Marina PoV
Ini sudah beberapa hari dan aku masih belum bisa melepaskan diriku dari rasa bersalah yang membebaniku. Aku harus minta maaf!
Tapi, aku tidak mungkin datang ke lokasi syutingnya dan meminta maaf begitu saja, kan? Mau ditaruh di mana mukaku kalau media sampai tahu seorang Marina Alexandra mengejar-ngejar Mario Alexander sampai ke lokasi syuting?
Atau ... aku datang saja ke rumahnya? Mungkin kalau di rumahnya bisa jadi lebih privasi dan reputasiku akan aman. Hei, aku bahkan tidak tahu alamatnya! Arrgghhh... Kuacak rambutku frustasi.
Belum pernah aku merasakan seperti ini sebelumnya. Kenapa aku bisa bertindak kekanakkan seperti itu? Seharusnya aku berterima kasih pada Mario, bukannya malah memarahinya dengan kata-kata kasar. Di mana akal sehatmu, Marina Alexandra?!
Sebaiknya aku meneleponnya saja untuk meminta maaf. Aha... Kenapa aku tidak berpikir kesitu sejak tadi? Tapi, darimana aku bisa mendapatkan nomor ponselnya?
Sebuah derum mobil yang sudah sangat kuhapal terdengar memasuki halaman depan rumah. Papa! Ya, Papa pasti punya nomor teleponnya. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan berlari menuju ruang tamu.
"Papa!" panggilku dengan nada manja.
Papa yang baru masuk rumah terlihat mengerutkan keningnya. "Hei, ada apa dengan puteri Papa? Tumben sekali kau merajuk seperti ini? Sudah jam makan siang dan kau sama sekali belum mandi? Luar biasa!"
Aku segera menghambur ke pelukan Papa tanpa mempedulikan keheranannya. Aku sudah tidak kuat menanggung rasa bersalah ini lebih lama lagi.
"Papa, apa Papa pernah bertemu Rio lagi setelah kejadian di peternakan waktu itu?" tanyaku hati-hati.
Papa menggeleng pelan, "Tidak. Papa tidak pernah bertemu dengannya lagi. Ada apa kau menanyakannya?"
"Apa Papa punya nomor ponselnya?"
"Tentu saja," jawabnya singkat lalu Papa terlihat terkejut dengan pemikirannya sendiri. "Wow, apa kau merindukannya? Sejak kapan puteri Papa jadi agresif seperti ini?" goda Papa sambil terkekeh, sementara aku hanya mencibir diam-diam.
Dalam sekejap, Papa sudah mengeluarkan smartphonenya dan mengotak-atiknya sebentar. "Papa sudah mengirimkan nomornya ke ponselmu."
"Terima kasih, Papa," aku mencium kedua pipi Papa sekilas dan segera naik kembali ke kamarku. Aku masih bisa mendengar tawa geli Papa sebelum aku masuk ke kamar. Tak apalah aku disebut agresif, yang penting aku dapat nomornya.
Aku berharap-harap cemas menanti sambungan telepon ini tersambung. Namun yang selalu kudengar adalah suara operator yang menyebalkan. Nomornya tidak aktif! Setelah aku melalui fase memalukan dengan Papa, sekarang aku hanya berhadapan dengan operator. What the hell!
Oh iya, sebentar lagi aku ada janji dengan Tante Emma untuk membicarakan lebih lanjut tentang desainku. Sebaiknya aku segera bersiap-siap.
-
"Jadi, Tante setuju dengan desainku?"
"Ya, Tante sangat suka dengan semua desainmu. Sangat fresh dan elegan. Kau memang berbakat, sayang," puji Tante Emma tulus.
"Terima kasih, Tante."
Tiba-tiba dari fitting room muncul seorang pria yang sejak beberapa hari ini memenuhi kepalaku.
"Mario!" tanpa sadar aku menyerukan nama itu dengan cukup keras sehingga hampir semua orang menoleh kepadaku, tidak terkecuali dia.
Mario masih memandangku dingin dan tak tersentuh. Seolah tidak terpengaruh oleh panggilanku barusan, ia malah membalikkan tubuhnya dan berbicara pada seorang gadis di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped in Wedding (Wedding Series #1)
RomancePENGUMUMAN! CERITA SUDAH DITERBITKAN. SEBAGIAN ISI CERITA SUDAH DIHAPUS! :) Sinopsis Trapped in Wedding Berawal dari persahabatan kedua ayah mereka, Marina dan Mario harus menjalani sebuah perjodohan yang mereka tentang habis-habisan. Berbagai renca...