Bagian 4

11.2K 493 29
                                    

Suasana setengah mendung dan berada di bawah beberapa pohon rindang menyejukkan hati dan pikiran. Suasana tenang dengan angin sepoi - sepoi, sayang ini adalah kuburan. Jika saja bukan kuburan mungkin ini bisa menjadi tempat piknik yang menyenangkan.

Sherina Adiba Pratiwi
22 Agustus 1975 - 05 Desember 2015

Teta berjongkok dan berulang kali menciumi batu nisan di hadapannya, air mata terus mengalir saat dia membacakan doa untuk Bunda tercintanya. Rama, Rizta, Veni, Dimas dan Revan semua hadir di acara pemakaman ini. Semua merasakan kehilangan sosok Sherina. Terkecuali Diftan yang sama sekali tidak hadir di pemakaman itu.

"Sayang ayo kita pulang" ajak Rizta sembari memegang pundak mungil Teta. Teta menggeleng pelan

"Aku masih mau sama bunda tante"

Rizta menghela napas "Ingat kesehatanmu. Angin di sini cukup kencang tidak baik untuk jantungmu" ujar Rizta pelan.

"Apa guna kesehatanku tante? Kalau Bunda sudah gak sama aku lagi?" Teta menangis, Rizta menarik Teta ke dalam pelukannya mengusap punggung mungilmya perlahan. Rama berjongkok di hadapan Teta dan Rizta

"Apa kau tidak pikirkan ayahmu? Beliau masih bernapas, bersemangatlah agar ayah bisa selamat sayang" bujuk Rama

Teta menatap wajah sang kakek yang sudah berkeriput menunjukkan usianya yang sudah tidak muda lagi. Selain ayah dan bunda, dia memiliki seorang kakek yang menyayanginya. Perlahan Teta bangkit dan mengangguk

"Bunda aku pulang dulu, aku janji aku akan sering main ke sini. Teta sayang sama bunda" Teta meneteskan air matanya mengungkapkan betapa besar rasa duka yang dialaminya kini.

Setelah semua orang menjauh dari kuburan Sherina, seorang laki - laki mengenakan kemeja hitam, topi hitam, kaca mata hitam dan celana hitam berjalan mendekati kuburan yang masih basah itu. Berjongkok di sebelah makam itu, meraba pelan batu nisan yang bertuliskan nama lengkap Sherina. Sudut bibirny terangkat mengulas senyum tipis

"Kau membuatku dan mamaku terpisah, tak ku sangka Tuhan juga membuatmu dan putrimu terpisah untuk selamanya" ujarnya pelan

"Selamat tinggal, bunda!" Dia berdiri menatap makam itu mengenakan kembali kaca mata hitam. Seolah Sherina menyahuti ucapannya angin bertiup kencang. Dia tersenyum kemudian melangkah menjauhi makam Sherina.

*****
Teta terduduk sendirian menatap meja makan yang kosong. Air matanya mengalir membasahi pipinya, teringat senyum manis sang Bunda kepadanya. Menyapanya dan menyiapkan makan malam untuknya.

"Bunda..." panggilnya lirih

"Sayang ayo makan dulu"

"Aku gak lapar bunda!!"

"Kamu harus makan, duduk sini biar bunda yang suapin"

Teringat jelas di ingatan Teta bagaimana sang Bunda memanjakannya. Menyiapkan makanan untuknya, ayah dan kakaknya. Desahan pelan keluar dari bibir mungil Teta. Menutup mata rapat mencoba membayangkan sang Bunda membelai kepalanya dengan sayang. Umurnya kini baru 15 tahun dan dia sudah kehilangan sosok Bunda yang selalu menjaganya dengan baik.

"Aawww..."

"Tahan sedikit sayang"

"Tapi sakit bun.."

"Bunda bilang apa? Jangan lari - lari, beginikan jadinya. Jatuh dan kamu menangis? Sudah diam! Bunda akan mengobati lukamu"

Dada Teta serasa sesak mengingat sosok Bunda yang lemah lembut dan menjaganya dengan baik. Betapa ia rindu dekapan hangat sang Bunda. Bunda yang selalu ada di dekatnya. Bunda yang selalu menjaganya, melindunginya dan kini dia telah pergi.

"Bunda..."

Teta memejamkan matanya, merasakan pelukan hangat Sherina dengan hembusan angin yang entah dari mana datangnya. Teta menikmati tiupan angin lembut itu seolah Sherina sedang mendekap tubuh mungilnya dengan kasih sayang. Teta mungkin tidak bisa melihat wujud rupa sang Bunda tapi tentu sang Bunda akan selalu ada di dekatnya dan menjaganya setiap waktu.

"Kenapa kakak gak sayang sama aku Bun?"

"Kakak sayang sama kamu, cuma kakak lagi tidak terkontrol emosinya. Jangan dipikirkan ya sayang?"

"Tapi aku..."

"Ssstt.. Jangan menangis lagi, kamu jelek kalau nangis sayang. Putri bunda harus selalu tersenyum ya. Harus janji sama Bunda! Kamu juga ga boleh benci sama kakak kamu, dia adalah saudara kamu satu - satunya yang kamu miliki. Kamu paham?"

Air mata yang mengalir di pipi mulus Teta semakib turun membasahi pipi hingga bajunya. Teringat akan pesan Bundanya untuk selalu tersenyum, untuk selalu menyayangi sang kakak apapun yang terjadi. Perlahan mata coklat Teta terbuka. Menatap lurus ke arah depannya. Sedikit shock namun dia berusaha tenang. Setenang pria itu menatapnya

"Berduka karena kehilangan Bunda loe?" ujarnya ketus seolah tidak berperasaan sama sekali

"Kak, dia bunda kakak juga.."

"Sejak kapan? Gue sama dia ga ada hubungan darah! Dia bukan bunda gue!!"

Teta menghela napasnya pelan "Kakak sudah makan? Mau aku buatin makanan?" Dia sadar, Mulai saat sang Bunda pergi meninggalkan dia,dia harus mengambil alih pekerjaan sang Bunda. Terutama memasak. Harus menyiapkan makanan setidaknya untuk dia dan sang kakak

"Gue lebih milih makanan basi daripada makanan buatan loe!!" ujarnya keras. Teta menunduk dan menghela napas. Dirinya sedang berduka hebat setelah kehilangan sang Bunda dan rasanya tidak memiliki kekuatan lebih untuk mendengar kata memyakitkan dari sang kakak. Terasa remuk redam dan semakun hancur dengan tingkah polah kakaknya.

Diftan berjalan santai kearah Teta semakin dekat "Mulai saat ini hidup loe akan gue ubah sepenuhnya!!" Teta hanya menatap mata coklat tua sang kakak dengan sendu,mencoba menyalurkan kedukaan mendalam dari hatinya untuk dimengerti Diftan. Namun sia - sia,Diftan seperti robot tak punya hati yang tidak perduli bagaimana perasaan Teta kehilangan bundanya

"Loe tau? Gue umur 5 tahun dan gue harus terpisah dari emak gue, dan itu semua karena loe dan nyokap loe! Sadar loe? Ini balasan setimpal untuk kalian berdua!!" Teta masih diam, dia tak punya kekuaran untuk sekedar membalas ucapan Diftan rasanya sesak di dadanya.

Sesak di dada mendengar semua perkataan Diftan, dadanya berdebar hebat dan sedikit nyeri. Sesak itu semakin menyesakkan dadanya, sekuat tenaga dia berusaha bertahan namun tiba - tiba Teta melihat Diftan sedikit kabur, lama kelamaan menggelap dan

Bruk!!

Teta terjatuh ke lantai yang dingin, tubuhnya mengeluarkan begitu banyak keringat. Diftan sadar betul dengan kondisi adik tirinya yang memiliki lemah jantung. Diftan menggelengkan kepalanya perlahan. Lalu menendang lengan Teta

"Hei bocah, bangun loe!!" perintah Diftan. Teta masih tetap diam tak sadarkan diri. Diftan sekali lagi mendorong tubuh Teta dengan kakinya seolah tidak ingin menyentuh tubuh Teta.

"Bangun!!!" teriak Diftan sedikit keras, namun Teta tetap diam tak bergeming. Lama - lama Diftan merasa bosan lalu berjalan meninggalkan Teta yang tidak sadarkan diri

Tbc

Ada yg sadar gak? Part ini kepotong?? Enggk tau potongannya kemana, hilang begitu saja. Sebel! Aku baru baca ulang mau lanjut cerita ini, eh kok sedikit amat?
Perhatian ya! Kalau belum ada 3 huruf TBC di akhir cerita mungkin ini partnya kepotong atau bagaimana.
Terima kasihh

My love My Brother (END) 20+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang