#17 Perih

172 13 3
                                    

Aku pikir aku juga tahu, bahwa aku bukan satu-satunya untukmu.
Tapi masih, aku ingin mencintai.
Ada sangat banyak yang ingin kukatakan.
Dan aku akhirnya melihatmu.
Tapi aku tidak bisa berkata apapun dan aku hanya melihatmu. (Cry For Love by Davichi)

Semua pertanyaanku sudah terjawab, kecuali satu.

Siapa orang yang disukai Agi?

Aku segera meletakkan novelku kembali dan ingin kembali ke kelas karena pikiranku kalut.

Baru mau membuka pintu, aku benar-benar kaget karena Agi ada di depan pintu. Kami saling bertatapan, tapi aku segera memecah tatapan kami.

"Kamu baru datang?" Tanyaku, "Aku baru mau ke kelas."

"Aku ke sini bukan untuk bertemu denganmu."

JLEB! Dengar Agi ngomong begitu rasanya aku ingin terjun lalu mati. Bukannya aku mau mati, tapi rasanya begitu. Tapi dia mau berkata begitu juga terserah dia. Kita pun hanya teman.

"Oohh." Aku tersenyum pahit.

"Aku duluan." Aku pun pergi dengan hati perih.

Sesampainya di kelas, Maura dan Diyah sudah datang dan aku menceritakan tentang kemarin antara aku dan Agi.

"Dianggap nggak ada?" Tanya Maura tidak percaya.

"Aku nggak mau dia menjauhiku." Jawabku kalut

"Gimana caranya ngelupain perasaanku sekarang ya?"

"Nggak dilupakan juga nggak apa-apa kok."

Aku langsung menoleh ke arah Maura.

"Nggak apa-apa kok kalau kamu gak mau lupain. Meski ditolak, meski dia punya seseorang yang gak bisa dia lupain, kalau suka ya suka aja."
Aku masih menatap Maura.

"Maksudmu kalau aku nggak ngelupain Agi nggak apa-apa?" Tanyaku senang.

"Enggak apa-apa kok. Kenapa nggak boleh?"

Meskipun Maura bilang begitu, statusku dengan Agi tidak akan berubah. Masih jadi teman dan akan tetap teman.

"Syif, Agi dateng." Diyah mencoel lenganku.

"Terus kenapa? Kamu nggak bilangin aku kalau Farah atau Namira dateng ke kelas. Tapi kenapa kamu ngasihtahu waktu Agi dateng?" Kurasa pikiranku sudah makin kacau karena kejadian tadi di perpus.

***

Jam 12.30.

Aku sudah pulang sekolah. Aku lupa satu hal kalau Agi belum mengembalikan payungku.

Kulihat Agi berjalan di belakangku. Apa aku harus meminta payungku darinya?

"Agi!" Dia menoleh ke arahku.

"Payungku..."

"Oh, maaf. Ini payungmu." Belum selesai bicara, Agi sudah tau aku ingin bicara apa. Dia menyerahkan payungku.

"Makasih ya." Dia tersenyum.

Aku tidak tahu harus apa karena Agi tambah ganteng kalau senyum. Tidak tersenyum saja ganteng.

"I--iya." Kataku gugup. Kenapa aku jadi gugup?

"Aku duluan." Agi pun pergi.

Aku melihat payungku dan mencium wanginya. Bahkan payungku sampai wanginya Agi. Apa aku sudah gila karena ditolak Agi?

Kulihat seseorang dari jauh. Aku cukup yakin kalau dia Kak Yoga. Kenapa dia melihatku seperti itu?

Kak Yoga tersenyum padaku dan aku malah diam saja. Akhirnya aku pun tersenyum juga padanya. Kak Yoga pun pergi.

Kenapa aku bisa disukai kak Yoga? Aku ingin sekali bertanya padanya tapi itu tidak mungkin. Aku sudah menolaknya.

Aku baru sadar kalau hanya aku yang ada di sini sekarang. Aku buru-buru turun dan melihat Kak Yoga yang sedang berdiri di tangga. Kenapa dia di sini?

"Elu mau pulang?" Tanyanya.
"Iya, kenapa?"
"Lu mau bareng gue?"

Kak Yoga mau mengantarku?

"Aku udah di jemput sama supirku. Makasih atas tawarannya."
Aku segera turun dan melewati Kak Yoga.

"Emang gue yang nyuruh lu buat sadar sama perasaan lu. Tapi apa sampe sekarang lu belum mau nyerah?"

Aku langsung menoleh ke arah Kak Yoga yang ada di belakangku. Dia bicara apa barusan?

"Maksud Kakak apa?"

"Maksud gue, lo nggak akan ngelupain Agi walau Agi udah nolak elu?"
Kenapa Kak Yoga bertanya begitu?

Aku tersenyum, "Aku belum ada niatan buat move-on kok."

"Elu gak ngerasa sakit? Walau Agi tahu perasaan lu ke dia, tapi dia masih nganggep lu cuma temennya?"

Kata-kata Kak Yoga kali ini benar-benar menohok hatiku. Apa harus ditanyakan sejelas itu?

"Dia gak pernah merhatiin lo dan lo nganggep dia punya perasaan ke lo?"

Aku terdiam.

"Kenapa lo masih ngarepin di--"

"KAMU YANG NGGAK TAHU APA-APA NGGAK USAH IKUT CAMPUR!"

Kak Yoga langsung diam. Kurasa dia terkejut karena bentakanku. Yang kutahu, aku sendiri pun terkejut. Aku sangat marah. Siapa coba yang tidak marah?

"Udah selesai ngomongnya? Aku pergi!" Aku pergi dengan menahan amarah dan rasa sedih.

Semua yang dikatakan Kak Yoga itu sangat benar.

Kenapa aku masih berharap dia akan membalas perasaanku padahal dia hanya menganggapku teman? Kenapa hanya dengan perhatiannya sedikit, dia bisa membuatku begitu senang?

Aku akan menyimpan cinta ini di hati saja, karena aku tidak mau kamu menjauhiku, Agi....

***

Note: Akhirnya chapter 17 terbit juga. Maaf banget author baru bisa lanjutin ceritanya sekarang. Author banyak banget tugas T-T di sini omongan Kak Yoga agak nusuk juga buat author. Nggak dehh.. Buat yang cintanya bertepuk sebelah tangan juga semangat ya ('-')9 Masih ada harapan buat kalian kok.... Vote dan komentar kalian akan sangat ku hargai untuk membangun cerita ini agar menjadi lebih baik. Sampai jumpa di chapter 18 ^^

BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang