Ameylia Andhayni Hamlington.
Aku sangat ingat. Ibu bilang ketika aku dan Amey dibuatkan akta kelahiran, petugas itu salah mengetikkan nama Amey. Harusnya Amelia, tapi menjadi Ameylia. Sungguh konyol. Saat aku mengetahui itu, aku sering meledek nya, sehingga dia sering marah-marah padaku. Haha. Dan itu menjadi kenangan lagi.
Adik kembarku sudah 1 minggu 1 hari belum sadar juga saat ini. Aku merindukan nya. Aku rela tidak mendapat perhatian ayah bila aku dan Amey bisa main bareng lagi. Aku tidak sanggup menahan ratusan luka di hati ku yang terus membekas. Dia adalah tongkatku. Tanpa Ameylia, aku akan rubuh, jatuh. Lagi.
Saat ini aku duduk di kursi sebelah ranjangnya sambil menggenggam tangannya dan berharap akan ada keajaiban. Hening tak ada suara. Hanya bunyi detakan jantung Amey di monitor yang menemani rasa kesepian ini. Bahkan tidak ada ayah, ia harus pergi kerja untuk membiayai Amey. Tadi pagi dokter bilang tidak ada harapan untuk Amey, karena jika alat bantu bernafas nya dilepas maka ia akan...
Meninggalkan ku.
Selamanya.
Satu lagi pahatan luka di hatiku.
Dokter juga bilang mereka akan beri Ameylia waktu 3 hari. Kalau ia masih tidak sadar, maka rumah sakit tidak punya pilihan lain selain melepas seluruh peralatan rumah sakit yang sekarang masih menempel di tubuh Amey.
Aku lelah menangis. Aku ingin tidur saja. Aku ingin tidur seperti Amey. Supaya aku tidak perlu menangis dan merasakan sakit hati lagi. Biarlah begitu, lihat apa ayah akan peduli padaku.
Tunggu, tidak.
Aku tidak boleh seperti itu. Aku hanya harus lebih kuat. Lebih kuat lagi.
"Rachel,"
Deg!!
Suara itu..
Segera ku angkat kepalaku dari posisi tidur sambil duduk dan mencari sumber suara.
"Fahrel?" tanyaku ketika yang kulihat adalah Fahrel.
"Kamu ngga usah nangis terus Chel, kamu pulang aja. Biar aku yang jaga Amey. Nanti aku telpon kamu kalau ada perkembangan," ucapnya sambil menatap mataku yang sembab.
"Tapi.. Aku ngga bisa tenang apalagi tidur kalau Amey masih belum sadar. Aku cuma takut." kata ku sambil menahan air mataku lalu ku tundukkan wajahku supaya Fahrel tidak melihat aku menangis.
"Rachel.." suara perempuan.
Langsung ku palingkan wajah ku ke arah sumber suara perempuan itu.
Amey.
"Amey? Kamu udah sadar? Fahrel! Panggil dokter!" ucapku langsung berdiri dengan perasaan campur aduk senang dan khawatir. Lalu Fahrel berlari keluar ruangan mencari dokter yang mungkin saja berpapasan dengannya. Ku tatap Amey dengan wajah sembab sambil berlinangan air mata dan tersenyum.
"Aku 1 bulan," ucapnya membingungkan ku.
Apa? 1 bulan? Maksudnya apa?
Aku mengabaikan pikiran dan firasat tidak jelas ku itu.
"Sttttt. Sudahlah Amey, kau istirahat saja dulu. Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan tapi.. aku ingin kau cepat sembuh supaya kita bisa bercanda bareng lagi." kataku tersenyum sambil menitikkan air mata.
Tidak lama, dokter datang dan menyuruh kami keluar. Aku menghubungi ayah menggunakan iPhone Amey.
"Halo ayah, ini Rachel. "
"Kenapa sayang?"
"Amey.. Amey udah sadar." kataku sambil tersenyum pahit.
Aku sadar. Artinya aku akan kehilangan perhatian ayah.
"Ayah kesana sekarang."
Tut..tut...tut...
Terdengar nada sambungan yang putus. Aku tersenyum miris dan membiarkan air mataku meluncur membasahi wajahku. Ku lihat Fahrel yang mengutak-atik hapenya dengan air mata berlinang. Lalu aku duduk di kursi sebelah kanannya.
"Aku sudah memberitahu teman-teman ku kalau Amey udah sadar," katanya dengan senyum yang lagi-lagi meluluhkan ku. Aku tersenyum tipis dan mengangguk.
Ku hapus seluruh air mataku yang sudah membasahi wajahku. Ku senderkan tubuhku pada kursi yang ku duduki. Aku menghela nafas tenang.
Terima kasih Tuhan..
Tidak lama, dokter keluar dari ruang rawat VVIP pribadi Amey. Dan mengajakku untuk berbincang di ruangannya. Aku mengangguk.
Setelah aku duduk di kursi dihadapan dokter tadi, ia tersenyum padaku. Dan berkata bahwa ini semua keajaiban bahwa Amey dapat bertahan dan sadar. Dokter itu juga bilang kalau luka dikepala Amey sudah mulai menutup. Aku bersyukur. Dokter bilang Amey butuh istirahat dan tidak boleh kecape'an. Dan Amey boleh pulang besok sore. Aku tersenyum bahagia. Rasanya luka-luka di hatiku tertutup begitu saja ketika mendengar bahwa Amey pulih.
Setelah ku keluar dari ruangan dokter, aku berjalan cukup cepat menuju ruangan Amey. Lalu ku dapati Fahrel yang sedang duduk bersama 6 teman-teman ku yang kemarin datang menjenguk ku. Kemudian ada ayah, dan seorang perempuan menggandeng tangan ayah. Sambil berlari kecil dari jauh, ku tatap perempuan itu dari bawah sampai atas.
Siapa sih perempuan itu?

ŞİMDİ OKUDUĞUN
The Amnesia Girl
Dla nastolatkówApa daya bila aku ialah seorang perempuan amnesia yang menganggap masa lalunya baru saja terjadi kemarin? Aku mencoba untuk menerima semua kenyataan. Impian ku menjadi seorang pianis pun hancur. Begitu juga jati diriku. Hancur. Berkeping-keping. Yan...