Aku memberitahumu bahwa aku mencintaimu.
Aku mengakui cintaku padamu.
Di belakangmu, ku katakan dengan keras bahwa aku mencintaimu. (Accident by Davichi)"Aku suka Agi!" Aku benar-benar mengatakannya!!?
Kali ini ekspresinya benar-benar berubah.
Baru kali ini aku melihatnya merubah ekspresinya.
Dia diam dan akhirnya dia mengatakan sesuatu.
"Kenapa kau bisa berkata begitu?"
Dia kembali bicara -kau?"Kenapa kau mengatakannya padaku?" Dia masih bertanya,
"Eh, ma--maksudku..." Belum selesai bicara, Agi sudah memotong,
"Karena aku mau membantumu, jadi kau berpikir aku akan membalas perasaanmu?"
Kata-katanya seketika menusuk susuatu di dadaku. Apakah dia... menolakku?
Aku terdiam.
"Kau sudah selesai? Kalau sudah, aku akan pulang." Agi pun pergi.
Aku masih terdiam. Kulihat punggung tanganku basah. Kenapa? Kupegang pipiku. Basah.
Aku... aku menangis? Tidak mungkin!
Kenapa aku menangis? Bodoh!Kulihat mobilku sudah datang. Seandainya Pak Bagas datang daritadi, aku tidak akan merasakan sakitnya. Setidaknya bukan hari ini.
***
Di rumah, aku berusaha menerima kenyataan kalau Agi menolakku. Dia memang punya sejuta alasan untuk menolakku.
Tapi apakah harus dengan kata-kata itu dia menolakku?
Karena aku mau membantumu, jadi kau berpikir aku akan membalas perasaanmu?
Jadi kenapa dia membantuku kalau dia memang tidak suka padaku?! Seharusnya dia abaikan saja aku. Sama seperti dia mengabaikan perasaan Kak Shafina!
"Syifa!! Ayo turun! Siapin meja!" Panggil Kak Bayu dari bawah.
Huh! Orang lagi galau begini.
Aku pun terpaksa turun dan menyiapkan meja.
***
Di sekolah, aku datang sedikit lebih telat karena aku tidak akan pernah ke perpustakaan lagi.
Kenyataan Agi telah menolakku itu menyakitkan. Apa yang harus kukatakan pada teman-temanku?
Jika dipikir lagi, omongan Maura tempo hari memang benar.
Syifa, aku menyarankan kalau sebaiknya kamu lupakan saja perasaan itu. Agi cuma... merasa kasihan sama kamu.
Jadi itu sebabnya kenapa Maura berkata begitu. Itu karena dia tahu...
Kalau aku akan ditolak.
Sesampainya di kelas, mereka bertiga sudah datang dan beberapa anak lainnya.
Dengan diam aku duduk di bangkuku dan melamun. Aku belum bisa menceritakannya pada mereka.
Mereka bertiga melihatku dengan heran."Kenapa, Syif?" Tanya Diyah, aku menggeleng.
"Ih, serius Syif! Kenapa?" Diyah memaksa.
"Aku--aku nyatain perasaanku ke Agi kemaren."
Mereka terdiam.
"Kamu nyatain??? Terus dia bilang apa??" Tanya Diyah penasaran.
Aku tersenyum pada mereka.
"Aku ditolak."
Wajah mereka semua langsung terkejut.
"Ka--kamu ditolak? Serius?" Tanya Diyah dengan hati-hati.
Aku mengangguk dan menenggelamkan wajahku di lenganku. Aku sudah janji pada diriku untuk tidak menangis lagi. Setidaknya jangan sekarang.
Diyah membangunkanku dan menarikku keluar bersama Rahma dan Maura.
"Syifa... Aku tahu rasa itu. Jangan tersenyum kalau memang nggak bisa." Mereka bertiga memelukku erat.
Aku bersyukur masih punya kalian yang mau terbagi rasa sakitku.
"Makasih." Kataku sambil tersenyum walau air mata masih mengalir di pipiku.
***
Pelajaran Bu Inez sudah dimulai.
Bukannya aku tidak mau mendengarkan, tapi aku tidak bisa karena Agi duduk di meja sebelahku.Ini risikonya kalau suka sama teman sekelas. Benar-benar fatal.
"Assyifa!" Panggil Bu Inez dan aku langsung kaget.
"I--iya bu?"
"Kamu dengar tadi Ibu ngomong apa?"
Aku terdiam. Apakah aku harus ikhlas di hukum Bu Inez hari ini?"Tidak, Bu." Jawabku jujur.
"KAMU! KAMU PIKIR KAMU UDAH PINTER NGGAK DENGERIN PENJELASAN IBU?! IYA?!" Bu Inez sudah marah besar sekarang dan satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah diam.
"Untuk PR hari ini kalian akan mengerjakannya di rumah, kecuali Assyifa!" Bu Inez memberikan hukuman yang amat kejam.
"Assyifa! PR yang Ibu berikan harus kamu kerjakan sekarang dan kumpulkan saat pulang sekolah!"
Sebenarnya aku dosa apa sih sampai kena kesialan ini???
"Iya, Bu." Jawabku pasrah.
***
Pulang sekolah.
Aku masih belum bisa pulang karena masalah yang sama. Tugasku belum selesai. Huhu....Aku pun mengerjakannya di saung. Kalau tidak salah... dulu juga pernah begini.
Jadi ingat dulu waktu itu aku dihukum Bu Inez juga. Aku mengerjakannya di saung ini juga. Tapi sayangnya ada satu hal yang tidak akan sama.
Agi tidak akan pernah datang membantuku lagi.
Aku mengerjakan soal dengan serius supaya cepat selesai dan tidak sadar kalau ada seseorang di depanku.
Maura.
"Biar kubantu." Maura duduk di sampingku.
"Makasih Mau." Kataku sambil tersenyum.
"Segalau apapun kamu, jangan pernah ngegalau di pelajaran Bu Inez. Kan kamu jadi susah."
Sambil mengerjakan, tiba-tiba Maura mengatakan sesuatu, "Kamu tahu kenapa aku menyuruhmu melupakan perasaanmu?"
Aku langsung menoleh ke arah Maura.
"Enggak. Emangnya kenapa?"Maura menghela nafasnya. Ada apa?
"Dulu, aku juga pernah."Hah? Pernah apa?
"Aku juga pernah nyatain perasaan aku ke Agi."
Aku melotot kaget.
MAURA PERNAH SUKA SAMA AGI?! Agak lebay, tapi aku benar-benar kaget."Waktu itu aku kelas sepuluh dan aku di tolak."
Maura juga di tolak?"Dia... cerita kalau dia... punya seseorang..."
Seseorang apa? Siapa?"Dia punya seseorang yang nggak bisa dia lupain gitu aja."
Aku kaget. Agi... suka sama orang lain??
To Be Continued~
Note: Akhirnya chapter 14 terbit juga. No komen buat chapter yang ini. Pokoknya nyesek (buat author). Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 15 ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
BREATH
RomanceHanya sebuah kisah fiksi cinta SMA yang sederhana--menjurus mainstream.