Chapter 6

6.2K 531 13
                                    

Akhirnya tibalah hari ini. Hari dimana aku akan benar-benar meninggalkan apapun yang pernah aku miliki. Meninggalkan keluarga yang aku cintai.

Apa aku siap? Tentu aku siap. Apapun yang terjadi aku harus siap. Namanya juga kematian. Siap atau tidak siap ya tetap harus siap. Benar, bukan?

Pada shubuh tadi, jasadku sudah dibawa pulang. Tanpa sepengetahuan para manusia, aku mengikuti mereka hingga tiba di rumah yang telah aku tempati selama ini. Telah banyak tenda yang dibangun di halaman rumahku yang luas. Hei, ralat! Halaman rumah keluargaku maksudnya. Ini bukan lagi menjadi rumahku. Sebentar lagi, aku akan menempati rumah baru yang aku sendiri tidak tahu seperti apa rumahku itu.

Orang-orang yang hadir juga sudah mulai banyak memenuhi kediaman keluargaku ini. Mulai dari tetangga hingga saudara-saudaraku yang bela-bela terbang jauh dari Paris, Sydney, London, dan lain sebagainya hanya untuk melayatku hingga ke tempat peristirahatanku yang terkahir nanti. Padahal biasanya mereka tidak akan repot-repot terbang jauh seperti itu ketika aku masih hidup. Mereka akan kemari kalau ada keperluan bisnis atau sesuatu yang penting saja walaupun aku sudah merengek seperti anak kecil agar mereka dapat datang ke Indonesia hanya untuk sekedar bermain-main saja denganku. Dan sekarang, akhirnya mereka menuruti kemauanku. Hanya saja dalam kondisi yang berbeda.

Sungguh. Aku sangat bahagia mereka datang kesini. Tapi, kenapa harus dalam keadaan yang seperti ini? Keadaan yang memaksaku untuk tidak dapat menjumpai mereka secara langsung? Ah, sudahlah. Bukankah tadi aku katakan bahwa aku telah siap? Oke. Hufth. Aku benar-benar harus siap sekarang. Aku siap.

Jasadku telah dikeluarkan dari mobil ambulan dan telah dibawa masuk ke dalam rumah. Aku menyaksikan sendiri proses pemandian jenazahku di pojok ruangan. Kulihat mama yang juga ikut memandikanku terus saja terisak. Aku benar-benar tak tega melihatnya.

Setelah dimandikan, jasadku dibalutkan dengan kain kafan lalu dibawa ke ruang depan. Aku terus mengikuti kegiatan mereka. Hingga tiba di ruang depan, suasana haru terus saja menyelimuti keluargaku. Kulihat papa tampak sedih dan sesekali menyeka air matanya yang jatuh. Begitu juga dengan Kak Eza dan Rey. Hei! Kak Eza menangis? Aku baru tersadar akan hal itu. Bukankah harusnya dia senang karena aku telah meninggal? Bukankah itu kemauannya? Lalu aku mengalihkan pandangan ke arah mama. Tangis mama sudah pecah semenjak jasadku dibawa ke ruang depan.

Keluarga besarku duduk mengelilingi jasadku. Aku berjalan ke arah dimana jasadku dibaringkan lalu mengambil posisi disamping kepala jasadku dibaringkan dan tepat pula di hadapan kedua orang tua serta saudara-saudaraku. Aku mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dilantunkan oleh orang-orang yang ada di ruangan.

Aku menoleh ke seluruh ruangan dan kudapati beberapa orang menangis tersedu-sedu. Termasuk beberapa dari teman-temanku. Dada juga ada disana dengan sesekali menyeka air matanya. Oh, sedih rasanya seperti ini. Melihat orang-orang yang kusayangi menangis karena kepergianku. Aku juga melihat sosok pangeranku yang duduk tidak jauh dari Dada dengan raut wajah datarnya. Tidak biasanya air mukanya datar seperti itu. Biasanya ia tampak ceria dan gentle pastinya. Tapi kali ini ia tampak sangat dingin dan dari tatapannya dapat kulihat bahwa ada kesedihan disana.

Oh, Arga. Apa kamu sedih karena kepergianku? Oh, aku minta maaf karena tidak dapat memenuhi janjiku padamu. Waktu yang harusnya kita gunakan untuk berkencan, harus berakhir menjadi perpisahan karena orang-orang gila yang dengan teganya membunuhku tanpa sebab.

Aku kembali melirik ke seluruh ruangan. Hingga akhirnya kudapati dia. Aish. Kenapa si kribo itu ada disini? Dia menangis? Seperti wanita saja. Mana ada pria yang menangis hingga tersedu? Bahkan disini, hanya dia sajalah pria yang menangis terisak seperti itu. Sepertinya, dalam keadaan hidup maupun mati, tetap saja aku tidak suka dan bahkan membencinya.

My GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang