Author pov
Reffin berjalan mendekati Irene yang sedang menatapnya dengan ekspresi bingung. Reffin tetap berjalan lurus tanpa menghiraukan tatapan Irene. Tangannya menyentuh tuts piano kemudian menekannya. Terdengarlah suara piano dengan satu dentingan.
"Gue boleh pinjem pianonya ngga rin?" tanya Reffin kepada Irene, yang langsung di respon oleh anggukan kepala.
Irene beranjak dari duduknya dan mempersilahkan Reffin untuk duduk dikursi yang menjadi tempat untuk seseorang yang akan memainkan piano.
Reffin duduk disana, sebelumnya, tas ransel yang bertengger dipundaknya, ditaruh di samping kursi yang sedang ia duduki. Matanya fokus pada tuts piano yang berwarna putih dan hitam tersebut. Tangannya siap untuk menekan deretan tuts yang bertengger manis di piano hitam itu.
Suara pino terdengar.
Irene berdiri di samping piano sambil melihat tangan Reffin sedang menekan tuts piano secara bergantian dari nada satu ke nada lainnya dengan lincah. Bagaikan kancil yang sedang berlari dengan hati senang karena sudah berhasil mendapatkan timun curiannya.
Irene kagum. Kagum melihat permainan Reffin. Matanya membulat serta bibirnya tersenyum bangga.
Setelah tiga menit, permainan piano Reffin berhenti.
Prok prok prok
Prok prok prok
Prok prok prokIrene bertepuk tangan.
"Whoaaa.. permainan lo bagus banget reff. Ngga nyangka, ternyata lo bisa main piano sebagus itu. Gue kagum sama lo! Ajarin gue please...." telapak tangan Irene mengatup dengan ekspresi memohon kepada Reffin.
"Gue bisa main piano juga karna les rin, lo les piano aja," jawab Reffin dengan nada cuek dan datar. Ia mengambil tas ranselnya, kemudian beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju pintu keluar ruang seni musik.
"REFFIN!!" Irene berteriak memanggil nama Reffin agar laki-laki tersebut tidak meninggalkan Irene.
Reffin memberhentikan langkahnya, posisi tubuhnya tidak berubah. Ia tidak menengok untuk melihat Irene, ia hanya berdiri di tempat sambil menunggu Irene untuk mengatakan hal berikutnya.
"Gue minta maaf reff. Gue udah bikin lo sakit lagi. Gue ngga sengaja, dan gue ngerasa bersalah banget sama lo. Please mafin gue ya," Irene menundukan kepalanya.
"Iya. Lo ngga usah minta maaf, lagian gue yang salah, bukan lo," Reffin membalikan badannya dan berjalan mendekati Irene.
"Lo ngga perlu ngerasa bersalah gitu rin," tambahnya.
Irene mengangkat kepalanya dan menemukan wajah Reffin yang sudah ada di depannya dengan jarak 50 cm. Irene tersenyum senang.
"Hmm, btw, lo disini ngapain rin? Bukannya jadwal ekstrakulikukernya minggu depan?"
"Gue disini cuma pengin main piano, bukan untuk ekstrakulikuler. Kan ekstrakulikuker gue bass ball," jawab Irene masih dengan senyumannya.
"Dirumah lo kan ada piano, ngapain main piano pake punya sekolah?"
"Ngga papa kali reff, sekolah aja ngga ngelarang gue buat main piano disini,"
"Iya sih,"
"Eh raf???" Irene seperti akan mengatakan sesuatu yang sangat penting kepada Reffin. Terlihat dari matanya yang sedang meminta penjelasan sesuatu.
"Apa?"
"Bukannya waktu kelas sepuluh lo ada di kelas mipa? Kenapa dikelas sebelas lo masuk kelas ips?"
Reffin tertawa. Membuat Irene bingung dengan respon Reffin.
"Gue pengin nyoba jadi anak ips itu kaya gimana. Kebanyakan orang bilang kalo kelas ips itu isinya anak-anak bodoh dan masuk ke kelas itu karena daftar sekolah bukan pakai nilai asli, tapi nyogok pake uang," Reffin berjalan menuju jendela, ia duduk di kursi yang letaknya dekat dengan jendela tersebut.
"Terus maksud lo gimana?" Irene masih bingung dengan apa yang dikatakan oleh Reffin.
"Gue pengin nyoba jadi anak kelas ips rin. Pengin bergaul sama anak-anaknnya dan nyoba sama mata pelajarannya. Lo inget ngga saat gue dikejar-kejar sama guru BK waktu itu?"
(Read part 1)
Irene mengangguk.
"Itu karna bu Lili ngga ngebolehin gue masuk kelas ips. Kan lo tau sendiri gue anak olimpiade biologi," Reffin tersenyum bangga sambil tertawa kecil.
"Sejak kapan lo jadi anak olimpiade?"
"Elah, lo ngga tau? Ya udah terserah lo mau percaya ato engga. Dikelas gue selalu dapet ranking tiga besar, ngga pernah di bawah itu,"
"Ooooh.. ko, gue nggak tau ya?" Irene tertawa malu.
"Reff? Cita-cita lo apa? Kenapa sampai berani untuk pindah jurusan dari ipa ke ips?"
Reffin lagi lagi tertawa. Irene hanya diam, bingung, alisnnya mengerut, Irene butuh penjelasan.
"Cita-cita? Gue ngga bakal bisa gapai cita-cita gue. Karena apa? Penyakit gue ngga bisa ngijinin gue untuk berumur panjang,"
Tbc
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca :)
Vote yaaaa...
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] We And Music
Teen FictionBaginya piano adalah temannya. Bahkan dari piano ia bertemu lelaki yang ia cintai.