Aku terbangun dari tidurku. Mimpi yang aneh itu terus menggerogoti otakku. Tidak henti-hentinya aku mencerna maksud Kak Ted. Aku sangat bingung. Sarapan sudah tersedia di meja sebelah ranjangku. Ku perhatikan sekitar, tidak ada orang. Mengapa ketika aku terbangun di rumah sakit tidak ada yang menjengukku? Masa aku harus makan sendiri? Tidak ada yang mau menyuapi aku? Apa semua tidak sayang sama aku? Larut dalam kesedihan itu, sangat menyakitkan. Seperti ditusuk dengan pedang tajam dari belakang tepat di jantung. Aku menangis sejadi-jadinya. Ku rapatkan selimut hingga menutup sampai leher ku. Ku biarkan bantal basah karena air mata ku. Sungguh tidak jelas alasan aku menangis, tapi rasanya sangat sakit.
"Rachel, kamu nangis?" tanya suara seorang lelaki yang menyadarkan ku dari lamunan. Segera aku hapus air mata yang sudah membasahi seluruh wajahku ini. Aku terdiam menatap langit-langit rumah sakit. Ku dengar orang itu memanggil nama ku berkali-kali. Aku hiraukan. Lalu suara itu semakin dekat, sosok laki-laki yang tidak lain ternyata adalah
FAHREL!!!! What?!?! Ngapain dia disini?!
"Rachel, kamu jangan nangis. Aku 'kan jadi khawatir..." kata Fahrel.
Aku mengarahkan tatapan sendu pada Fahrel. Fahrel tersenyum penuh arti. Senyum yang selalu menyihir ku menjadi sesuatu yang kaku. Membuatku ingin memeluknya dan menumpahkan rasa sakit ku. Rasanya hatiku sangat damai ketika melihat wajahnya.
Kenapa Fahrel disini?
"Mungkin kamu tanya kenapa aku disini, jawabannya adalah kamu," katanya sambil menarik sebuah kursi untuk ia duduki. Kemudian ia duduk di kursi dan membelai rambutku yang entah berapa lama belum ku sisir.
Tes...tes...
Setetes darah mengalir melalui lubang hidung kananku. Darah merah yang tidak ku rencanakan untuk keluar. Lalu disusul tetesan darah lainnya. Aku bangun dari posisi tidurku, dan duduk. Ku usap hidung ku yang menetes darah itu, sehingga tanganku bercorak darah. Bahkan di selimut dan bantal sudah ada titik-titik darah. Aku menatap Fahrel. Fahrel segera menutup mulutnya dengan tatapan kaget. Kemudian ia memanggil dokter melalui tombol otomatis. Dan semuanya kembali menjadi hitam setelah ku lihat Fahrel berlari keluar dari ruangan.---
Lagi-lagi aku ada di ruang hitam gelap. Kali ini Kak Ted tidak menghampiri ku. Aku kesepian dalam ruang hitam. Aku hanya berharap agar sedikit cahaya putih dapat menyinari hati ku. Hingga aku tersadar kalau aku baru bangun dan masih terbaring di ranjang rumah sakit. Tempat favoritku sekarang.
Semua orang memenuhi ruang rawat yang sangat luas ini. Beberapa dari mereka matanya sembab, dan beberapa lagi masih menangis, sedangkan beberapa yang lain hanya memasang ekspresi khawatir. Beberapa tidak aku kenal. Tapi ada papi mami, Amey dan Fahrel. Dan keempat sahabatku. Di sampingku sudah ada papi yang tersenyum sendu memandang wajah ku yang tidak karuan.
"Papi, mereka siapa?" tanya ku pada papi sambil menatap 16 orang itu bergantian. Kemudian papi menyuruh mereka semua keluar dan papi bilang nanti satu-satu/dua akan bergantian menjenguk ku. Mami mendekati ku dengan baju kerjanya.
"Sayang, kamu ga boleh banyak pikiran. Jangan sakit terus dong.. Papi sama mami kan jadi kepikiran kamu terus, ga fokus kerja deh," kata mami membelai rambut ku. Langsung ku hempaskan tangan mami.
"Ya udah, siapa suruh mikirin Rachel? Rachel aja ga keberatan kok kalo ga dipikirin!" kata ku ketus memandang ke arah jendela tanpa ekspresi.
"Rachel.." panggil papi.
"Apa? Emang bener kok! Sekarang mana ibu? Emang ibu udah bener benar ga sayang sama Rachel?" tanya ku dalam sendu menahan titik air mata yang mulai tumpah.
Hening sebentar. Papi menghela nafas dan menunduk.
"Ibu kamu udah meninggal sayang. Itulah alasan papi nikah sama mami." jawab papi.
Pernyataan singkat itu sukses menohok hati ku yang sudah bonyok. Aku tak mampu menahan tangis ku. Aku pikir seorang perempuan yang merawat ku itu tidak sayang lagi pada ku. Nyatanya ia sudah tiada. Pergi. Pergi dari dunia ku.
Aku sedikit berdehem sambil menahan sesak di dada yang sudah menusuk sejak tadi. Aku tersenyum miris. Kembali terpikir oleh ku mengenai kondisi ku. Kenapa aku sakit terus? Memangnya separah apa sakit ku? Aku mengahapus air mataku yang terus-terusan mengalir. Aku usap dan terus ku usap mata ku berkali-kali.
"Emangnya Rachel sakitnya separah apa sih sampe mimisan mulu? Papi juga selalu bilang kalau Rachel kecape'an. Tapi kayaknya ga mungkin Rachel sampe segitu capek nya," ucap ku lirih sambil menghapus air mata ku lagi. "Rachel kan cukup tidur, Rachel makan banyak, Rachel juga olahraga. Rachel juga tidur terus selama di rumah sakit!" jelas ku menekankan setiap kata pada papi mami. Terlihat wajah mencurigakan mereka yang menyembunyikan sesuatu. Mereka tidak menjawab. Aku sangat yakin ada yang mereka sembunyikan!
"Kamu kena leukemia," ucap mami sambil menunduk,
"Whatttt?!?"
ŞİMDİ OKUDUĞUN
The Amnesia Girl
Teen FictionApa daya bila aku ialah seorang perempuan amnesia yang menganggap masa lalunya baru saja terjadi kemarin? Aku mencoba untuk menerima semua kenyataan. Impian ku menjadi seorang pianis pun hancur. Begitu juga jati diriku. Hancur. Berkeping-keping. Yan...