#26 Manis

151 13 3
                                    

"Syifa! Kamu nggak apa-apa? Mukamu sampe merah loh!" Diyah mendatangiku dan Agi juga langsung menoleh.

Sebenernya aku tidak mau Agi lihat mukaku yang kayak gini. Tapi dia sudah telanjur lihat.

"Aku nggak apa-apa kok." Aku tetap memasang senyum.

Aku mengambil tasku dan meletakkannya di bangkuku. Agi kembali membaca bukunya.

Sebenarnya aku pacarnya atau bukan sih? Dia tidak bicara apapun padaku atau sekedar menanyakan aku baik-baik saja atau tidak.

Syifa... Kamu ngapain mengharapkan cowok kayak dia? Meskipun dia pacarmu, dia pasti akan tetap cuek padamu karena itulah dia. Pikirku.

***

Pulang sekolah.

Sesuai janji, Agi akan mengajariku fisika. Sebenernya aku tidak mau berdua saja. Tapi Diyah, Rahma, dan Maura tidak mau ikut.

"Kita harus ikut? Jangan deh. Nanti kita gangguin kamu sama Agi."

Yaahh.... Apapun itu aku harus belajar dengannya supaya mengerti.

Aku dan Agi duduk di saung dan kami pun mulai belajar.

"Jadi kamu harus pake rumus yang ini."
"Kamu nulis apaan sih?"
"Caranya bukan begitu."

Aku pusing karena Agi terus-terusan menyalahkanku walau aku memang pantas disalahkan.

Melihat aku yang sudah menundukkan kepalaku karena pusing, Agi memberikan air minum padaku.

"Tenang aja. Belum dibuka."

"Makasih." Aku tersenyum.

Kubuka tutup botolnya, tapi kenapa tidak bisa-bisa?

Agi mengambil botolku dan membukanya. Dia memberikannya padaku.

"Makasih."
Aku meminum air dengan cepat.

"Kamu jangan telat lagi."

Barusan Agi bicara?

"Maaf, kamu bilang apa?"
"Kamu jangan telat lagi."

Dia khawatir padaku?

"Kenapa?"

"Aku nggak mau kamu dihukum kayak tadi."

"Kamu khawatir?"

Agi terdiam dan dia masih meneruskan tulisannya di bukuku.

"Tentu saja..."

Oh my God! Satu kalimat yang membuatku begitu berbunga-bunga.

"Tentu saja aku nggak khawatir.
Aku percaya kalau kamu mau dihukum Bu Inez. Kalau kamu nggak mau, kenapa kamu telat di pelajaran dia?"

Seketika perasaanku dijatuhkan oleh perkataan Agi yang begitu kejam.

"Ohh...." Jawabku pahit.

Kulihat wajah Agi yang... malu? Benarkah?

"Kamu kenapa kelihatan malu gitu?"

Agi menatap mataku dan memalingkan wajahnya.

"Kamu khawatir kan? Iya kan?"
Aku tersenyum iseng dan tertawa.

"Hentikan."

Aku masih tertawa. Tingkah Agi yang seperti itu sangat manis di mataku.

"Kamu khawatir kan?" Aku masih bertanya padanya,

"Iya, aku khawatir. Puas?"

Aku masih tertawa sedikit. Tapi mendengar Agi berkata begitu, aku jadi semangat.
Aku menepuk-nepuk lengannya.

"Kalau kamu khawatir ya bilang, Agi. Komunikasi itu penting loh."

Agi hanya diam dan melanjutkan tulisannya.

"Nih, kamu pelajarin di rumah."
Agi menyerahkan buku tulisku padaku.

Aku membuka buku dan penuh dengan tulisan Agi.

Tulisannya saja bagus. Aku cewek malah kalah sama tulisannya.

"Udah kan? Aku mau pulang."

Aku menoleh ke arahnya yang sedang membereskan tasnya.

"Lain kali kamu mau kan ngajarin aku lagi?"

Agi menoleh ke arahku dan kelihatan sedang berpikir.

"Oke." Agi membawa tasnya di satu tangan, "Aku duluan ya?"

Aku mengangguk dan dia pun pergi.

Dari belakang saja ganteng.

Aku membuka sekali lagi buku tulisku dan melihat tulisan Agi.

Tulisannya bagus banget. Aku sudah bilang ini dua kali.

"Ehem!"

Aku langsung menengok ke sumber suara. Siapa yang ehem di depanku?

Aku langsung terbelalak karena itu Riski. Dia pun duduk di sampingku dan aku segera menjaga jarak.

"Gue nggak bakal apa-apain elu."

Aku terdiam.

"Yoga aja langsung dihalangin sama pacar lu, padahal dia cuma mau ngomong bentar."

Aku masih terdiam. Ternyata meski Agi kelihatan pendiam, tapi Agi menyeramkan juga.

"Ada apa?"

"Gue cuma mau ngasih ucapan selamat."

Aku menaikkan alisku sebelah.

"Dari bayi sampe dia pacaran sama elu, dia nggak pernah suka sama cewek."

Aku terdiam.

"Jadi selama ini dia suka sama cowok?"

Riski terdiam kemudian tertawa.

"Gue nggak nyangka kalau Agi bisa suka sama cewek kayak elu." Riski masih tertawa, "Maksudnya dia nggak pernah curhat tentang cewek ke gue."

"Kenapa dia harus curhat sama kamu?"

"Gue sahabat Agi dari bayi."

Hah? Jadi Agi sahabatnya Riski? Dari bayi pula.

"Ohh." Jawabku singkat.

"Sebagai sahabat Agi, gue mau kasih satu nasihat ke elo yang ceweknya Agi." Tiba-tiba Riski jadi serius.

"Jangan sia-siain dia ya? Semua cewek tuh mau sama dia. Malah Shafina sampe mau sama dia. Tapi dia malah milih elu."

Aku memikirkan kata-kata Riski.
Tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakannnya. Dapatin dia saja aku harus mengerahkan keberanian ekstra.

"Tanpa kamu suruh pun, aku akan melakukannya."

Riski terdiam kemudian tersenyum.

"Gue yakin kalau elu tahu siapa gue. Agi pasti cerita tentang gue."

"Aku tahu namamu, tapi bukan dari Agi."

"Berarti Agi nggak cerita tentang gue? Dia emang bener-bener 'sahabat' gue."
Aku hanya tersenyum kecil.

"Ris, lu ngapain sama dia?"

Kami berdua langsung menoleh ke sumber suara.

Agi lagi?

"Ampun, Mas.... Gue cuma mau ngasih nasihat sama dia sebagai sahabat terbaik lu."

Agi terdiam.

"Kita pulang, Ris." Ajak Agi.

"Lu nggak nyeritain sahabat lu yang paling ganteng ini ke pacar lu? Lu emang bener-bener 'sahabat' gue, Gi."

Riski bangkit dan berjalan ke arah Agi. "Seharusnya elu nyeritain gue ke pacar lu."

"Dia nggak perlu tahu siapa aja temen gue."

To Be Continued~

Note: Akhirnya chapter 26 terbit juga. Vote dan komentar kalian akan sangat kuhargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 27 ^^

BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang