#10 Lagi-Lagi

304 26 3
                                    

"Biar aku yang lanjutkan. Kamu kembali saja ke kelas. Padahal niatku mau bolos, tapi Kak Rifky malah jadi nyuruh kamu."

Aku tidak salah dengar? Agi bicara -kamu? Dan siswa seperti dia bisa mau bolos?

"Eh, nggak apa-apa kok. Ini udah tinggal sedikit lagi."

Kenapa aku jadi deg-degan begini? Bodoh.

"Woi, Agi! Ternyata lu mau bolos?" Suara Kak Rifky terdengar dari tangga, "Jadi selama ini lu nggak ikhlas bantuin gue?"

"Ikhlas kok. Gue cuma capek." Agi menyahut, "Enggak ada gue, lu jangan nyuruh Syifa dong. Kak Angga aja lu suruh."

Aku sama sekali tidak menyangka kalau Agi bisa bicara sepanjang itu.

"Kamu balik aja ke kelas." Kata Agi padaku.

Aku pun segera meletakkan mukena yang kususun di rak, mengambil tasku, dan pergi. Kak Rifky sudah berdiri di bawah tangga.

"Makasih banyak ya, Syifa." Aku pun mengangguk dan segera pergi ke kelas. Aku tidak akan mau ketemu Kak Rifky lagi pagi-pagi.

***

Istirahat.

Aku bersama Maura pergi ke kantin. Diyah dan Rahma harus tinggal karena belum mengerjakan tugas.

"Mau, aku mau ke toilet dulu. Duluan aja." Kataku dan aku berpisah jalan dengan Maura.

Sesampainya di toilet, wajahku langsung pucat.

Kak Shafina dan kawan-kawan sedang ada di toilet. Gimana dong? Kabur adalah jalan terbaik dan satu-satunya saat ini.

"Itu dia!" Teriak Kak Ardha sambil melihatku.

Aku ketahuan.

Mereka berlima pun mendatangiku.
Semoga aku tidak berantem dengan Kak Shafina. Setidaknya jangan sekarang dan jangan di sini.

"Gue denger lu ditembak Yoga?" Tanya kak Shafina to the point. Bahkan Kak Shafina sudah tahu berita itu. Aku diam.

"Gue nanya sama lo!" Kak Shafina mulai mengerikan.

Apa aku dilabrak lagi? Kelihatannya iya.

"Udah godain Agi sekarang elu godain Yoga? Lo tuh cewek apa pelacur?" Aku terbelalak.

PLAK!

Aku sudah tidak bisa mengendalikan emosiku. Tidak peduli dia kakak kelas atau bukan. Kata-katanya benar-benar tidak patut untuk ditiru.

Kulihat Kak Shafina memegangi pipinya yang kutampar.

"Ba--barusan lo nampar gue?! Sekarang lo udah berani sama gue?!"

"Mulut elo yang gak bisa dijaga!" Ini pertama kalinya aku bicara -gue-elo di depan orang-orang. Aku benar-benar marah sekarang.

"Denger ya! Gue nggak pernah godain siapa-siapa! Tanya Agi atau tanya sekalian Kak Yo--"

PLAK!

Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang terjadi. Kak Shafina menamparku? Kak Shafina menarik rambutku.

"Shaf, bukannya lu gak mau pake kekerasan?! Sadar, Shaf!" Kak Siska mulai bersuara.

"Dia murid baru udah berani nampar gue?! Kak Shafina semakin kencang menarik rambutku.

Aku tak boleh membalas. Aku yakin sebentar lagi aku akan masuk ruang BK.

"Elo nggak usah belagu mentang-mentang Yoga nembak elo!!" Kurasakan rasa sakit yang menjalar di kepalaku.

"Woi, Shafina! Lu ngapain narik-narik rambut orang?" Seseorang bicara dari pintu masuk toilet. Aku selamat.

Aku ingat. Dia kakak kelas KIR. Kak Septi.
"Bukan urusan lu!" Kak Shafina pergi sambil melewatiku dengan kasar dan di susul oleh kelima kawannya yang melihatku dengan sinis.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya kak Septi khawatir. Aku menggeleng.

Mana ada orang yang baik-baik saja setelah berantem?

"Mau ke UKS dulu? Ada yang luka?"

Aku bahkan tidak tahu ada luka atau tidak. Aku menggeleng.

"Aku ke kelas saja. Makasih banyak ya, Kak." Kataku berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum dan pergi.

Kulihat diriku di cermin.
Rambutku sangat berantakan. Bahkan pipiku yang ditampar tadi masih merah.

Ini pertama kalinya aku berantem dengan orang lain selain kakakku. Dan lagi ini berantem sesama perempuan karena alasan konyol.

Kukuncir rambutku dan beberapa helai rambutku terjatuh. Aku menghela napas.

Saatnya kembali ke kelas dan membuat seolah-olah tak terjadi apa-apa padaku.

Sesampainya di kelas.

"Kok lama banget sih, Syif?" Diyah mulai mencurigaiku.

"Nggak papa kok. Cewek kan emang ke toiletnya lama."

"Tapi nggak selama ini loh."

Kali ini aku tak akan melibatkan teman-temanku. Ini adalah urusanku.

***

Pulang sekolah.

Kulihat di luar mendung. Jadi kuputuskan untuk cepat pulang. Pak Bagas sampai pada hari ini pun masih belum menjemput. Mama bilang Pak Bagas akan menjemput mulai besok.

Aku pun segera berlari ke halte sambil berharap hujan jangan turun.

Tiba-tiba seseorang dengan motor berhenti tepat di depanku. Motor ini... aku sangat tahu ini motor siapa. Dia membuka kaca helmnya.

Sudah kuduga. Dia Agi.

"Mau ke mana?"
"Mau pulang."
"Maksudnya pulang ke mana?"
"Ke rumah lah. Masa' ke hotel?" Entah kenapa aku ingin bercanda dengannya sedikit.

"Maksudku rumahmu dimana?"
Bahkan dia tidak tertawa biar sedikit.

"Perumahan Griya Asri."

"Oh, ya udah. Mendingan cepetan pulang. Bentar lagi hujan. Aku duluan." Agi pun menarik gas motornya dan pergi.

Aku masih tidak percaya. Agi meninggalkanku? Kenapa aku bisa kena harapan palsu dua kali sih?! Aku berpikir kalau dia akan mengantarku. Kenyataannya, tidak.

Aku pun segera naik angkot pulang ke rumah.

***

Note: Akhirnya chapter 10 terbit juga. Di sini Kak Shafina agak kubuat sadis. Vote dan komentar kalian akan sangat ku hargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 11 ^^

BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang