilangan seorang ayah sebelum aku bisa membahagiakannya, dan aku sangat menyesal. Semoga kau tidak mengalami apa yang aku alami, pikirkanlah. Aku akan menyiapkan tiket kepulanganmu sore ini juga," setelah berkata seperti itu, Grace keluar tanpa menunggu jawaban Marina. Begitulah Grace, ia selalu tahu apa yang harus dilakukannya tanpa harus banyak bertanya.

Sepeninggal gadis itu, Rin masih memikirkan kata-katanya. Semua yang dikatakan Grace memang benar, sudah saatnya ia berhenti memikirkan dirinya sendiri. Ia harus bisa membahagiakan Ayahnya, seperti beliau mengerahkan seluruh waktu dan tenaga untuk mengurusnya dan Kak Davian sendirian, sejak Ibunya meninggal saat usia Rin masih 5 tahun. Tiba-tiba setetes butiran bening mengalir di sudut matanya.

"Aku akan pulang, Papa, bertahanlah untukku."

Siapa yang tidak mengenal Mario Alexander Forbs? Putra tunggal dari salah satu pengusaha terkaya di Indonesia, Alexander Forbs. Pemuda yang mempunyai segudang prestasi di dunia modelling dan entertaint. Pemuda tampan yang dielu-elukan sebagai model dan aktor papan atas yang mulai melebarkan sayapnya ke kancah go internasional. Wajahnya seringkali muncul di layar kaca, layar perak maupun mondar mandir di catwalk peragaan busana dunia. Pemuda yang sering dijuluki Cassanova atau Don Juan dari Indonesia itu karena kebiasaan buruknya yang seringkali berganti pasangan seperti berganti baju. Tapi, para wanita seolah tidak pernah berhenti untuk selalu mengejar dan mendekatinya. Ada saja wanita yang menggelayut di tangannya meskipun mereka sadar akan dicampakkan oleh pria itu setelahnya.

"MARIOOO!!!" teriakan di ponselnya membuat Mario harus menjauhkan benda berbahaya itu dari telinganya dengan jengah.

"Dad, bisakah kau berhenti berteriak setiap kali meneleponku? Aku tidak mau mengalami gangguan pendengaran diusia muda!" bentak Rio tidak kalah keras.

"Sejak kapan kau berani membentak Ayahmu, hah?!" suara Ayahnya terdengar geram di seberang sana.

"Sejak Daddy selalu berteriak padaku!" Rio hampir membanting smartphonenya kalau saja ia tidak ingat, ia baru saja membeli benda pintar keluaran terbaru itu dengan harga yang lumayan mahal.

"Berhentilah bermain-main, Mario! Ada yang mau Daddy bicarakan, cepat pulang dan jangan membantah. Atau Daddy akan menyeretmu sekarang juga," ancam Ayahnya tegas.

"Aku tidak sedang bermain, Dad, aku sedang syuting," bantah Rio ketus.

"Daddy tidak peduli! Selama kau tidak bekerja di kantor Daddy, maka selamanya Daddy akan menganggapmu bermain-main. Satu jam lagi di rumah, kalau kau terlambat atau tidak datang, maka Daddy pastikan rekaman Mario k-pop girl-mu akan tersebar ke media. Ingat itu!" tuuuttt... sambungan terputus.

Mario mengerang frustasi, video itu merekam Mario yang sedang berdansa ala Girls Generation lengkap dengan kostum dan aksesories yang dipakainya menyerupai gadis-gadis nan cantik dari Korea tersebut. Bisa dibayangkan betapa memalukannya seorang Mario Alexander berdandan seperti banci dari Taman Lawang. Ia menyesal mengikuti taruhan dengan Ayahnya yang menyebabkan ia kalah dan diharuskan berbuat seperti itu, sekarang ia sadar, Ayahnya sudah menjebaknya.

"Aarrrgghhh!!!" jeritnya menyesali kebodohannya.

Para kru dan pemain yang berada di tempat syuting tersebut menatapnya khawatir, terlebih ketika dilihatnya pria itu mengambil jaketnya dan berlalu meninggalkan lokasi syuting yang baru setengah jalan. Biasanya ia orang yang sangat disiplin dan tidak akan meninggalkan pekerjaan yang belum selesai, tapi hari ini pengecualian. Ia sudah tidak mood syuting hari ini karena reputasinya sedang dipertaruhkan.

"Aku akan membalasmu, Dad, tunggu saja!"

oOo



Trapped in Wedding (Wedding Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang