#30 Keadaan

165 12 1
                                    

Di rumah, aku sedang mengkhawatirkan Agi.

Apa dia baik-baik saja?
Apa dia makan dengan baik?
Apa aku harus meneleponnya?
Bagaimana kalau dia sedang tidur?

Aku terus-terusan menatap nomor teleponnya. Bimbang harus menelepon atau tidak.

Akhirnya kutekan tombol call dan mendekatkan handphone ke telingaku. Tersambung.

"Halo?"

Ini suara Agi! Tapi suaranya sangat lemas.

"Mmm... Agi?"

"Kenapa, Syifa?"

"Aku denger... kamu lagi dirawat."

"Iya, memang."

"Kamu nggak apa-apa?"

"Menurutmu kalau orang sakit dia baik-baik aja atau enggak?"

"Eng... gak."

"Ya sudah."

"Besok aku, Pak Abror, sama Deli mau jenguk. Kamu siap-siap ya?"

"Kamu mau ke sini?"
Agi kelihatan agak kaget.

"Iya. Kenapa?"

"Sebenernya aku nggak mau kamu dateng."

Apa? Dia nggak mau aku datang?

"Kenapa? Kamu nggak suka?"

"Bukannya nggak suka, tapi..."

"Tapi?"

"Aku nggak mau kamu ngeliat aku lagi sakit. Aku nggak mau keliatan lemah di depan kamu."

Ya ampun... Agi manis banget sih.... Tidak kuat aku tuh.

"Masa' gara-gara itu aja aku nggak boleh dateng?!" Aku pura-pura marah, padahal sebenarnya rasanya aku mau meleleh karena sikap Agi tadi.

"Iya, iya. Kamu boleh dateng kok. Nginep juga nggak apa-apa."

Aku terdiam. Aku boleh menginap?

"Aku boleh nginep, Gi?"

"Kalau kamu mau. Tapi aku yakin kamu nggak akan diizinin."

Iya juga sih.

Aku terdiam sampai Agi memanggilku di telepon.

"Ah, iya, maaf, Agi. Aku agak melamun tadi."

"Kamu khawatir padaku?"

Aku terdiam. Ingin bilang iya, tapi tidak bisa.

"Kamu nggak perlu khawatir. Bukan masalah besar kok."

Kata-kata itu.... Kata-kata yang bisa membuatku begitu tenang saat Agi mengatakannya.

"Makasih, Agi." Aku tersenyum.

"Kamu nggak menangis kan?"

"Enggaklah! Aku percaya kalau kamu jauh lebih kuat dari dugaanku."

Agi terdiam.

"Udah dulu ya, Gi? Nanti pulsaku habis. Sampai ketemu besok."

"Iya. Makasih kamu mau nelepon."

"Dadah."

Aku hendak menutup panggilanku, tapi suara Agi yang bilang tunggu menahanku.

"Ada apa, Gi?" Tanyaku.

"Aku sayang kamu, Syifa." Agi memutus telepon setelah berkata begitu.

Barusan-dia-bilang-apa-?
Agi bilang sayang-padaku?
Oh my God!  Rasanya aku mau terbang sekarang. Seandainya tadi kurekam omongannya!

***

Jam enam aku sudah sampai di sekolah. Niatnya aku tidak ingin pergi ke perpustakaan karena Agi tidak ada. Tapi kalau tidak ke perpus, aku kasihan sama Bu Siti yang kelihatannya kesepian karena jarang sekali ada siswa-siswa yang ke perpus dengan tujuan yang benar. Akhirnya aku mengarahkan kakiku ke perpustakaan.

Sesampainya di dalam, kulihat seorang lelaki yang wajahnya terlihat familiar sedang membaca di bangku perpus. Ternyata dia Dimas.

Tiba-tiba Dimas menoleh ke arahku. Dia sempat terdiam kemudian... tersenyum. Apa aku harus membalasnya?

Akhirnya aku membiarkannya. Aku pun mengambil novel di rak dan duduk agak jauh dari Dimas.

Kenapa aku selalu terlibat dengan orang yang banyak fansnya? Pertama Agi, kedua Kak Yoga, dan sekarang Dimas. Bahkan Namira sampai marah padaku karena aku ngobrol sedikit sama Dimas.

Mungkin karena terlalu serius berpikir, aku tidak sadar kalau Dimas sudah duduk di depanku.

"Kak Ririn, sekarang mau menjawab pertanyaan saya?"

Aku menoleh ke arahnya. Dia benar-benar memperbaiki cara bicaranya.

"Yang kemarin?"
Dimas mengangguk.

"Aku punya." Jawabku singkat, padat, dan jelas.

"Kak... Kak Ririn punya pacar?" Tanya Dimas kelihatannya tidak percaya.

"Punya. Kenapa?"

Dimas terdiam tapi ia segera menjawab.

"Pacar Kakak siapa?"

Ternyata berita aku pacaran sama Agi belum sampai tersebar satu sekolahan. Syukurlah!

"Coba saja cari tahu." Jawabku cuek sambil meneruskan bacaanku.

"Oke. Saya akan cari tahu. Besok jawabannya akan saya pastikan kebenarannya pada Kakak." Dimas pun pergi.

Dia benar-benar akan mencari tahu?

Aku pun neneruskan bacaanku yang terhenti. Kenapa Dimas kepo banget tentang aku?

Selesai membaca, aku meletakkan kembali buku ke rak dan pergi ke kelas.

Di kelas sudah ramai, tidak seperti kemarin. Entah kenapa kelas ini jadi hampa tanpa adanya Agi. Padahal Agi bukan orang yang akan meramaikan kelas kalau dia ada.

"Cieehh... Syifa mau nengok Ayang ya hari ini?" Ejek Diyah.

"Nggak usah nyebut Agi dengan nama Ayang. Jijik tahu."

"Eh Syif, aku mau ngomong."
Tiba-tiba Diyah jadi serius.

"Ada apa?" Tanyaku akhirnya.

"Namira sih ngomongnya ke Farah doang, tapi aku denger." Bisik Diyah.

"Ngomong apa?" Tanyaku.

"Kamu emang... deket sama adek kelas yang namanya Dimas?"

Dimas? Kenapa semua orang menanyakan nama orang itu padaku?

"Aku nggak deket. Tapi aku tahu dia. Dia cowok nggak sopan."

"Cowok kan emang begitu. Katanya dia siswa baru di sini tapi langsung tenar di kalangan anak cewek."

Jadi dia siswa baru? Pantas dia tidak tahu berita aku pacaran sama Agi.

"Tapi Agi nggak begitu."

"Yeeee! Kamu bandinginnya sama Agi. Bedalah!"

"Tapi kan Agi juga cowok."

"Ya ya ya. Terserah kamu."

***

Sepulang sekolah.

Aku bersama Pak Abror dan Deli akan menjenguk Agi di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, kami segera menuju kamar rawat Agi.

Pak Abror mengetuk pintu dan pintu pun terbuka. Lelaki. Kurasa dia ayah Agi.

To Be Continued~

Note: Akhirnya chapter 30 terbit juga. Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 31 ^^

BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang