Part 23

2.3K 160 3
                                    

Author pov

Sore itu, sepulang sekolah, Irene langsung pergi menuju rumah sakit seperti yang diberitahu oleh Raffin saat istirahat tadi. Ia meninggalkan jam latihannya. Ia merasa kecwe bahwa Reffin yang menganggapnya seperti tidak ada, kenapa dia tidak memberitahukan keadaan dirinya sekarang?

Irene berjalan menyelusuri koridor rumah sakit sambil matanya yang berusaha dipertajam untuk mencari nomor ruangan yang dicarinya. Tangan kanannya membawa sebuah plastik besar yang berisi buah-buahan segar yang baru ia beli saat hendak pergi ke rumah sakit. Dirinya merasakan beberapa hal, antara panik, kecewa, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia gugup. Ia belum pernah merasakan dirinya segugup itu.

Matanya membulat serta kakinya berhenti melangkah, karena kamar yang dituju sudah ada di depannya. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu ruangan tersebut.

Tidak ada respon.

Ia mengulanginya lagi. Dan sebuah suara seorang laki-laki yang berada di dalam kamar rawat tersebut yang mengatakan kata 'masuk' membuat Irene semakin gugup. Tangannya yang dingin hampir sedingin batu es menekan handel pintu kemudian di dorongnya agar pintu tersebut terbuka.

"Irene?" sapa Reffin dengan semangat, tutur katanya yang ceria masih melekat pada dirinya meski ia sedang berbaring dengan wajah pucatnya di ranjang yang serba putih itu. Irene tersenyum. Sebuah tatapan kasihan sangat terpancar jelas dari raut wajah cantiknya. Membuat Reffin ikut tersenyum sebagai respon.

"Thanks rin udah sempetin nengok gue, padahal seharusnya lo latihan piano untuk perlombaan tiga hari lagi,"

"Lo tuh ya, bisa ngga si ngga ngomongin soal perlombaan lagi? Heran deh," Irene yang tadinya ingin mengobrol baik dengan Reffin kini malah moodnya menurun karena ucapan Reffin yang membuatnya kesal.

Tentu ia tidak ingin membahas soal perlombaan piano disini. Ia ingin melupakan sejenak bebannya dengan mengobrol ringan dengan laki-laki yang sering membuatnya kesal tersebut.

Reffin tertawa kecil. Ia gemas melihat ekspresi Irene saat sedang kesal. Bukannya ekspresi itu hanya diketahui oleh Reffin? Semua orang hanya mengetahui senyuman dan ekspresi ramah dari Irene. Tetapi Reffin melihat sisi lain dari gadis yang terlihat lucu saat kesal tersebut.

"Rin, gue minta maaf ya, gue ngga kabar-kabar ke lo kalo gue dirawat di rumah sakit,"

Irene menghembuskan nafasnya kasar. Ia memang kesal dengan sikap Reffin yang menurutnya terlihat mengacuhkan dirinya, kenapa ia harus menutupi hal itu? Bukannya mereka teman dan bukan hal yang tidak wajar jika Reffin memberitahu keadannya saat ini.

"Ngga perlu minta maaf. Gue mau balik sekarang, seharusnya memang gue latihan aja dan ngga perlu nengok lo,"

Irene terlihat sangat kesal, terbukti saat ia berjalan cepat meninggalkan Reffin sendirian berada di kamar tersebut. Reffin melihat tingkah laku Irene merasa bahwa dirinya sudah berbuat hal yang jahat kepada temannya. Kenapa ia harus merahasiakan keadaan dirinya? Itu terlihat seperti ia tidak menganggapnya sebagai seorang teman.

"Gue ngga ngerti sama diri gue yang gugup setiap liat dia, jantung gue serasa ada kuda yang lari di dalamnya. Sejak kapan gue jadi kaya gini?"

Alasan Irene untuk pulang bukan karena marah oleh perkataan dan perilaku Reffin, tetapi dirinya terlalu gugup juga jantungnya yang membuat dirinya tidak nyaman dan memilih untuk pulang. Bukankah itu aneh? Ia merasakan hal tersebut baru-baru ini dan membuat dirinya semakin bingung akan dirinya sendiri. Ia harus bersikap seperti apa didepan Reffin? Ia tidak tahu.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Irene yang sudah membersihkan dirinya dikamar mandi langsung menuju dapur untuk menerima hidangan yang dimasak oleh Bi Ranti. Perutnya sudah minta diisi sejak pulang sekolah, tetapi ia tahan dan memilih langsung pergi menuju toko buah dan ke rumah sakit untuk menjenguk Reffin.

"Lombanya kapan rin?"

Rasanya enggan untuk membahas masalah perlombaan tersebut, karena Irene akan mengingat dua orang yang tidak disukainya. Pertama adalah Reffin dan yang kedua adalah papanya. Tetapi Irene harus tetap menjawabnya bukan? Ia harus menghargai dan menghormati Bi Ranti selaku orang tua.

"Tiga hari lagi bi," ucapnya ramah kemudian sebuah sendok mendarat pelan pada mulut mungilnya.

"Wah, kalau gitu sebentar lagi dong? Nanti Bi Ranti mau coba dengerin latihan Irene boleh?"

Niatnya Irene tidak latihan hari ini, karena ia ingin istirahat dan menormalkan pikiran, tetapi ya sudahlah.

"Oke bi, selesai makan ya,"

Selang waktu sepuluh menit, Irene sudah duduk dikursi untuk bermain piano. Bi Ranti berdiri di samping Irene dan siap mendengarkan permainan tangan Irene pada tuts piano yang berwarna hitam dan putih tersebut.

Satu nada demi satu nada, terdengar alunan musik yang indah tetapi bawaan dari lagunya memang terdengar menakutkan dan seperti sedang berada di suasana yang gelap atau suram.

Irene mengakhiri permainanya. Bi Ranti langsung memberikan tepuk tangan yang membuat Irene tersenyum senang. Ia belum pernah mendapat sebuah tepuk tangan dari seseorang karena dirinya yang telah memainkan piano. Itu sebuah kesenangan tersendiri.

"Irene hebat! Tangannya bisa lincah banget gitu. Tapi ko lagunya bikin Bi Ranti merinding ya? Emang maksud dari lagunya apa rin?"

Irene sadar, ia belum mengetahui arti dari lagu yang ia mainkan. Ia terlalu acuh dan hanya langsung memainkan saja tanpa mengetahui makna dari lagu yang diciptakan oleh  Mahler.

"Irene belum tau bi, Irene cari dulu deh di google, untung Bi Ranti ngingetin aku untuk cari makna dari lagunya, hehe, makasih bi," ucap Irene disusul cengiran manisnya.

Irene dengan cepat langsung meng- searching makna lagu dari Mahler Shympony no 9. Tanpa menunggu waktu lebih dari sepeuluh detik, artikel yang Irene cari sudah muncul yang memberikan penjelasan singkat mengenai makna lagu tersebut.

Ia membacanya dan mengamati setiap kata yang tertulis jelas pada blog tersebut. Tertulis bahwa Mahler menulis simfoni itu ketika ia merasakan kematiannya makin dekat. Banyak orang percaya, gerakan keempat pada simfoni ini menggambarkan 5 kondisi psikologikal menjelang kematian, penolakan, pengasingan, kemarahan, rasa ketergantungan, depresi, dan kepasrahan. Sebuah simfoni yang memiliki daya magis.

Matanya mebulat setelah ia selesai membacanya.

"Kenapa Reffin ngusulin lagu ini? Atau jangan-jangan.."

Irene menaiki tangga rumahnya, ia berlari dengan cepat menuju kamarnya, diambilnya sebuah jaket kemudian ia kenakan secara kilat.

"Bi, aku pergi dulu,"

Irene melesat jauh bersama mobilnya, ia pergi menuju rumah sakit untuk menemui Reffin dengan tujuan meminta sebuah penjelasan. Irene tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh Reffin sehingga ia mengusulka lagu milik Mahler yang bermakna bahwa kematian semakin dekat.

Tanpa sadar sebuah air mengalir pelan di pipi lembut Irene dari kedua matanya. Yang ia ketahui, orang yang memiliki penyakit leukimia tidak akan hidup berlangsung lama.

TBC
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Dapet feel-nya ngga? Kasih kritik dan saran dong, aku butuh banget supaya karyaku semakin berkembamg dan ada kemajuan. Please man teman...

Jangan lupa vote hehe

[2] We And MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang