-17-

1.4K 35 0
                                    

"Iya."

Satu kata tiga huruf itu membuat kakiku lemas. Hampir saja tubuhku oleng. Putra mengepalkan tangannya. Laras dan Sesil terlihat kecewa. aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menerima situasi ini. Mungkin setelah ini aku dan Rayhan akan hancur.

"Tapi, gue nggak ada niatan buat ngerebut Tasha dari lo, kak." lanjutnya.

"Terus maksud kamu mutusin aku gara-gara Kak Tasha itu apa, Ray?" Sesil mulai merengek. Air matanya terjun begitu saja. Riska merangkul Sesil erat-erat.

"Aku nggak sanggup buat nerusin hubungan kita." Jawab Rayhan. Sorot matanya mengatakan bahwa ia masih sayang sama Sesil.

"Gimana dengan Kak Laras? Kamu php in dia?" Tanya Sesil lagi.

Rayhan menatap Laras. "Aku nggak tau."

Laras menatap Rayhan nanar. "Tega, lo," ucapnya sebelum meninggalkan tempat ini. Aku bergegas untuk menyusulnya. Namun, Putra menahanku.

"Selesaiin dulu masalah mu sama Rayhan disini. aku yakin Laras belum berani nyetir untuk sekarang ini."

"aku mohon. Aku minta sama kamu, temuin Laras dulu. Kalau bisa, ajak dia kesini. Aku mau ngomong dulu sama Rayhan." Ucapku. Putra mengangguk mengerti. Ia beranjak untuk menghampiri Laras. aku menyuruh Riska untuk menemani Sesil bentar. Aku mendekati Rayhan yang masih bingung. "Gue mau ngomong 4 mata sama lo."

aku membawa Rayhan ke tempat yang lebih aman.

"Sebenarnya ada apa sih ini?" Tanya Rayhan

"Please. Lo udah mainin perasaan Laras sahabat gue, sama Sesil adik gue. Lo ngerti nggak perasaan gue kaya gimana?" Rayhan masih nggak ngerti. Aku menceritakan kejadian Laras melabrakku dan Sesil yang telah menceritakan semuanya.

Putra memasukkan kedua tangannya dalam saku celananya. "terus gue harus gimana? Gue nggak mau nyakitin siapapun."

"yang jelas, lo simpan aja perasaan lo buat gue. Makasih banget lo udah mau sayang sama gue."

"Bantuin gue, Tash."

Aku iba. Melihat Rayhan yang kebingungan. Langka. Nggak biasanya Rayhan ngedown seperti ini. Rayhan yang kukenal paling badung, ternyata bisa se mellow ini. Aku mengangguk setuju lalu kembali. Beruntung. Putra berhasil membawa Laras.

"Gue ngalah. Gue punya Putra. Rayhan milik kalian berdua." Ucapku. "Jangan berantem. Kalian udah jadi sebagian hidup gue."

aku mengajak Putra dan Riska untuk pergi. Membiarkan Rayhan, Laras, dan Sesil untuk berbicara. Putra menepuk bahu Rayhan pelan. Rayhan mengangguk lemah. Aku duduk di bawah pohon beringin. Di sebelahku ada Riska yang tidak berani berbicara apapun. Ia hanya diam dan menjadi penenang untuk Sesil.

"Udah lega?" Tanya Putra. Ia berdiri di hadapanku. Aku mendongak. Mengangguk menjawab pertanyaan Putra. Ia memelukku. Aku membalas pelukannya. "Aku bangga sama kamu,"

Aku melepas pelukanku. "Aku yang lebih bangga. Kamu bisa nerima semuanya,"

Putra tersenyum. "Yang penting kamu nggak kegoda. Aku makasih banget sama kamu,"

Aku mengangguk dan memeluknya sekali lagi.

****

"Gimana?" tanyaku seraya membereskan kasurku sebelum tidur. Rayhan menghubungiku. Aku menjawabnya. Mungkin dia butuh teman buat cerita.

"Awalnya gue nggak bisa milih. Tapi, gue nggak mau ngikutin ego. Gue milih Sesil. Gue masih sayang sama dia."

Aku menarik nafas lega mendengar jawaban Rayhan. Mengucapkan syukur beberapa kali karena Rayhan nggak nyakitin Sesil. Tapi, aku teringat Laras.

15++Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang