Part 20

2.4K 155 0
                                    

Raffin pov

Setega itukah si Jenif demi dapetin gue? Ngga habis pikir sama apa yang ada di otaknya. Gila aja ya tuh anak bikin cewe yang gue suka jadi sedih. Dan gue mulai benci sama Jenif, gimana engga? Hal bodoh udah dia lakuin demi dapetin gue, dan cara dia salah, justru semakin dia buat Irene terluka semakin gue benci sama dia.

Tapi, supaya Jenif berhenti untuk buat masalah adalah gue jadiin dia pacar. Oh shit! Mana bisa gue pacaran sama orang yang gue benci. Bukannya gue udah ngomong ke dia waktu itu untuk jangan ganggu Irene?

Flashback on

Setelah gue denger tentang petermuan Irene dan Jenif di kamar mandi dan sempet buat keributan walaupun kecil, tapi tetep aja Jenif cukup nekat untuk ngelakuin acara 'labrak' yang bisa dibilang keterlaluan, gue musti ngomong ke dia.

Dan inilah kesempatan gue untuk ngomong ke dia. Terbilang masih pagi, karena sekarang jam istirahat jam sepuluh, sambil nunggu bel masuk kelas, gue bisa nyempetin untuk ngomong ke Jenif.

Sekarang gue ada di taman depan sekolah. Tentunya di samping gue udah ada Jenif yang senyam-senyum dan terkadang blushing, efek duduk disamping gue? Mungkin iya, dan bukan mungkin lagi, tapi memang iya.

"Jen? Gue denger lo suka sama gue, bener?" pertanyaan gue bikin dia semakin salah tingkah. Ah dan gue ngga suka suasana kaya gini.

"Hmm.. e- i-ya raff," dia jawab tanpa natap muka gue. Saking malunya atau gimana?

"Ah oke oke. Jadi gini, gue itu suka sama Irene, jadi maaf karena gue ngga bisa balas perasaan lo, dan gue minta jangan bikin Irene sedih atau semacamnya. Lo bisa kan?"

Dan setelah gue selesai ngomong, gue liat dia dengan ekspresi kaget sekaligus kecewa. Tanpa balas ucapan gue, dia langsung lari ninggalin gue.

Rasa bersalah? Sedikit gue rasain. Gue rasa ucapan yang gue lontarkan cukup bikin dia sakit hati. Tapi, gue lebih milih buat Irene bahagia. Dan semoga dengan gue bicara ke dia barusan, bisa bikin Jenif sadar.

Flashback off

"Raff??" seseorang nepuk pundak gue.

Gue tersadar dari lamunan gue yang cukup lama.

"Reff, kalo gue nembak Jenif terus dalam waktu dekat gue putusin dia gimana?"

Bukannya dia balas dengan jawabannya, malah noyor kepala gue. Gue salah ya? Yang penting Jenif pernah pacaran sama gue kan? Ngga penting masalah waktu, yang terpenting Jenif pernah merasa kalau gue jadi milik dia.

"Jangan sebentar juga bego!! Seengganya bikin Jenif dan Irene lebih baik. Kalau bisa bikin pertemanan Irene sama si Jenif juga gengenya berjalan lancar kaya dulu lagi,"

Semakin dewasa gue semakin pusing aja. Gue ngga nyesel ketemu sama Irene, karena dia memang cinta pertama gue. Tapi, untuk dapetin cintanya aja udah rumit banget kaya gini, dan yang paling parah, gue harus jadian sama cewe yang buat Irene sedih. Memang bener apa yang dikatain Reffin, kalo cinta gue ngga seharusnya bisa memiliki Irene, tapi bisa buat Irene bahagia itu udah cukup bikin gue bangga untuk diri sendir.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Author pov

Sebuah pertemuan yang berisikan beberapa anak muda yang sudah pasti tampan dan cantik menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat. Mereka terlalu nekat untuk mengadakan pertemuan di kantin sekolah. Ide gila Raffin yang mengusulkannya. Bukan berniat jelek atau semacamnya, ia hanya memilih tempat yang simple dan tidak butuh membung-buang waktu dan sebagainya.

Disana duduklah satu laki-laki dan lima perempuan cantik. Raffin dan geng The Princess. Awalnya mereka memang bingung dengan apa yang dilakukan oleh Raffin, karena menurut Enelis dan kawan-kawannya, Raffin bukan orang yang ikut dalam masalah persahabatan mereka. Tapi tidak bagi Irene, dia yang tau segalanya, sedikit bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh Raffin.

"Oke, karena ini jam istirahat, gue ngga akan basa-basi, langsung ke inti, takutnya pembicaraan kita ke potong," ucap Raffin sebagai pembukaan perbincangan mereka.

"Iya udah cepetan cus ngomong," balas Krystal yang terlihat kesal.

"Pertama, Jenif itu suka sama gue, dia cemburu karna gue sering deket sama Irene. Kedua, karena dia cemburu, dia balas dendam. Dengan cara, bikin status bbm yang buat kalian jadi pecah kaya gini. Jadi, gue harap permasalahan kalian udah tersekesaikan. Iya kan?"

Hening.

Ya, hanya ada suara riuh anak-anak yang sedang mengobrol dan memesan makanan di kantin. Perbincangan mereka cukup singkat tetapi jelas dan langsung ke inti seperti yang dikatakan oleh Raffin.

Canggung.

Itulah yang dirasakan mereka. Salah paham memang sering menjadi bahan dasar permusuhan atau pertengkaran. Mereka mengalami hal itu. Irene tidak berani untuk mengucapkan satu katapun, ia mencoba memberi kesempatan sahabatnya untuk mencerna apa yang Raffin katakan barusan.

Terlihat konyol memang. Hanya sebuah pesan singkat yang membuat mereka menjadi salah paham kemudian bermusuhan, tapi memang itulah kenyataannya. Raffin merasa bahwa dirinya sudah melakukan hal yang benar, kini ia tinggal melanjutkan rencana selanjutnya. Dan rencana kedua ini adalah hal yang paling di benci Raffin.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Raffin pov

Selama jam pelajaran terakhir, gue gelisah dan akhirnya ngga konsen sama pelajaran biologi yang seharusnya didengerin baik-baik apa yang diucapin sama Bu Vita. Padahal gue cuma tinggal ngejalanin satu rencana lagi untuk bisa dapetin kebahagian Irene, rencana yang satu ini cukup bikin gue jadi ngga konsentrasi untuk ngikutin pelajaran.

Dan waktu terasa begitu cepat tanpa gue mau dan tanpa gue sadari. BEL!! Ya, sekarang udah bel pulang. Semua temen-temen gue dikelas mulai pada seneng karena akhirnya bisa pulang untuk istirahat, tapi engga buat gue. Bel yang bunyi untuk hari ini, sama aja hari kiamat buat gue.

Setelah berdoa dan segala macem, akhirnya Bu Vita mempersilahkan muridnya untuk pulang. Dan gue mulai beraksi menjalankan rencana konyol dan gila ini.

Gue menghadap belakang, dimana tempat Irene dan Jenif duduk. Gue liat Irene yang lagi bares-beres bukunya untuk dimasukin ke dalam tas ransel birunya, sama dengan Jenif.

"Jen? Pulang sekolah lo ada acara?" ucap gue disusul tatapan bingung dari Jenif. Gue kira dia bakal seneng atau semacamnya.

Sekilas gue liat raut wajah Irene yang sama bingungnya kaya Jenif. Gue emang lagi nekat dan ngga tau nantinya akan terjadi apa.

"Engga raff, tapi, jam lima nanti gue ada les. Kenapa?"

Jadi, ada waktu satu setengah jam untuk ngelajain rencana gue. Oh, bukan waktu yang sebentar. Bahkan terbilang lama. Oke, lanjutkan raff!!

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, bentar doang ko, bisa kan?"

"Hmm, bisa ko. Dimana?" senyumnya mulai muncul. Tapi ngga ada tanda-tanda dia salah tingkah atau blushing.

"Jen, Raff, gue pulang duluan ya, kalian berdua hati-hati dijalan! Bye!" seru Irene setengah teriak dan sambil jalan cepat ninggalin kelas. Tersisalah gue dan Jenif.

"Mungkin disini aja, biar ngga buang-buang waktu untuk perjalanan, karena lo harus pulang nanti untuk siap-siap berangkat les," ucap gue sedikit 'alay', dan ini bukan gaya bicara gue. Gue ngga kenal sma diri gue sendiri sekarang.

"Oke, emang apa yang mau lo bicarain? Soal Irene?"

Gue mengerutkan dahi. Apa dia udah ngga suka lagi ke gue?

"Bukan, ini soal kita berdua. Hmm.. lo masih suka sama gue?" ucap gue hati-hati.

Dia balas dengan anggukan kepala. Itu doang? Gue jadi ngga yakin kalo dia masih suka sama gue.

"Lo mau ngga jadi pacar gue?"

Dan yah.. gue akhirnya ngucapin kalimat konyol itu. Mata Jenif melotot hampir keluar.

TBC
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Vote dan comment man teman! Thanks dan see you..

[2] We And MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang