"Cita-cita? Gue ngga bakal bisa gapai cita-cita gue. Karena apa? Penyakit gue ngga bisa ngijinin gue untuk berumur panjang,"
Irene terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh Reffin. Reffin justru mengeluarkan tawannya yang terdengar seperti sedang menonton sebuah lelucon. Dan ini bukan hal lucu yang bisa membuat ketawa, pikir Irene.
"Ko lo ngomongnya gitu? Percaya dong kalo lo bisa sembuh. Dan jangan putus asa,"
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Irene pov
Sampai rumah, gue langsung mandi. Setelah selesai mandi, gue langsung sholat ashar. Dan saat gue lagi berdoa, dengan reflek gue doain kesembuhan Reffin. Dia udah gue anggap senagai temen. Bukan orang lain lagi, dan musti gue lindungi sebisa kemampuan gue.
"Oiya ada pr," saat gue udah siap untuk main piano, gue teringat kata-kata pak Yanu yang bilang kalo nih pr bakal di kumpulin besok dan langsung dinilai.
Gue kalo belajar jam tiga pagi sampai jam lima. Kalo sore atau malam, khusus buat garap pr, selesai garap pr gue langsung tidur. Kadang gue main piano dulu.
Adzan maghrib terdengar, pas banget gue udah selesai'in nih pr fisika. Sekarang gue mau sholat maghrib, trus berdoa untuk gue sendiri tentunnya, juga kesembuhan Reffin. Lagi-lagi dia. Kenapa? Mungkin karena gue kasihan sama dia.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Dikelas,
"Rin? Pr lo udah dikerjain belum?" tanya Raffin. Ko nada bicarannya gitu ya? Nih anak tambah songong aja. Anjir.
"Gue udah garap pr fisikannya raff," jawab gue santai, tanpa gue ladenin pembicaraan dia yang mancing gue untuk emosi. Sorry, gue orangnya sabaran dan ngga mudah emosi. Haha.
"Ohh, bagus deh kalo gitu. Rin? Ajarin gue yang nomor tujuh dong, gue bingung banget di nomor tujuh. Semalem gue pusing mikirin nih soal,"
Lahh???
Dengan senang hati gue ajarin dia sampi bener-bener bisa dan ngerti sama soal fisika nomor tujuh.
"Wajah, lo emang pinter ya rin. Makasih banyak rin," Raffin senyum ramah ke gue. Nah, kalo ramah dan baik, kan cakepnnya bisa keliatan. Dasar tuh anak ya, gampang banget untuk berubah sifat, sama kaya kembarannya, Reffin.
Setelah beberapa menit nunggu, akhirnya pak Yanu dateng.
"Pr yang saya berikan kemarin sudah dikerjakan?"
"Udah pak!" Seru anak kelas berbarengan. Ya walaupun ada anak yang boong, padahal dia belum kerjain tuh pr.
"Siapa yang ingin maju kedepan untuk menulis jawaban nomor satu sampai tiga? Silahkan ke depan,"
Tanpa aba-aba, gue langsung beranjak dari duduk dan berjalan ke arah papan tulis. Gue nganmbil sepidol yang ada kaleng permen yang di alih fungsikan dari tempat permen jadi tempat berdirinnya para sepidol kumel.
Gue nulis jawaban nomor satu, ada dua temen gue yang maju untuk nulis jawaban nomor dua dan tiga.
"Ya! Jawaban di papan tulis benar?" tanya pak Yanu.
"Bener pak,"
"Ya, benar. Jaawaban kalian yang salah, tolong jujur, dicoret dengan pulpen di bagian nomornya,"
Yaelah, zaman sekarang jujur? Khayal. Ya gue sih terserah sama temen-temen gue yang ngga mau jujur. Yang penting gue jujur, dan jawaban gue dari nomor satu sampe tiga bener.
Dan saat giliran nomor tujuh, si Raffin maju kedepan untuk nulis jawabannya. Gue cuma bisa senyum dan lompat seneng dalam hati. Apaan si gue?
Setelah dia selesai nulis jawabannya di papan tulis, dia balik ke bangkunya.
"Thanks rin," ucap dia sambil senyum ramah ke gue. Gue balas dia pakai senyuman manis gue.
Raffin kembali fokus pada pelajaran.
"Rin?" Jenif manggil gue.
Gue nengok ke arah dia. Ko ekspresinnya gitu ya? Kenapa sama dia?
"Istirahat, gue mau ngomong sama lo," ucap Jenif dengan ekspresi seriusnya. Ko dia jadi gini ya? Kenapa tuh anak?
Bel.
Waktunya istirahat. Dan saat itu juga, Jennif nepuk pundak gue pelan.
"Ikut gue rin," ucap dia datar.
Gue ngikutin dia dari belakang. Ko suasannya ngga enak gini si? Kenapa sama Jenif? Ada yang salah ya sama gue?
Tepat di parkiran belakang sekolah, Jenif berhentiin langkahnya.
"Rin? Gue mau ngomong penting sama lo. Menurut gue ini penting, tapi menurut lo, mungkin ini ngga penting,"
"Iya jen, ada apa emangnya?"
"Gue suka sama Raffin. Dan gue sering cemburu liat kalian berdua yang deket," ucap Jenif pakai nada yang ngancam. Ko dia gini si ke gue?
Emang bener ya kata orang, cinta bisa merubah segalannya.
"Tenang aja jen, gue ngga ada rasa sama Raffin. Kita berdua cuma temenan biasa aja. Kalo perlu, gue bisa bantu lo untuk deket sama dia," ucap gue dengan jujur sejujurnya. Gue emang ngga ada rasa sama dia. Gue cuma nganggep anak kembar itu sebagai temen. Ngga lebih.
Ekspresi Jenif berubah. Dia senyum ke gue.
"Makasih banget deh rin. Jangan ingkar sama ucapan lo ya,"
"Iya,"
Tbc
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰Menurut kalian, Irene bakal suka ke salah satu anak kembar itu ngga?
Kalo iya, ke siapa? Raffin atau Reffin?
Vote ya man teman...
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] We And Music
Teen FictionBaginya piano adalah temannya. Bahkan dari piano ia bertemu lelaki yang ia cintai.