Bagian 37

7.6K 315 17
                                    

Diftan Pov

Aku dan Teta sedang berdiri menanti kedatangan kedua orang tuaku yang tiba di Indonesia. Kami sengaja menjemputnya ke bandara. Sungguh rindu ini sudah tidak bisa di tahan lagi. Apa lagi Teta yang sudah bertahun - tahun tidak bertemu mereka.

Aku terus menggenggam erat tangan mungil wanita yang aku cintai. Aku tau cinta ini salah, tapi jangan salahkan aku dan Teta ataupun perasaan kami, salahkan keadaan yang tidak memihak pada kami.

Teta melepaskan genggaman tanganku membuatku menoleh bingung. Dia tersenyum lalu melangkah menjauhiku. Dia berjalan lurus. Aku memperhatikan kemana dia pergi. Dan senyum mengembang di pipiku.

Teta berjalan menghampiri Mama, Ayah dan tante Rizta. Mereka sudah saling berpelukan saja. Aku dengan langkah cepat segera menyusul mereka berdua.

Mama memelukku lalu membelai rambutku "Apa kabar sayang?" ujarnya. Wajahnya masih saja cantik walaupun sudah ada garis keriput dan rambutnya memutih.

"Baik mama. Bagaimana perjalanannya?" tanyaku. Dia hanya mengangguk. Aku melirik sekilas Teta sedang berpelukan manja dengan ayah yang duduk di kursi roda. Senyumku mengembang. Inilah keluarga yang aku inginkan.

Setelah Teta berpelukan kini giliran aku. Aku berjongkok di hadapan ayah. Ayah tersenyum kearahku. Ayahku ini memang sosok yang tampan dan gagah. Lihatlah, walaupun dia sudah menua tapi dia tetap mempesona

"Ayah.." panggilku dia tersenyum

"Lama sekali rasanya ayah tertidur ya? Ayah sekarang melihat kalian sudah pada dewasa" ujarnya aku tersenyum hangat

"Selamat datang kembali ayah, maafkan sikap aku dulu pada ayah. Sekarang aku akan jauh lebih baik membanggakan ayah dan mama" ujarku. Dia menganggukan kepalanya lalu mengelus rambutku sekilas dan menarikku kedalan pelukannya. Sudah berapa lama aku tidak mendapan pelukan hangat ayah? Sudah lama sekali. Aku selalu menolak jika ayah ingin memelukku, sejak mama pergi aku tidak mau ayah maupun bunda menyentuhku. Kalian tau kan kenapa?

"Sekarang ayo kita pulang" ajakku. Ayah dan Mama tersenyum tante Rizta juga

"Bisa mampir sebentar ke tempat Sherina?" tanya Ayah. Hm! Sudah lama tidak berkunjung ke sana. Aku juga belum menemui bunda untuk meminta maaf. Aku mengangguk mengiyakan keinginan ayah.

Di pemakaman

Aku menatap ayah dan Teta. Mereka terlihat sangat sedih begitupun dengan Tante Rizta. Teta dan Tante berjongkok di depan makam bunda. Sementara ayah masih di kursi rodanya. Aku dan mama berdiri di sekitar mereka. Kami melantunkan doa untuk bunda.

"Sherina, apa kabarmu?" ujar ayah yang seolah berbicara dengan bunda. Hening tak ada jawaban dari bunda.

"Aku sudah kembali ke Indonesia, maaf jika aku baru menemuimu sekarang. Aku tidak tau tentang keadaanmu yang sudah tenang disini" ujarnya. Suara ayah bergetar mungkin ayah sedang menangis. Aku melihat Mama mengelus pundak ayah mencoba menenangkan.

"Maafkan aku, semua salahku. Seandainya aku lebih berhati - hati saat menyetir, aku pasti tidak akan kehilanganmu"

"Sherina, saat aku membuka mata, aku tak lagi bisa melihatmu. Tentu aku merasa sangat kehilangan. Wanita yang sangat aku cintai. Maafkan aku Sherina"

"Aku banyak menyakitimu selama hidup, aku belum bisa membahagiakanmu, maafkan aku. Aku berjanji akan menjaga Teta dan Diftan dengan baik. Mereka anak kita"

"Percayalah, sampai ajal menjemputku dan mempertemukan kita, aku hanya akan selalu mencintaimu"

Aku melirik mama, tangannya sudah tidak lagi berada di pundak ayah. Pernyataan ayah yang mengatakan bahwa hanya mencintai bunda, mungkin melukai mama. Tentu saja, mama sangat berharap ayah membalas cintanya.

Aku merangkul mama, memberikan ketegaran. Dan dia tersenyum. Jujur saja, menurutku belajar itu yang susah bukan soal pelajaran matematika, atau fisika. Tapi pelajaran yang susah adalah tersenyum di saat hati kecewa.

Aku melihat ayah menyentuh nisan bunda, air mata terus menetes membasahi pipi ayah. Teta dan tante Rizta ikut menangis.

"Bunda.. Teta rindu bunda.. Teta selalu berdoa agar bunda bahagia dan tenang di sana. Teta sayang bunda" ujar wanitaku yang menangis pilu dalam rengkuhan tante Rizta. Aku mendesah pelan. Bagaimanapun juga bunda telah membesarkan aku dengan kasih sayang yang selalu aku tolak.

"Sherin.. Semoga kamu tenang di sana. Aku akan selalu menjaga dua buah hatimu dengan baik. Kamu sahabat terbaik yang aku miliki" giliran tante Rizta yang mengucap salam pada bunda.

Aku dan mama masih diam tanpa sepatah katapun. Hingga mereka selesai menyapa bunda.

"Ayo kita pulang" ajak ayah.

"Teta kamu ajak ayah ke mobil, mama mau menyapa bunda sebentar" ujar mama. Teta mengangguk dan mendorong kursi roda itu. Aku ingin pergi meninggalkan mama sendiri, tapi aku rasa aku juga belum menyapa bunda. Aku memberi kode pada Mereka bahwa aku akan di sini.

Aku menatap punggung mama yang bergetar saat menyentuh nisan bunda. Kesedihan yang mendalam. Dan terdengar suara parau mama

"Hai Sherin, apa kabar? Kamu pasti bahagia di sana?" ujar mama dengan suara lirih.

"Sherin, aku belum sempat mengucapkan terima kasih dan maaf" ujarnya lagi "Terima kasih karena mau menerimaku dalam kaluarga bahagiamu, menjadikan aku bagian dalam kebahagiaanmu, membagi suamimu, dan mau memaafkanku karena banyak kesalahanku" ujar mama. Aku hanya diam mendengarkan

"Aku pun berterima kasih karena kamu telah menjaga anakku dengan sangat baik" mama menghapus air mata yang menetes tiada henti membasahi pipinya

"Maaf aku telah menyakitimu, maaf aku telah banyak mengecewakanmu, maaf aku pernah berharap kamu lebih baik mati. Aku mintaa maaf. Tapi aku sadar, ada atau tidaknya kamu dalam kehidupan Lenno, kamu tetap tidak tergantikan. Dan aku? Akan tetap tidak nampak bagi Lenno. Dia hanya mencintaimu. Beruntunglah engkau Sherin. Dan maaf, aku betapa iri padamu" Mama tertawa pelan. Tapi aku yakin hatinya pedih

"Terima kasih dan maaf Sherina" mama bangkit dan membalikkan badan tersenyum kearahku lalu menepuk pundakku

"Sapalah bunda, mama ke mobil dulu" ujarnya. Aku menganggukan kepala dan berjalan menghampiri kuburan bunda. Berlutut di depannya.

"Bunda... Maafkan aku" ujarku pertama kali.

"Aku gak bisa berbakti sama bunda selama bunda masih ada, aku malah selalu mengecewakan bunda, menyakiti hati bunda" aku menangis! Ya, aku menangisi kepedihan yang tiba - tiba ada di hatiku. Aku merasa berdosa pada bunda.

"Bunda, terima kasih karena telah menjagaku dengan penuh kasih sayang, aku bahkan belum membalasnya. Aku terlalu lama sadar bunda, maafkan aku"

Aku menghela napas "Aku harap bunda di atas sana selalu menjagaku dan menyayangiku. Bunda bahagia di sana, dan Bunda mau memaafkan aku" aku tertawa sumbang

"Bunda, aku mau minta restu. Aku mencintai putri bunda. Adik kandungku sendiri. Aku tidak bisa menahan rasa cinta ini. Aku tau aku salah, tapi aku tidak bisa berbuat apa - apa untuk menghalanginya. Bunda maafkan aku, maafkan rasa terlarang ini" aku melantunkan doa terkahir untuk mengantar kepergian bunda. Bangkit dan membalikkan badanku.

"Teta?" aku terkejut karena adik kecilku ada di belakangku dengan senyum manisnya

"Apa bunda merestui hubungan kita? Hubungan terlarang kita?" aku membelai pipinya dan tersenyum

"Aku harap seperti itu. Kenapa kamu ke sini sayang? Apa sudah rindu padaku?"

Teta memukul lenganku "Kakak, aku mau minta seseuatu. Permintaan keduaku" ujarnya. Aku mengangguka. Kepala

"Tolong rahasiakan dulu hubungan kita sampai waktunya tiba. Aku tidak mau mama dan ayah shock dengan kabar ini"

"Apa? Tapi kakak gak bisa.. Kakak.."

"Tolonglah kak, sampai keadaan ayah lebih baik. Kita bicara baik - baik" aku menghela napas dan menyanggupi permintaannya. Aku mencium keningnya sekilas dan merangkulnya membawanya kembali ke mobil.

Tbc

My love My Brother (END) 20+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang